Apa Benar Lingkungan Mempengaruhi Perilaku dan Pergaulan Kita?



Saya hidup dan besar dalam lingkungan yang bisa dikatakan sangat islami. Sepulang sekolah SD, siangnya sampai sore langsung sekolah lagi khusus belajar agama. Orang kebanyakan menyebutnya dengan sekolah madrasah. Setelah itu, lanjut sehabis maghrib pergi ke rumah ustadz untuk belajar mengaji. Aktivitas ini terus dilakukan sampai lulus SD.

Setelah lulus SD, saya memutuskan untuk melanjutkan ke MTs (Madrasah Tsanawiyah). Hal ini tidak lepas karena pertimbangan kenapa lebih memilih MTs daripada SMP karena di Mts menyajikan paket lengkap: dapat pelajaran umum plus pelajaran agama, jadi dunia dan akhirat seimbang.


Tidak berhenti sampai di sini, lulus MTs, saya lanjut sekolah ke MA (Madrasah Aliah) dengan konsep yayasan pondok pesantren. Kalau bahasa kerennya sih Islamic Boarding School. Dari sini, karakter dan mental saya sepertinya mulai terbentuk dan menemukan keajegan. Tiga tahun tinggal dan belajar di pondok pesantren berhasil menginternalisasikan nilai-nilai islam. Solat lima, puasa sunnah, tilawah Al-qur’an, dan tidak pacaran. Pokoknya udah cocoklah disebut akhi-akhi zaman now.


Singkat cerita, lulus dari pondok, saya melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup punya nama di Banten. Ini kali pertama saya mengenyam pendidikan di tempat yang secara status lembaga bukan lembaga khusus islam. Kampus tempat saya belajar adalah kampus umum, dimana semua orang dari kelas sosial, latar belakang, etnis, dan daerah dapat bertemu di sini termasuk dalam satu ruangan yang sama: di kelas. Saat itu kenapa saya mengambil kampus umum bukan kampus islam seperti UIN atau IAIN karena alasan yang simple, ingin belajar di kampus negeri, karena kata orang bilang kalau kampus negeri lebih terjamin. Wallahu’alam.


Di sinilah saya merasa ujian kehidupan sedang dimulai. Di kampus bahkan di kelas bertemu dengan banyak orang dengan ragam tingkah dan karakter.  Cewe dan cowo duduk berdampingan, pakaian mahasiswa yang seadanya, cara ngobrol dengan pakai bahasa binatang, dan sebagainya menjadi pemandangan sehari-hari di kampus. Jelas saya tidak terbiasa dengan fenomena ini. Intinya mengalami cutural shock.


Hari-hari di kampus, saya jalani seorang diri karena merasa belum mempunyai teman yang cocok, yang satu frame. Tidak sedikit teman sekelas yang mencemooh dari cara mereka memandang saat tahu kalau saya tidak bersentuhan dengan lawan jenis saat berjabat tangan, selalu memakai celana bahan, baju batik dan sepatu pantofel, dan gaya bahasa yang tidak gaul ala-ala anak bekasi dan jakarta. Singkatnya, mungkin mereka menilai saya kampungan.


Di kelas ada beberapa teman yang non-muslim. Jujur awalnya saya selalu menghindari duduk di kursi yang berdampingan dan sebisa mungkin menghindari percakapan. Ini pengalaman pertama saya bertemu dalam satu kelas dengan orang non-muslim. Menjadi asing bagi saya, karena selama di pondok, image dan mind set yang ada dalam benak pikiran saya kalau non-muslim itu berbeda, tidak seiman, sehingga harus dijauhi karena kalau mendekati akan mempengaruhi keyakinan kita. Hal ini bahwa terus didoktrin oleh guru dan ustadz untuk mencari teman yang baik, satu keyakinan karena lingkungan akan mempengaruhi pergaulan.


Tetapi seiring berjalannya waktu, tahun demi tahun, semester demi semeter berlalu dan kenyataannya justru saya malah berteman baik dengan mereka yang non-muslim. Ada merasa mendapatkan warna tersendiri dalam pertemanan. Orang yang selama ini saya takutkan dari sejak fikiran ternyata sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Mereka baik, care, seru dan sama dan sama saja dengan teman yang lainnya. Kita sering belajar dan berdiskui bersama. Hal ini sama sekali tidak mempengaruhi aktivitas ibadah saya. Saya tetap menjalankan kewajiban saya sebagai seorang muslim yang taat.


Nampaknya ini menjadi modal penting untuk belajar apa arti perbedaan. Dan ini sangat berharga ketika saya melanjutkan studi di salah satu kampus terkenal di Jogyakarta. Lingkungan Jogya sudah pasti sangat berbeda jauh dengan Banten. Apalagi kampus yang saya tuju dikenal sebagai kampus liberal, sekuler, dan hutan belantara ideologi, dimana semua macam ideologi ada di sana.


Ini untuk kedua kalinya saya mengalami cultural shock yang lebih hebat dibanding saat kuliah di kampus sebelumnya. Cewe dan cowo berpelukan di ruang publik, cewe berjilbab sambil merokok, pakaian cewe dan cowo yang kurang sopan dalam definisi saya. Di tambah kost saya berdekatan dengan orang-orang yang juga aneh buat saya. Cewe dan cowo yang belum halal tinggal dalam satu kost, orang bilang wajar di jogya banyak kost LA (Los Angeles) sebutan untuk kost yang bebas cewe dan cowo keluar masuk kost-an. Belum lagi beberapa yang sering mabuk-mabukan, tidak pernah solat dan puasa padahal muslim. Potret kehidupan itu nampak jelas dalam pandangan saya.


Tetapi saya tetap bertahan, saat itu berfikirnya sederhana. Meski terganggu, tetapi kalau saya yang pindah, artinya saya kalah dan menyerah. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap bertahan dan tidak ada pengaruh sedikit pun terhadap kebiasaan dan cara saya beribadah. Justru saban hari saya dan teman di kost makin klop, bercanda, dan makan bareng di angkringan.


Point yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa sebenarnya pergaulan itu tidak melulu mempengaruhi pergaulan dan karakter kita. Semua itu dikembalikan ke diri kita sendiri sejauh mana kita bisa mengelola dan tetap konsisten pada nilai dan norma yang sudah melekat kuat. Justru saya seolah mendapat hikmah baru bahwa dengan dipertemukan dengan orang yang berbeda, saya lebih tahu betapa indahnya perbedaan. Toleransi juga bisa dipupuk. Bayangkan sebelum jadi mahasiswa, bayangan saya tentang non muslim selalu negatif, karena saya belum pernah bertemu dan berteman dengan orang yang berbeda, maka bayangan itu terus hadir. Lain cerita  ketika kita benar-benar berteman dengan orang yang berbeda, bayangan negatif itu sama sekali hilang dan tidak relevan.


Ini lah pentingnya sekali-kali dalam bergaul penting untuk tidak selalu mencari teman yang sama. Cobalah sekali-kali menantang diri untuk keluar dari zona nyaman, berteman dengan mereka yang 180 derajat berbeda. Dari situ akal dan hati kita akan berbicara secara objektif apa makna kehidupan yang sesungguhnya. Kalau kita hanya berteman dengan orang itu-itu saja, lingkungan yang juga itu-itu saja, maka kita tidak pernah tahu bahwa ada dunia lain di luar dunia kita.      


Saya jadi teringat dengan dualisme cebong dan kampret yang sempat booming saat tahun politik kemaren. Ujaran kebencian, saling caci dan maki antara pendukung salah satu pasangan bisa jadi karena mereka hanya bergaul dengan sesamanya saja, yang satu pilihan dan satu pandangan. Akibatnya menganggap yang lain itu salah, dan kita yang benar. Coba kalau kaum cebong dan kampret benar-benar bertemu di dunia nyata dan mereka saling berdialog secara terbuka, pasti diantara keduanya akan saling memahami dan hoax sepertinya tidak akan laku.


Ini semua tentang perbedaan. Semakin kita bergaul dengan orang yang sama dan itu-itu saja maka kecederungannya kita menjadi semakin eksklusif dan merasa berbeda dengan kelompok yang lain. Tapi sebaliknya, semakin beragam kita bergaul dengan banyak orang, dengan lingkungan yang berbeda, maka kita akan semakin inklusif dan mudah toleran. Paling tidak, ini yang saya sedang rasakan. Asli sekali lagi berbeda itu indah. Kita akan tahu keajaiban makna Bhineka Tunggal Ika selama kita memperbanyak perbedaan dalam corak pertemanan.


Jangan telalu takut kalau lingkungan dan pergaulan akan mempengaruhi kita. Justru tantangannya adalah kita yang harus menaklukkan lingkungan dan pergaulan itu. Berteman dengan non-muslim tidak lantas membuat kita menjadi kafir, berteman dengan merka yang pacaran, merokok, mabuk-mabukan, tidak harus kita jadi ikut-ikutan. Sekali lagi, itu soal bagaimana diri kita.


Justru buat saya, ini akan menjadi tantangan buat diri kita sejauh mana kita komitmen terhadap nilai, norma dan moral yang kita yakini. Apakah mudah goyah oleh lingkungan, atau kita sudah begitu dewasa dan matang sehingga lingkungan apapun tidak memberi efek apapun.


Jadi masih mau pilih-pilih dalam bergaul dan berteman? Mau sampai kapan bambang. Bagaimana kalau suatu saat kita terpaksa hidup di suatu tempat dan tidak ada pilihan sama sekali untuk keluar dari lingkungan yang sama sekali berbeda dan asing menurut definisi kita? Apa mau tetap mengisolasi diri yang justru sering kali menyusahkan?





Resource Distribution and Resource Curse: Telaah Pemikiran Vanhanen dan Ross tentang Demokrasi


Demokrasi merupakan arena pertarungan bagi beragam aktor dalam memperebutkan kekuasaan. Proses kompetisi yang sehat mengharuskan adanya konsensus dibanding konflik yang bersifat merusak dan anarki. Meskipun secara empiris demokrasi dianggap sebagai sistem yang final dan paling mapan dibuktikan dengan banyaknya negara di dunia yang menganut demokrasi, namun dalam tataran teoritis, demokrasi masih memunculkan dialektika perdebatan diantara para pemikir soal apa makna demokrasi sesungguhnya dan faktor apa yang dapat mengkondisikan demokrasi. Adalah Vanhanen dan Ross, dua pemikir yang coba mengikuti arus perdebatan tersebut dengan manawarkan gagasan inti bahwa demokrasi memerlukan hadirnya redistribusi sumber daya yang merata ke seluruh elemen masyarakat. Argumen terebut sekaligus menyangkal teoritasiasi demoktasi yang sebelumnhya sudah mapan. Katakanlah Lispet yang berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai prasyarat demokrasi. Bagi Vanhanen argumen Lipset tidak relevean, seolah negara miskin tidak ada masa depan bagi demokasi. Bagi Vanhanen, negara kaya dan negara miskin sama-sama bisa menciptakan sistem demokrasi dengan syarat adanya distribusi sumberdaya yang seimbang dan merata (No resources distribution no democracy). Pemikiran Ros nampaknya juga setarikan nafas dengan Vanhenen dengan lebih banyak mendalami tenang politik sumber daya yang menjelaskan mengapa suatu negara memilih untuk demokrasi sementara yang lain bertahan dengan otoriter. Tulisn ini mencoba mengelaborasi lebih mendalam, dua pemikir tersebut.

Distribusi Politik dan Ekonomi: Syarat Demokrasi
            Tatu Vanhanen dalam bukunya berjudul “Prospect of Democracy: A Study of 172 Countries” mengajukan argumen bahwa demokratisasi terjadi di bawah kondisi di mana sumber daya kekuasaan telah didistribusikan secara luas sehingga tidak ada kelompok yang dapat menekan pesaing atau mempertahankan hegemoni. Dengan kata lain, demokrasi berjalan di negara-negara yang berhasil menjalankan sumber daya ekonomi dan politik secara merata. Konsekuensinya, ketika sumber daya hanya digenggam oleh segelintir elit atau kelompok, maka sistem yang berlangsung bukan demokrasi melainkan aristokrasi meskipun  pemilu tetap diselenggarakan. Vanhanen menggunakan dua variabel untuk mengukur distribusi kekuasaan politik yaitu kompetisi dan partisipasi. Distribusi sumber daya politik dapat dilihat pada meratanya sejumlah jabatan politik diantara kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat dengan mengedepankan partisipasi yang luas dan kompetisi yang sehat dalam mengatur perebutan kekuasaan. Sementara distribusi ekonomi mencerminkan adanya pengelolaan sumber daya materil di masyarakat tanpa mengeksklusi kelompok lain.
            Vanhanen melakukan studi 172 negara menggunakan metode kuantitatif untuk melihat prospek demokrasi di negara-negara yang dikaji. Ia menggunakan enam variabel untuk mengukur sejauh mana distribusi sumber daya di suatu negara. Pertama, jumlah populasi urban dari keseluruhan populasi. Persentase populasi perkotaan diasumsikan menunjukkan secara tidak langsung distribusi sumber daya ekonomi dan organisasi. Semakin tinggi persentase penduduk perkotaan, semakin beragam kegiatan ekonomi dan kelompok kepentingan ekonomi, dan akibatnya, semakin banyak sumber daya ekonomi didistribusikan di antara berbagai kelompok. Kedua, jumlah mahasiswa di universitas dengan asumsi bahwa semakin banyak penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi di suatu wilayah mencerminkan semakin merata distribusi sumber daya di negara tersut. Ketiga, presentase populasi melek huruf dari keseluruhan populasi orang dewasa. Keempat, presentase populasi melek huruf dari keseluruhan populasi orang dewasa. Kelima, persentase tanah pertanian keluarga dari keseluruhan tanah yang ada. Terakhir, tingkat pembagian sumber daya ekonomi non pertanian.
            Metode riset yang digunakan oleh Vanhanen dapat membantu memprediksi negara mana yang cenderung menjadi negara demokrasi liberal dan sebaliknya. Prediksi Vanhanen meliputi: 1) Sistem demokrasi akan bertahan dan menjadi stabil di Eropa Timur; 2) Demokrasi bertahan di Amerika Latin, meskipun masih sulit untuk menstabilkan institusi demokrasi; 3) Demokrasi baru akan muncul di negara-negara Muslim Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Tengah; 4) masih sulit untuk membangun dan menstabilkan sistem demokrasi di Afrika sub-Sahara, dan beberapa negara demokrasi baru mungkin akan runtuh dalam perebutan kekuasaan yang kejam; 5) Sistem demokrasi akan bertahan di Asia Selatan, meskipun mereka masih dalam bahaya di Bangladesh dan Nepal khususnya karena kemiskinan yang ekstrem, dan demokrasi baru mungkin muncul di Maladewa; 6) Di Asia Timur dan Asia Tenggara, Taiwan (ROC) akan melewati ambang demokrasi, dan tekanan untuk demokratisasi akan meningkat di Cina dan Indonesia khususnya; dan 7) Dukungan eksternal dapat membantu kelangsungan demokrasi di negara-negara pulau kecil dan miskin di Oceania.
Menurut Vanhanen untuk menciptakan distribusi yang merata maka perlu adanya langkah strategis yang harus dilakukan: Pertama, mengubah struktur sosial yang mempengaruhi distribusi sumber daya ekonomi dan kekuatan intelektual. Kedua, mendirikan lembaga-lembaga politik yang memungkinkan untuk berbagi kekuasaan secara demokratis antara kelompok-kelompok yang bersaing. Vanhanen pada dasarnya menyadari bahwa variabel yang dia gunakan untuk mengukur distribusi sumber daya dan demokrasi tidak selalu komprehensif. Terdapat faktor lain dan yang dieksplorasi secara mendalam. Misal dalam variabel politik Vanhanen tentang kompetisi dan partisipasi sebagai contoh di El Savador, kompetisi dan partisipasi tinggi artinya indeks demokrasi baik, tetapi secara empiris, negara tersebut tidak juga bisa dikatakan demokratis kerena militer memanipulasi dan mengintervensi dua varibel tersebut. Sama halnya dengan kasus di Indoensia pada masa orde baru dimana pemilu dimanipuasi dan direpresi oleh militer. Begitu pula sama halnya pada masa reformasi yang lebih banyak menghasilkan praktik patronase dan money politics dalam ruang kompetisi dan partisipasi politik. Bagi Vanhanen, berharap keteraturan dalam demokrasi sangat sulit karena setiap negara memiliki kontkes sosial-politik dan sejarah yang bervariasi. Meskipun demikian, gagasan Vanhanen memberi nilai tambahan dalam demokrasi sehingga tidak lagi terkurung sebatas demokrasi prosedural lewat pemilu. Kompetisi dan partisipasi dalam pemilu di negara yang menjalankan demokrasi menjadi tidak bermakna tanpa hadirnya distribusi suber daya ekonomi dan politik secara inklusif dan berkeadilan di tengah masyarakat.

Demokrasi dan Kutukan Sumber Daya Alam
            Setarikan nafas dengan Vanhanen yang menekankan pada distribusi sumber daya sebagai basis demokrasi, Michael R Ross menelaah lebih jauh menegani politik sumber daya. Dalam tulisannya berjudul “Does Oil Hinder Democracy?” mencoba menganalisa kaitan sumber daya alam yang melimpah terutama minyak terhadap demokrasi di negara-negara yang diberkahi kekeyaan sumber daya alam. Studi Ross dilakukan dengan melakukan survei secara kuantitatif terhadap 13 negara di tahun 1971-1977. Anggapam umum yang telanjur mapan adalah bahwa kekayaan sumber daya alam akan menciptakan tatanan politik yang demokratis. Ross berusaha menantang anggapan tersebut dengan mengajukan pertanyaan apakah kekayaan minyak di negara-negara timur tengah menghalangi demokrasi atau tidak. Jika tidak ada demokrasi di negara tersebut, mengapa dan apa faktor yang mengkondisikan hal demikian.
            Bedasarkan hasil studi Ross, negara-negara timur tengah yang dikarunia minyak melimpah tidak menciptakan sistem demokrasi yang ada justru terjebak dalam kubangan rezim otoriter. Menurut Ross terdapat tiga alasan untuk menjelaskan temuan tersebut. Pertama, efek rente. Pemerintah di negara yang memiliki sumber daya melimpah menerapkan sistem tarif pajak yang rendah kepada masyarakat. Strategi ini dilakukan untuk mengurangi tekanan masyarakat menunutut akuntabilitas pemerintah terhadap sumber pendapatan dan keuangan negara yang diperoleh dari kegiatan pengolahan minyak. Logikanya, pengenaan tarif pajak yang besar, membuat masyarakat akan menuntut akuntabilitas keuangan negara.  Tentu hal demikian akan mengganggu pemerintah dan elit penguasa karena pada umumnya pejabat negara terlibat dalam praktik rent-seeking atas keuangan negara yang diperoleh dari hasil industri minyak.
Selain penggunaan tarif pajak rendah, pemerintah juga melakukan dua strategi lain yaitu: spending effect dan group formation. Spending effect maksudanya adalah efek pengeluaran untuk menciptakan praktik patronase guna menghambat gerakan demokratisasi. Dalam hal ini, pemerintah menggunakan anggaran negara dari pendapatan hasil ekstraksi minyak ini untuk bertindak sebagai patron yang bersedia memberikan sejumlah materi kepada elit politik untuk dikonversi menjadi loyalitas elit politik atau pejabat negara yang berperan sebagai klien. Pola ini pada akhirnya menciptakan praktik rent-seeking. Sementara group formation mencerminkann adanya kehendaka pemerintah untuk mengunakan uang negara untuk menekan pembentukan kelompok-kelompok civil society yang pro demokrasi. Ross mengutip argumen Putnam bahwa “modal sosial dan pembentukan lembaga sipil yang mandiri di luar negara, cenderung mengarah pada demokrasi. Karena itu pemerintah berusaha mengkooptasi kelompok dan organisasi masyarakat sipil atau jika perlu menghilangkan sama sekali dengan memberikan banyak kucuran uang sehingga tidak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk menuntut akuntabilitas keuangan pemerintah.
            Kedua, efek represi. Selain menggunakan keuangan untuk meredam bangkitnya kekuatan oposisi, pemerintah juga menggunakan institusi kemanan militer sebagai alat kekerasaan (forces) untuk menekan stabilitas politik dan ekonomi. Lonjakan dalam pendapatan memungkinkan pemerintah untuk membangun angkatan bersenjata dan melatih pengawal presiden khusus untuk membantu menjaga ketertiban. Kekayaan sumber daya menyebabkan konflik sehingga pemerintah perlu menggunakan cara-cara represif untuk menekan konflik karena akan membuat situasi negara yang tengah fokus pada kegiatan industri pengelolaan minyak yang mendatangkan banyak sumber keuangan.
            Ketiga, efek modernisasi, yaitu pertumbuhan yang didasarkan pada ekspor minyak dan mineral gagal membawa perubahan sosial dan budaya yang cenderung menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Padahal modernisasi mengisyaratkan adanya perbuahan sosial politik yang ditandai dengan spesialisasi pekerjaan, urbanisasi, dan tingkat pendidkan tinggi yang kemudian bermuara akhir pada terciptanya pembangunan ekonomi. Perbuahan sosial memiliki korelasi bagi kemungkinan menuju tatanan yang demokratis. Karena itu pemerinat di negara-negara timur tengah enggan melakukan modernisasi karena akan mengganggu upaya negara dalam berburu rente.
            Apabila di telaah lebih lanjut terkait bangunan argumen yang ditawarkan Ross, maka akan terlihat bahwa kekayaan sumber daya (minyak dan mineral) di suatu negara tidak serta merta menghasilkan sistem demokrasi tetapi yang terjadi justru sebaliknya, hadirnya sistem otoriter. Keberadaan sumber daya alam yang melimpah justru berubah menjadi kutukan sumber daya (resoure curse). Akar masalah yang memunculkan kutukan sumber daya adalah ditutupnya akses informasi dan ketelibatan publik dalam mengelola sumber daya alam dan mengontrol pendapatan negara yang dihasilkan dari industri sumber daya ekstraktif. Akuntabilitas pemerintah yang rendah memicu praktik rent seeking yang mencektak perilaku korup para pejabat negara. Akibatnya terjadi pemusatan kekayaan material pada tangan individu dan sekelompok orang. Distribusi sumber daya yang tidak merata ini kerap kali memicu ketegangan dan konflik di tengah masyarakat baik konflik horizontal maupun vertikal. Kutukan sumber daya alam juga terjadi diakibatkan adanya ketergantungan yang belebih terhadap industri ekstraktif. Negara telampau berfokus pada kegiatan ekspor barang mentah yang akan hilang jika diproduksi secara terus-menerus ketimbang mengalihkan pada upaya industri manufaktur. Booming kelimpahan sumber daya alam membuat negara tidak memiliki inisiatif dalam melakukan inovasi kebijakan.
            Demokrasi menuntut hadirnya redistribusi sumber daya yang setara tanpa melihat apakah suatu negara tersebut dibekali kelimpahan sumber daya alam atau miskin sumber daya. Kuncinya berada pada tata kelola institusi pemerintahan yang membuka ruang partisipasi dan keterbukaan informasi kepada publik untuk untuk ikut mengontrol resources. Jika Vanhanen menyebut tanpa distribusi sumber daya tanpa demokrasi. Maka Ross mengingatkan bahwa sumber daya yang tidak terdistribusi merata akan menciderai demokrasi, yang kemudian dikenal sebagai kutukan sumber daya (resources curse).

Rujukan
Ross, Michael L. “Does Oil Hinder Democracy?” World Politics, vol. 53, no. 3, 2001, pp. 325–361. JSTOR, www.jstor.org/stable/25054153.
Vanhanen, Tatu. 1997. Prospect of Democracy: A study of  172 countries. London & New York: Routledge.


           

Transformasi Ekonomi dan Formasi Kelas: Telaah Teori Lipset dan Moore tentang Basis Demokratisasi

Demokrasi dalam dunia modern saat ini dianggap sebagai salah satu sistem terbaik bagi negara-negara dunia. Hal ini tidak lepas dari nilai-nilai demokrasi yang mengatur mekanisme transisi kekuasaan dengan mengedepan konsensus dan memberikan partisipasi kepada rakyat secara terbuka untuk melakukan kontrol populer secara setara. Demokrasi pula, hak asasi kewarganergaraan menjadi sebuah entitas yang sangat dijunjung tinggi baik secara individual maupun komunal. Nilai dan semangat yang terkandung dalam demokrasi dianggap relevan untuk menjawab tantangan di era modern sehingga mayoritas negara berduyun-duyun mengklaim mengantut demokrasi. Meskipun demikian, demokrasi bukanlah konsep yang given.  Para ilmuan masa lalu banyak berdebat mengenai konsep dan teoritisasi demokrasi yang bermuara pada perdebatan hal-hal apa yang dapat mengkondisikan demokrasi, bagaimana suatu negara bisa dikatakan demokrasi. Adalah Lipset dan Moore, dua orang tokoh terkenal bersejarah yang berpengaruh dalam mendesian teoritisasi demokrasi. Tulisan ini mencoba mendiskusikan lebih jauh konsep demokrasi menurut dua pemikir itu.

Transformasi Ekonomi dan Demokratisasi: Teoritisasi Lipset
Seymour Martin Lipset dalam karyanya berjudul “Political Man: The Social Bases of Politics” membahas tentang bangunan demokrasi yang ditopang oleh ekonomi. Argumen utama dalam karya Lipset adalah pertumbuhan ekonomi sebagai syarat bagi demokrasi. Lipset sendiri mendefinisikan demokrasi sebagai sebuah sistem politik yang memiliki pengaturan konstitusi tentang pergantian para pejabat pemerintah, bersama-sama dengan pengaturan sosial yang memperbolehkan sebagian besar penduduk untuk turun mempengaruhi keputusan-keputusan penting dengan cara memilih oposisi untuk menduduki jabatan-jabatan politik. Dengan kata lain, bagi Lipset demokrasi akan menemukan kehancuran manakala: pertama, sistem politik tidak memiliki nilai dan aturan yang mengatur tentang persiangan memperebutkan kekuasaan secara damai. Karena itu, demokrasi menghendaki konsensus dibandingkan konflik yang anarki. Kedua, pemerintahan hasil dari perebutan kekuasaan tidak efektif akan membuat demokrasi tidak stabil. Ketiga, jika tidak ada oposisi yang efektif, maka pemegang otoritas akan cenderung menyalah-gunakan kekuasaan sementara pengaruh rakyat semakin terpinggirkan.
Menurut Lipset, demokrasi yang stabil membutuhkan pembangunan ekonomi dan legitimasi. Pembangunan ekonomi mencerminkan seberapa besar institusi-institusi yang ada diakui oleh masyarakat sementara legitimasi menggambarkan sebarapa besar masyarakat menganggap institusi-insitusi ini benar dan memang harus ada dalam masyarakat. Terkait dengan aspek ekonomi, Lipset dalam risetnya di banyak negara sampai pada kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi sebuah negara semakin besar peluang negara tersebut menciptakan demokrasi. Konsekuensinya, dalam sebuah negara jika kelompok masyarakat miskin jumlahnya jauh lebih besar dibandingkan dengan kelompok masyakarat kaya yang sedikit jumlahnya, maka akan menghasilkan sistem politik oligarki dan tirani yang menjalankankan kekuasaan secara diktator dan otoriter.
Negara dikatakan memiliki pertumbuhan ekonomi dilihat dari empat variabel beserta ukurannya meliputi: petama, kemakmuran dengan ukuran: 1). Pendapatan per kapita atau per orang; 2). Perbandingan (banyaknya) orang per mobil dan 3). Banyaknya orang per dokter. Kedua, industrialisasi dengan ukuran: 1). Presentase penduduk pria yang bekerja di sektor pertanian dan 2). Pemakaian energi yang diproduksi secara komersial di negara tersebut urbanisasi, dan pendidikan. Ketiga, urbanisasi dengan ukuran: 1).  presentase penduduk pada komunitas sedikitnya 20.000 ribu orang; 2). Presentase penduduk pada komunitas antara 100 ribu orang atau lebih dan 3). Presentase penduduk di kawasan metropolitan atau kota besar. Keempat, Pendidikan, bagi Lispset semakin tinggi tingkat pendidikan sebuah negara semakin, semakin besar peluang terhadap demokrasi. Kendati demikian, Lipset menemukan anonali yang terjadi di Jerman dan Perancis dengan tingkat pendidikan yang baik di Eropa tetapi secara empiris tidak menjadikan negara tersebut memiliki sistem demoktasi yang stabil. Lipset beragumen bahwa tingkat pendidikan pada kedua negara tersebut tutut menghalangi muncul atau tumbuhnya kekuatan-kekuatan anti demokrasi.
Menurut Lipset, pembangunan ekonomi akan sangat menentukan pola perjuangan kelas di sebuah negara. Negara-negara terkaya seperti Amerika Serikat dan Kanada, partai-partai komunis hampir tidak ada sementara partai-partai sosialis tidak mampu berkembang menjadi kekuatan besar. Hal ini tidak lepas bahwa partai sosialis memperjuangkan isu pemerataan produksi dan keuntungan material yang menyasar kelas bawah yang miskin. Hal ini menjadi tidak efektif karena negara kaya menciptakan kelas menengah yang lebih besar dengan pendapatan yang tinggi dan ditopang oleh tingkit pendidikan yang tinggi sehingga tidak tertarik dengan perjuangan dan platform sosialis-komunis. Sementara negara terkaya di belahan lainnya seperti New Zeland, Switzerland, Sweden, united Kongdom, Denmark, Australia, Norwey, Belgium, Luxemburg, Netherland bersifat Sosialisme Moderat artinya mengadopsi demokrasi kapitalis malu-malu.
Menurut Lipset, kekayaan (pertumbuhan ekonomi) mempengaruhi kelas bawah dan kelas tengah untuk mandiri dan merubah struktur stratifikasi sosial. Semakin miskin negara semakin banyak praktik korup dan nepotisme yang kemudian menghambat kinerja birokrasi dan pembangunan sebuah negara. Padahal efisiensi birokrasi sebagai prasyarat demokrasi. Negara yang miskin pun tidak menciptakan masyarakat yang terorganisir dan mandiri di luar kekuasaan negara. Ketiadaan masyarakat (civil society) yang mandiri ini cenderung membuat negara bersifat diktator dan otoriter. Karena itu, pembangunan ekonomi menjad prasyarat bagi terciptanya fungsi-fungsi demokrasi. Pendapatan perkapita rendah dan ketidakpuasan ekonomi  (kemiskinan) menjadi basis bagi kaum kiri. Lebih jauh Lipset berargumen bahwa pengingkatan kemakmuran mengurangi jumlah kelas rendah dan menambah jumlah kelas menengah. Sejumlah kelas menengah besar dapat memoderasi konflik dengan memberikan dukungan kepada partai non ekstrim demokrasi serta meninggalkan kelompok-kelompk ekstrim. Sebaliknya dalam negara-negara miskin memunculkan banyak kelas rendah yang menekan kelas atas. Semakin miskin negara semakin kuat kecondongan korupsi, birokrasi tidak efisien. Lipset berakhir pada kesimpulan bahwa kapitalisme menciptakan borjuasi atau kelas menengah yang kehadirannya akan mendorong dan sekaligus menjadi kondisi yang dibutuhkan bagi demokrasi.
Lipset memperluas teoritisasi demokrasi bahwa stabilitas demokrasi tidak hanya bergantung pada pertumbuhan ekonomi tetapi efektivitas pemerintahan dan legitimasi sistem politik. Efektivitas pemerintahan mengharuskan hadirnya fungsi-fungsi dan kinerja pemerintahan yang memuaskan masyarakat sementara legitmasi harus mencerminkan adanya kepercayaan masyarakat bahwa institusi politik yang ada paling cocok bagi masyakat. Dengan kata lain, efektivitas dan legitimasi merupakan variabel lain yang dapat mengkondisikan demokrasi selain pertumbuhan ekonomi. Untuk mempermudah pemahaman, Lipset membuat tabel sebagai berikut:


           
Menurut Lipset legitimasi dan efektivitas yangg tinggi (A) memiliki sistem politik yang stabil contohnya Amerika, Inggris dan Swedia. Legitimasi rendah sedangkan efektivitas tinggi (C) dapat terlihat di Jerman dan Austria. Sedangkan yang paling buruk adalah legitimasi dan efektivitas sama-sama rendah yang rawan memunculkan kediktatoran, seperti yang terjadi di jerman Timur dan Hongaria. Pemerintah yang sangat efektif tetapi tidak legitimate lebih tidak stabil dibandingkan legitimasi rendah tetapi tingkat efektifitas tinggi. Bagi Lipset, legitimasi dan efektivitas pemerintah akan berpengaruh terhadap ada atau absennya konflik pada sebuh negara. Konflik biasanya muncul di negara miskin dengan disparitas ekonomi yang sangat tinggi serta tidak terpenuhinya hak-hak kewarganegaraan secara penuh. Disparitas ekonomi yang mengasilkan jumlah kaum buruh lebih banyak dalam sebuah kelompok masyarakat menjadi lahan yang subur bagi tumbuh berkembangnya partai  sosialis dan komunis.
Menurut Lipset, situasi kelas sosial bawah khususnya di negara-negara miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi cara pandang mereka tentang politik yang sempit dan menyukai gerakan-gerakan ekstrimis yang menawarkan pemecahan problem sosial secara mduah dan cepatdan memiliki sudut pandangan yang kaku. Kelas bawah kurang berkomitmen dengan demokrasi sebagai sistem politik. Kelas bawah di negara yang di tidak menyukai sistem multi-partai. Di Jepang misalnya buruh dan penduduk pedesaan lebih otoriter dan kurang peduli dengan kebebasan sipil dibandingkan dengan kelas menengah dan atas. Di Amerika, kelas bawah adalah kelompok yang kurang toleran. Temuan survei 13 negara, kelas bawah kurang komitmen terhadap demokrasi. Faktor-faktor yang menyebabkan kelas bawah bersifat otoriter karena pendidikan yang rendah, partisipasi politik dan organisasi sukarela rendah, posisi terisolasi dalam pekerjaan, tingkat ekonomi rendah, terdapat pola-pola otoriter dalam keluarga. Pada akhirnya Lipset menarik kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi basis penting dalam demokrasi. Ekonomi suatu negara akan berpengaruh terhadap legitimasi dan efektivitas pemerintahan dan berpengruh terhadap pola konflik dan perjuangan kelas di suatu negara.

Formasi Kelas dan Demokratisasi: Telaah Teori Moore
            Jika Lipset menekankan pentingnya pertumbuhan ekonomi sebagai prasyarat demokrasi, maka berbeda dengan Barrington Moore yang menekankan pada pentingnya formasi kelas sebagai basis sosial dalam demokrasi. Dalam bukunya berjudul “Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World”, Moore menegaskan bahwa demokrasi bergantung sejarah negara tersebut. Merunut sejarah menjadi penting untuk memahami bagaimana pergeseran kekuasaan dan perubahan dalam masyarat dan melihat faktor apa saja yang mengkondisikan terjadap jalur demokrasi. Moore melakukan kajian di enam negara (Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Jepang) untuk menganalisa faktor apa yang dapat menghasilkan demokrasi, apakah kapitalisme, fasisme atau komunisme. Moore berpendapat bahwa terdapat tiga rute sejarah dari transisi masyarakat agraris ke industri modern. Rute pertama mencerminkan demokrasi kapitalis dapat ditemukan di Inggris, Amerika Serikat dan Francis. Hal ini terjadi karena hadirnya kekuatan kaum borjuis yang dominan dalam melakukan revolusi untuk  menciptakan tatanan politik yang demokratis.  Sementara kaum petani posisinya lemah dan hanya dianggap sebagai faktor pendukung saja.
Rute kedua menghasilkan kapitalisme rekasioner yang berujung pada fasisme terjadi di Jepang. Hal ini terjadi karena keberadaan kaum borjuis lemah dalam merespon penetrasi industrialisasi. Lemahnya kekuatan kaum borjuis diisi oleh keberadaan kaum petani yang kuat dalam menekan kepentingan mereka. Keberadaan kaum petani yang kuat ini dianggap menjadi ancaman bagi kaum borjuis dan aristokrat. Kedua kelompok ini akhirnya berkoalisi untuk menentang dominasi kaum petani dan kelas sosial lainnya yang semakin otonom dan independen. Akibatnya, kamum borjuasi dan aristokrasi berkoalisi untuk menentang kekuatan masyarakat petani dengan menciptakan sistem negara yang otoriter. Apa yang membawa fasisme totaliter ke negara-negara ini adalah keengganan mereka untuk melakukan perubahan struktural dalam menghadapi krisis politik atau ekonomi, yang memungkinkan para pemimpin reaksioner untuk menyesuaikan aparatus negara untuk diri mereka sendiri dan membawa revolusi fasis dari atas. Sehingga sistem pemerintahan menjadi fasis dan diktator.
Terkahir, rute ketiga menghasilkan komunisme yang ditemui di Cina dan Russia. Menurut Moore, pada negara tersebut kekuatan kaum borjuis lemah untuk menciptakan industrialisasi pertanian. Padahal di saat yang bersamaan, di negara tersebut memiliki sejumlah besar kelas tenaga kerja di bidang pertanian sehingga menciptakan kekuatan kaum petani yang beraliansi untuk melakukan perlawanan. Adanya pertentangan kelas antar kamu borjuis yang lemah dan kaum petani yang kuat dan otonom dalam perjuangan revolusi, menurut Moore telah membuka jalan menuju masyarakat komunis.  Pertentangan kelas ini dimenangkan oleh kekuatan petani yang kemudian mebuka jalan bagi kaum petani untuk menguasai negara dan aparatus pemerintahan dengan semangat menghilangkan stratfikiasi sosial menju masyarakat tanpa kelas (strong agrarian bureaucratic state). Petani yang menginiasi revolusi dari bawah ini menghasilkan tatanan politik Communist dictatorship.
Barrington Moore juga memberikan analisa diluar tiga transisi masyarakat agraris ke industri sebagaimana yang telah disinggung diatas, yaitu terdapat karakter yang khas di Asia dalam transformasi kelas dan proses perubahan sosial. More mengambil kasus India, bahwa di negara tersebut mengalami hambatan demokrasi karena terbentur oleh faktor budaya dan agama. Misalnya ajaran agama hindu menciptakan sistem kasta yang kemudian menciptakan praktik patronase atas dasar pertukaran materian dan loyalitas. Dimana hubungan antar kelas dalam kasra mengedepankan aspek kedekatan secara emosional. Sistem Hindu mengharuskan para petani menyetorkan sebagian dari hasil panen mereka kepada raja dalam batas-batas yang ditentukan oleh adat dan hukum. Sistem kasta mengharuskan adanya kepatuhan dan tunduk terhadap sistem kasta yang ada tanpa dengan harapan kepatuhan tersebut dapat menaikan skala sosial di kemudian hari. Tidak ada dalam masyarakat, sistem kasta juga berkerja di parlemen, dimana dewan hanya berkerja secara politik sesuai dengan kasta mereka masing-masing. Anggota dewan dari kasta yang lebih rendah melakukan rasa hormat kepada anggota dewan dengan kasta yang lebih tinggi. Terdapat reward dan punishment dari ralasi patronase antar kelas ini. Rumitnya, oposisi terhadap sistem yang hirarkis ini pun jarang sekali muncul di India. Budaya kepatuhan terhadap norma yang telah ditetapkan oleh kasta atas telah membatasi masyarakat untuk melakukan oposis politik.

Menyoal Demokratisasi: Sebuah Refleksi
            Pembahasan sebelumnya telah diurai tentang hal-hal yang dapat mengkondisikan demokrasi dengan mengambil bagunan teori dari Lipset dan Moore. Kedua pemikir ini sesungguhnya mengambil sudut pandang yang sama dengan menempatkan ekomoni sebagai basis bagi demokrasi, namun tentu diramu dengan cara yang berbeda. Jika Lipset lebih banyak berbicara tentang pertumbuhan ekonomi sebagai syarat demokrasi. Negara yang miskin hanya akan memunculkan banyak konflik kelas karena terdapat pemerintahan yang tidak efektif dan legitimate serta ketidakpuasan kelas bawah atas kaum borjuasi akbiat ekonomi yang tidak merata. Berbanding terbalik dengan negara kaya yang lebih menghasilkan sistem politik yang stabil dengan mengedepankan konsensus. Berbeda dengan Moore yang lebih menekankan pada aspek sejarah terkait pergeseran kekuasan dan perbuahan sosial di sebuah negara. Moore mengkerangkai basis ekonomi dengan kacamata perjuangan kelas antara kelas atas (aristokrat, tuan tanah), tengah (borjuis), dan bawah (buruh, petani) untuk melakukan transisi dari masyarat agraris ke industri yang kemudian berakhir pada 3 rute (kapitalis, fasis, dan komunis). Dalam konteks hari ini, era modernisasi yang mendewakan material dan teknologi sebagai indikator bagi pertumbuhan dan kemakmuran suatu negara telah begeser menuju post modern yang beranggapan bahwa teknologi dan materi merusak lingkungan. Muculnya gerakan lingkungan (go green) akhir-akhirnya merupkan sebuah fenonema menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Di Belanda misalnya penggunaan mobil mulai menurun digantikan dengan sepeda karena dianggap lebih pro lingkungan tetapi negara tersebut adalah kaya dan makmur. Berbeda dengan Indonesia, banyak sekali penggunaan mobil dibandingkan sepeda. Begitu pula, bidang pertanian sudah banyak beralih lahan menjadi industri dan perumahan, tetapi negaranya jauh dari kata sejahtera. Muncul pertanyaan apakah kemudian transfromasi ekonomi sebagai basis demokratisasi  sebagaimana yang telah di konseptualisasikan oleh Lipset dan Moore juga mengalami pergeseran.

Rujukan
Lipset, S Martin (1960). Political Man: The Social Bases of Politics. Doubleday & Company, Inc., Garden City, New York.
Moore, Barington. (1974). Social Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasent in the Making of the Modern Word. Middlesex & Victoria: Penguin University Books.


















Gelombang Perlawanan: Respon Terhadap Ketidakberesan Elit Politik dan Disfungsi Negara

Pada hari senin tanggal 23 September 2019, ribuan mahasiswa yang terdiri dari berbagai universitas di Yogyakarta turun ke jalan. Mereka melakukan long march dari kampus masing-masing untuk kemudian betemu di titik simpul yang sama, di Jalan Gejayan. Gejayan menjadi saksi bisu hadirnya kekuatan aliansi mahasiswa Jogyakarta menyuarakan sekaligus menuntut pemerintahan yang dianggap  bermasalah. Aksi ini kemudian dikenal dengan seruan #Gejayan_Memanggil. Perkembangan teknologi digital melalui pemanfaatan media sosial menjadi instrumen penting dalam memobilisasi masa dan menyesaki ruang publik virtual. Masifnya mobilisasi massa melalui penggunaan media sosial telah membuat seruan #Gejayan_Memanggil menjadi salah satu tranding topic di Twitter. 
Gejayan dipilih sebagai simpul berkumpulnya aksi mahasiswa karena memiliki nilai sejarah yang sama. Di tahun 1988, ribuan mahasiswa Jogyakarta turun ke jalan membawa semangat yang sama dan tunggal yaitu menuntut Soeharto turun dari jabatan presiden. Rezim Soeharto yang menerapkan sistem pemerintahan birokratik-otoriter selama 32 tahun telah kehilangan legitimasi menyusul munculnya krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Elemen masyarakat dan mahasiswa menuntut reformasi yang menghadirkan sistem politik demokratis. Tanggal 23 September 2019, ada romantisme akan keberhasilan gerakan sipil di Jalan Gejayan. Tuntutan dan isu yang diperjuangkan berbeda, jika tahun 1998 common enemy mereka adalah rezim orde baru yang otoriter, maka aksi mahasiswa tahun 2019 common enemy mereka bukanlah rezim otoriter, tetapi demokrasi itu sendiri. Mereka menganggap bahwa makna demokrasi telah ditelanjangi dan dikorupsi oleh elit politik yang berhasil mentransformasikan diri melalui pintu demokrasi.
Aksi demonstrasi sebagai bentuk ungkapan, ekspresi sekaligus kritik publik terhadap negara merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi. Demokrasi menghendaki adanya kebebasan warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik sekaligus melakukan kontrol populer secara setara. Hadirnya demontrasi mahasiswa sebagai bentuk kritik atas penguasa mengindikasikan adanya problem dalam tubuh demokrasi. Praktik kekuasaan negara yang dijalankan oleh aktor politik melalui logika patronase dan klientalisme, oligarkis dan praktik kartel adalah varian dari problem demokrasi yang tengah di hadapi Indonesia paca orda baru. Reformasi politik yang mengubah transformasi politik dari otoritarianisme ke demokrasi ternyata tidak serta merta membawa iklim perubahan sosial politik dan pembangunan ekonomi ke arah yang lebih baik.
Selama kurang lebih 20 tahun pasca orde banyak kajian yang berusaha memotret paradoks bekerjanya demokrasi di Indonesia. Aspinall (2014) berkesimpulan bahwa politik Indonesia kontemporer dihiasi oleh kagiatan patronase antar elit untuk merebut jabatan di arena politik formal.  Praktik patronase misalnya dengan mudah ditemui pada masa pemilu. Calon kandidiat menawarkan sumber material maupun non-material kepada pemilih untuk dikonversi menjadi dukungan dalam bilik suara (voting buying). Praktik ini tentu membuat dimensi pesaingan antar aktor menjadi tidak sehat dan akhirnya menghadirkan pemimpin politik yang tidak berintegritas dan akuntabel. Praktik korupsi menjadi sulit dihindari.
Pandangan yang lain menyebut bahwa demokrasi Indonesia telah dikuasai oleh segelintir elit yang mempunyai kepentingan pada politik pertahanan kekayaan. Segelentir elit ini disebut oleh Hadiz & Robinson (2004) dan Winters (2011) sebagai oligarki. Resources yang melekat pada negara merupakan lahan basah untuk berburu rente para oligarki. Hubungan yang dibangun secara harmonis antara negara dengan para oligarki telah mengeksklusi sekaligus mengorbankan warga negara.  Distribusi kekuasaan politik dan ekonomi yang memusat ke tangan elit oligarki ini menjadi penyebab munculnya ketimpangan di tengah masyarakat yang akhirnya berujung pada absennya negara dalam menyuguhkan pelayanan publik yang berkualitas dan menciptakan kesejahteraan warga negara. Sebagaimana yang disebutkan oleh Slater (2014) dan Ambardi (2009) munculnya kekuatan oligarki ini tidak lepas dari praktik kartel-kartel politik. Persoalan-persoalan yang muncul di tubuh rezim demokrasi ini menjadi alasan mengapa proses transisi di Indonesia tidak berjalan mulus alias mandek (Tornquist, 2013).
Persoalan demokrasi dalam praktik bernegara kian hari semakin tidak bisa masuk akal dalam nalar demokrasi. Hari ini ruang publik disesaki oleh isu tentang ketidakberesan elit politik dan disfungsi negara yang gagal dalam mewujudkan tuntutan warga negara yang haus akan kesejahteraan. Upaya pelemahan KPK, sejumlah isu RKUHP yang kontroversial, Undang-undang Pertanahan dan Undang-Undang Minerba yang memihak kepentingan elit dan pemodal menjadi pemicu meledaknya gelombang perlawanan mahasiswa Jogyakarta di Gejayan dan terus direspon oleh aksi demontrasi di berbagai daerah termasuk di Jakarta.

Ketidakberesan Elit Dan Disfungsi Negara
            Awal mula terbentunya negara pada dasarnya tidak lepas dari mandat rakyat yang memberikan legitimasi dan kedaulatan mereka kepada negara sebagai institusi dan lembaga yang mengatur kehidupan rakyat untuk menciptakan keteraturan demi mencapai kebaikan bersama. Hal ini tidak lepas dari realita bahwa individu dan kelompok yang hidup dalam suatu daerah teritorial memiliki kepentingan masing-masing sehingga rentan terhadap konflik dan pertumpahan darah sebagi akibat adanya persaingan dan benturan kepentingan yang beragam dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas. Untuk meminimalisir terjadinya konflik, individu dan kelompok bersepakat untuk memilih suatu organisasi atau institusi bernama negara yang bertanggungjawab dalam menciptakan ketertiban dan harmonisasi kehidupan sosial-politik. Negosiasi antara kelompok (rakyat) dengan negara disebut John Locke sebagai kontrak sosial. Rakyat memberikan legitimasi, kepercayaan, loyalitas dan bersedia diatur oleh negara. Sementara negara berkewajiban melindungi hak-hak warga negara dan berkomitmen menciptakan kebaikan bersama. Keberhasilan dan kegagalan negara sangat ditentukan oleh sejauh mana negara menjalankan tugas tersebut secara efektif. 
            Namun dalam logika bekerjanya negara, tidak selalu berada pada ranah ideal.  Negara kerap kali justru bertindak sebagai alat bagi kelas berkuasa untuk menindas kelompok lain yang berada di luar kekuasaan negara. Negara menjelma sebagai entitas kekuatan dominasi elit yang menyatu dalam tubuh negara untuk mendapatkan akses terhadap resources dan disaat yang bersamaan memarginalisasi dan mengekslusi kehidupan rakyat. Inilah yang dikatakan oleh kaum Marxian bahwa negara tidak lain hanya sebagai perpanjangan tangan segelintir elit yang berkuasa. Tidak hanya sebagai alat bagi kelas dominan untuk mengejar kepentingan mereka, negara seringkali menemui jalan buntu bagaimana seharusnya mengelola negara dan masyarakat. Fungsi negara sebagai penyedia layanan publik, membuat produk kebijakan, distribusi dan alokasi nilai kepada rakyat kerap kali terhambat ketika berhadapan dengan kepentingan elit politik yang berkuasa. Dengan kata lain, keberadaan elit politik yang mengelola institusi negara telah menyandra fungsi-fungsi dan tujuan dari negara itu sendiri.
            Paling tidak kondisi ini yang tengah menjangkiti Indonesia sebagai sebuah entitas dari negara. Ada ketidakberesan elit politik sekaligus disfungsi negara sehingga demokrasi yang sedang berjalan pasca reformasi tidak kunjung membawa arah perubahan yang lebih baik. Demokrasi terjebak pada aspek prosedural namun abai terhadap nilai-nilai yang lebih substansial. Di satu sisi, institusi demokrasi banyak diciptakan dan dikembangan untuk mengawal reformasi, namun di sisi lain keberadaan institusi demokrasi ini tidak lantas membuat fungsi dan kinerja institusi tersebut berjalan secara efektif. Sebagai ilustrasi, pemilu lima tahunan diselenggarakan secara lebih terbuka dan transparan. Warga negara diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk ikut berkontestasi dalam pemilu. Ironisnya, kandidat terpilih sebagai elit politik yang lahir dari produk pemilu tidak banyak yang berhasil menjalankan ide representasi, yang terjadi justru adanya monopoli institusi representasi oleh aktor dominan, yakni elit politik yang memikili basis sumber daya material (Amalinda & Tornquist, 2016). Banyaknya pejabat politik yang lahir dari rahim pemilu yang korup dan tidak akuntabel mempertegas bahwa nilai demokrasi substantif belum tersentuh. Ketidakberesan elit dan disfungsi negara yang kemudian menuai kritik di tengah rakyat dapat dibaca dari isu-isu yang menjadi perdebatan di ruang publik belakangan ini. Dari beragam masalah yang sangat kompleks, paling tidak ada tiga persoalan yang penting dan krusial yaitu menyangkut pelemahan KPK, perumusan kebijakan yang tidak akomodatif, dan polemik mengenai hak asasi manusia.
Pertama, isu mengenai pelemahan KPK dapat dirunut dari awal proses pembentukan calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Panitia seleksi calon pimpinan KPK berdasarkan keterangan ICW bermasalah karena meloloskan calon pimpinan yang memiliki catatan kurang baik, misalnya tidak melaporkan LHKPN dan pernah bertemu dengan pejabat yang tengah tersandung kasus korupsi. Polemik ini berlanjut dan menemui puncaknya setelah pemerintah dan DPR sepakat merevisi UU KPK nomor 30 tahun 2002. Pasal-pasal yang bermasalah seperti menempatkan institusi KPK dibawah kekuasaan eksekutif dan pegawai KPK yang bekerja didalamnya berstatus sebagai PNS. Selain itu revisi undang-undang KPK terbaru yang telah disahkan menghendaki dibentunya lembaga Dewan Pengawas yang dibentuk oleh DPR untuk mengontrol kinerja KPK. Celaknya, Dewan Pengawas ini memiliki tugas dan kewenangan melampaui KPK misalnya dalam urusan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, KPK harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas.
Proses pemilihan calon pimpinan KPK yang bermasalah dan desain regulasi KPK yang kontroversial dianggap sebagai upaya elit politik yang berkuasa untuk melemahkan KPK dengan mengebiri kewenangan KPK dan menempatkan KPK sebagi lembaga yang tidak lagi independen karena harus berada dalam kekuasaan eksekutif dan terbatasi oleh hadirnya Dewan Pengawas. Ironisnya, proses revisi undang-undang ini sangat politis tanpa membuka ruang partisipasi dan dialog terbuka melibatkan elemen civil society. Ditengah tuntutan publik yang begitu besar terhadap penguatan KPK dan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia, elit politik di parlemen justru terkesan tertutup dan terburu-buru dalam membuat regulasi. Masukan publik tidak mendapat perhatian serus dalam agenda perumusan dan formulasi kebijakan terkait revisi Undang-Undang KPK. Ketika kontrol publik ditutup dan ruang partisipasi publik dibatasi maka makna demokrasi menemui paradoksnya sendiri. Dan paradoks ini dilakukan secara sadar dan terstruktur oleh DPR dan pemerintah.
Kedua,  perumusan kebijakan yang tidak akomodatif dan representatif. Salah satu fungsi negara adalah mengatur warganya untuk menjamin terciptanya keteraturan dan harmonisasi di tengan kehidupan warga negara. Fungsi mengatur ini termanifestasikan secara formal dan terlembaga melalui konstitusi dan undang-undang. Kegagalan negara dalam menjalankan fungsi regulatif ini tatakala dalam proses perumusan dan formulasi kebijakan tidak berpihak kepada kepentingan publik sebagai pemilik kedaulatan. Karena itu perumusan kebijakan yang akomodatif dan representatif menjadi penting dan patut menjadi perhatian utama negara. Namun isu tentang RUU Minerba dan Petanahan menemukan kejanggalan. RUU Minerba yang tengah dibahas oleh DPR dianggap berpihak kepada kepentingan pengusaha dan pemodal. Draf RUU ini menghapus pasal tentang korupsi pertambangan. Padahal sebelumnya Undang-Undang No 4 tahun 2019 tentang Minerba mengatur tentang sanksi bagi pejabat atau pihak lain yang menyelahgunakan kewenangan terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pemanfaatan Ruang (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Upaya DPR mengahapus pasal pidana bagi tindakan korupsi terkait izin pertambangan semakin memperkuat asumsi bahwa negara sudah kehilangan netralitas dan independensinya dalam mengelola kehidupan warga negara. Negara dibawah kendali oligarki yag menguasai sejumlah perusahaan pertambangan. Oligarki ini bisa berasal dari elit politik yang memegang jabatan politik bisa pula berasal dari luar jabatan politik namun keberadaan mereka sangat berpengaruh terhadap keputusan politik pemerintah.
Sementara RUU tentang Pertanahan juga tidak kalah kontroversial. Dalam draf undang-undang tersebut menyebut bahwa negara berhak memidanakan warga yang menolak dan melawan pejabat yang bertugas pada bidang tanah miliknya. Selain itu negara berhak mempidanakan bagi kelompok yang melakukan “pemufakatan jahat” dalam sengketa lahan. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pembentukan kebijakan tersebut sangat politis. Lewat regulasi tersebut, warga negara dibatasi dalam memperjuangkan hak atas klaim tanah mereka dari kemungkinan penguasaan pihak lain baik perusahaan maupun pejabat negara. Negara menunjukkan identitasnya sebagai institusi yang mengedepankan represif dan menekan warga negara yang enggan memberikan hak tanah mereka. Singkatnya, pasal tersebut melegitimasi negara melakukan tindakan kekerasaan sekaligus rentan atas tindakan mengkriminalisasi warga dan komunitas (organisasi) yang bergerak pada isu agaria.
Dua RUU tentang Minerba dan Pertanahan sebagaimana yang telah disinggung diatas menunjukkan bahwa terdapat masalah dalam proses perumusan dan formulasi kebijakan. Regulasi yang tengah dikonsolidasikan bias kepentingan. Proses keputusan politik didefinisikan secara sepihak oleh negara melalui DPR dan Pejabat dan abai akan perlunya kebijakan yang akomodatif dan representatif dengan mengutamakan kepentingan publik melalui penyaringan masalah publik secara hati-hati dan transparan sehingga proses keputusan politik yang diambil tidak mendiskriminasikan dan memarginalisasikan warga negara. Kuncinya adalah adanya ruang dialog secara setara antara pemerintah dan warga yang bersangkutan sehingga memunculkan konsensus bersama yang menguntungkan kedua belah pihak. Problemnya, proses perumusaan RUU Minerba dan Pertanahan ini nampaknya jauh dari kata akomodatif dan representatif.
Ketiga, ketidakberesan elit politik dan disfungsi negara dilihat dari polemik hak asasi manusia. Selan fungsi regulatif, hadirnya negara tidak lepas dari fungsinya sebagai lembaga yang melindungi dan menjamin hak-hak warga negara dari adanya ancaman. Hak-hak ini mencakup hak untuk hidup, berbicara dan berserikat, serta hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Pihak luar bahkan negara sekalipun tidak berwenang merampas hak tersebut dengan cara dan alasan apapun. Hak ini sangat universal dan melekat dalam diri individu atas nama manusia sehingga eksistensi hak ini perlu dihormati dan dijunjung tinggi. Perdebatannya adalah sejauh mana negara  mengatur urusan warga negara baik di ranah publik maupun privat sehingga tidak merampas hak asasi. Negara seringkali kehilangan kendali (latah) dengan telampau mengintervensi kehidupan warga negara melalui seperangkat aturan yang acapkali bias kemanusiaan dan gender. Pendefinisian secara sepihak menggunakan sudut pandan negara dalam mengatur urusan publik seringkali melanggar nilai-nilai HAM dan demokrasi. Celakanya, kekeliruan ini dilembagakan melalui regulasi. RUU ketenagaakerjaan dengan jelas sangat bias gender. Di dalam draf UU tersebut, pekerja perempuan tidak lagi mendapatkan hak cuti haid dengan alasan nyeri haid dapat diatasi dengan obat.  Hal ini nampak mendiskreditkan posisi perempuan. Perusahaan akan dengan mudah melakukan eksploitasi terhadap pekerja perempuan dengan menuntut untuk tetap melakukan kegiatan produksi tanpa mempertimbangkan kondisi fisik dan psikologis pekerja perempuan yang mengalami haid. Konsekuensinya, pekerja perempuan terkesan dianggap hanya sebagai mesin penghasil keuntungan material bagi perusahaan dengan mengabaikan sisi kemanuasiaan terhadap perempuan. Pasal 81 tentang cuti haid yang akan dihapus dengan dalih bisa ditangani dengan obat anti nyeri terkesan terlalu mensimplifikasi persoalan. Pemerintah dan DPR tidak melihat dampak jangka panjang bagaimana seandainya pekerja pemerempuan mengalami sakit yang lebih serius. Selain itu cerita tentang penangkapan para aktivis HAM di berbagai sektor masih menjadi polemik dalam penegakan hukum di Indonesia. 

Gelombang Perlawanan Mahasiswa: Sebuah Pilihan Alternatif
            Apa yang telah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya membawa kita pada pemahaman bahwa terdapat ketidakberesan elit dalam hal ini DPR dan pemerintah dalam proses formulasi kebijakan yang akan berdampak besar terhadap kehidupan publik. Ketidakberesan ini ditandai oleh kegagalan elit politik dalam mengartikulasi dan mengagregasikan masalah publik yang lebih substansial. Masalah yang bekembang ditengah publik cenderung dipolitisasi sehingga keputusan politik yang dihasilkan terkesan hanya melayani kepentingan segelintir elit, sementara publik semakain terpinggirkan. Ketidakberesan elit ini membuat ide representasi tidak bekerja optimal pada instititusi kekuasaan formal. Munculnya pasal karet dan menuai polemik di tengah publik adalah sebuah sinyal bahwa ide representasi itu tidak berpihak pada publik sebagai pihak yang memberikan legitimasi dan kekuasaan lewat pemilu. Ketika persoalan publik gagal dikelola dengan baik, sementara kapasitas institusi formal negara tidak mampu bekerja efektif dan ruang-ruang kontrol publik dan partisipasi terekesan dibatasi, maka satu-satunya harapan yang dapat dilakukan untuk merespon kegelisahan ini semua adalah dengan membentuk perlawanan yang bernaung dalam wadah gerakan sipil yang digerakkan oleh kekuatan civil society. Keberadaan civil society menjadi penting sebagai basis demokrasi (Putnam, 1992). Hal ini dikarenakan civil sociey dianggap dapat menjadi penyeimbang kekuasaan negara sehingga terdapat mekanisme check and balances. Kekuasaan pemerintah perlu diawasi agar tidak terjadi penyelahgunaan kekuasan.
            Paling tidak hal ini yang melatarbelakangi sekaligus memicu munculnya tagar #Gejayan_Memanggil yang sukses memanggil nurani mahasiswa Jogyakarta untuk turun ke jalan menuntut elit politik agar lebih responsif terhadap persoalan yang tengah dihadapi publik yang sesungguhnya. Jogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar telah membuktikan bahwa kehidupan seorang pelajar/mahasiswa tidak hanya disibukkan oleh proses pendidikan tetapi ada beban moral yang melekat untuk menjadi bagian sebagai aktor perubahan. Masa aksi yang turun ke jalan didominasi oleh pakaian berwarna serba hitam. Warna ini dipilih sebagai makna simbolik yang berusaha menjelaskan situasi bahwa keadaan negara dan bangsa hari ini sedang berduka, suram dan dirundung kepiluan.
            Aksi demonstrasi mahasiswa Jogyakarta yang mengatasnamakan “Aliansi Rakyat Bergerak” membawa tujuh tuntutan yaitu: 1) Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP; 2) Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia; 3) Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia; 4) Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja; 5) Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria; 6) Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; 7) Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
            Aksi mahasiswa ini dipusatkan di pertigaan Gejayan. Sebelumnya mahasiswa melakukan long march dari arah utara, barat,  dan selatan. Terdapat tiga titik kumpul yang telah ditentukan yaitu Bundaran UGM, Pertigaan UIN Sunan Kalijaga, dan Gerbang Utama Universitas Sanata Dharma. Masa sudah banyak berdatangan dan memadati tempat kumpul yang ditentukan mulai jam 10.00-12.00. Sorak-sorai dan nyayian penggugah semangat khas anak pergerakan tak henti digaungkan. Aksi mahasiswa ini berlangsung selama sekitar 5 jam dan berakhir pada sore hari.  Kerumunan massa aksi yang  berjumlah ribuan membuat polisi harus mengalihkan arus lalu lintas kendaraan. Selain longmarch, aksi ini diikuti dengan kegiatan tanda tangan di banner yang terbentang luas. Peserta aksi secara bergantian menggoreskan tinta diatas banner yang tersedia. Beberapa peserta aksi ada pula yang memperagakan kegiatan tidur di aspal jalan beberapa menit sebagai simbol matinya demokrasi di Indonesia. Mimbar orasi pun disipakan bagi siapa pun yang ingin mengekespresikan opini dan meluapkan protes mereka.
            Tidak diketahui secara pasti siapa yang menjadi pelopor utama yang menggerakan ribuan mahasiswa ini. Beberapa Universitas bahkan mengeluarkan surat edaran menyatakan diri secara kelembagaan tidak terlibat dalam gerakan “Aliansi Rakyat Bergerak” dan tidak bertanggungjawab atas kemungkinan terjadinya gejolak sosial akibat aksi tersebut. Bahkan beberapa surat edaran tersebut terkesan tidak mendukung mahasiswa untuk turun ke jalan dengan tetap menjalankan kegiatan perkualiahan. Universitas Sanata Dharma, UIN Sunan Kalijaga dan UGM termasuk yang mengeluarkan surat edaran tersebut dan ditandatangi oleh pimpinan universitas. Meskipun demikian, beberapa dosen nampak hadir turun ke jalan membersamai kerumunan aksi mahasiswa. Diantara dosen pengampu kuliah bahkan secara sadar mengkosongkan kelas supaya mahasiswa kuliah di lapangan, mengikuti aksi. Sebagian dosen ada pula yang tetap mengajar di kelas, namun secara pribadi mengizinkan mahasiswanya yang izin tidak masuk kelas untuk turun ke jalan.
            Yang menarik dari #Gejayan_Memanggil adalah gerakan ini melibatkan berbagai unsur bendera organisasi mahasiswa. Mereka membawa misi yang sama melakukan protes terhadap pemerintahan saat ini. Berbagai tuntutan, narasi dan isu yang diperjuangkan oleh organisasi kemahasiswaan ini diakomodir dalam naungan “Aliansi Rakyat Bergerak”. Mahasiswa yang tidak memiliki platform organisasi tertentu pun tak kalah banyak jumlahnya. Apa yang bisa ditangkap dari sini adalah tidak begitu penting siapa aktor yang menggerakkan dan memobilisasi massa ke jalan, sebab gelombang protes ini lebih menekankan pada isu dan narasi yang dibawa. Isu dan narasi ini yang sukses menarik ribuan mahasiswa membentuk lautan manusia di sepanjang jalan Gejayan. Meskipun tentu tidak menutup kemungkinan atas rentannya ditunggangi oleh pihak yang mencoba mengambil peruntungan pragmatis dari gerakan ini. Tetapi gerakan ini sebenarnya murni berangkat dari panggilan nurani atas kegelisahan mahasiswa dan rakyat pada umumnya terkait kondisi perpolitikan Indonesia yang kian rumit dengan segudang problem.
            Target dari gerakan protes mahasiswa ini adalah untuk mengklaim ruang publik yang selama ini dianggap bekerjanya ruang publik menjadi kabur dan bias karena terdistorsi oleh kepentingan elit politik secara sepihak. Ruang publik tidak menyediakan perdebatan dan dialog yang sehat melibatkan berbagai elemen kelompok masyarakat. Elit politik yang oligarkis telah mendominasi ruang publik sehingga yang muncul hanya keberpihakan jangka pendek sementara aspirasi publik yang lebih substansial terpinggirkan, tidak menjadi bahan diskusi yang penting. Paradoks, parlemen yang menjadi perpanjangan suara rakyat seyogyanya mampu menjalankan fungsi representasi atas nama kehendak publik yang mereka wakili. Tetapi representasi itu tidak lebih hanya menjelma pada model representasi simbolik (stand for). Representasi model ini menempatkan reprersentator (anggot DPR) merasa tidak terbebani tanggungjawab tehadap kelompok yang mereka wakili (Pitkin, 1967). Padahal demokrasi substansial mensyaratkan lahirnya representator yang menjalankan fungsi representasi politik yang lebih substantif sesuai dengan kehendak publik yang mereka wakili (act for). Hal ini yang membuat demokrasi Indonesia terjebak pada aspek prosedural. Karena itu, aliansi gelombang protes mahasiswa Jogyakarta tidak hanya mengklaim ruang publik yang bias kepentingan tetapi sekaligus menggugat praktik representasi politik yang gagal dikerjakan dengan baik oleh DPR. Ketika ide representasi lemah, maka aksi protes turun ke jalan menjadi pilhan alternatif. Gerakan perlawan mahasiswa ini bentuk dari cerminan politik extra-parlementer untuk meng-counter parlemen formal yang dianggap lemah.

Daftar Pustaka
Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Gramedia & LSI.
Aspinall & Berenschot. (2019). Democracy for Sale: Election, Clientalism, and The State in Indonesia. Leiden: Cornell University Press.
Putnam, R. (1993). Making Democracy Work: Civic Traditions in Modern Italy. Princeton: University Press.
Pitkin, Hanna F. (1967). The Concept of Representation. United State: University of California Press
Robinson, R., & Hadiz, V. (2004). Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age of Markets. London: Routletge.
Slater, D. (2004). “Indonesian Accuntability Traps: Party Cartels and Presidential Power After Democracy Transition.” Indonesia, No. 78 (Oktober).
Tornquist, O. (2014). “Stagnation or Transformation in Indonesia?” Economic and Political Weekly, Vol.49, No. 50, 23-27.
Winters, J. (2014). ‘Oligarchy and Democracy in Indonesia.’ In M. Ford, & T. Pepinsky, Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics. New York: Cornell University Press.