Pada hari senin tanggal 23 September 2019,
ribuan mahasiswa yang terdiri dari berbagai universitas di Yogyakarta turun ke
jalan. Mereka melakukan long march
dari kampus masing-masing untuk kemudian betemu di titik simpul yang sama, di
Jalan Gejayan. Gejayan menjadi saksi bisu hadirnya kekuatan aliansi mahasiswa
Jogyakarta menyuarakan sekaligus menuntut pemerintahan yang dianggap bermasalah. Aksi ini kemudian dikenal dengan
seruan #Gejayan_Memanggil. Perkembangan teknologi digital melalui pemanfaatan
media sosial menjadi instrumen penting dalam memobilisasi masa dan menyesaki
ruang publik virtual. Masifnya mobilisasi massa melalui penggunaan media sosial
telah membuat seruan #Gejayan_Memanggil menjadi salah satu tranding topic di Twitter.
Gejayan dipilih sebagai simpul berkumpulnya
aksi mahasiswa karena memiliki nilai sejarah yang sama. Di tahun 1988, ribuan
mahasiswa Jogyakarta turun ke jalan membawa semangat yang sama dan tunggal
yaitu menuntut Soeharto turun dari jabatan presiden. Rezim Soeharto yang menerapkan
sistem pemerintahan birokratik-otoriter selama 32 tahun telah kehilangan
legitimasi menyusul munculnya krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Elemen
masyarakat dan mahasiswa menuntut reformasi yang menghadirkan sistem politik demokratis.
Tanggal 23 September 2019, ada romantisme akan keberhasilan gerakan sipil di
Jalan Gejayan. Tuntutan dan isu yang diperjuangkan berbeda, jika tahun 1998 common enemy mereka adalah rezim orde
baru yang otoriter, maka aksi mahasiswa tahun 2019 common enemy mereka bukanlah rezim otoriter, tetapi demokrasi itu
sendiri. Mereka menganggap bahwa makna demokrasi telah ditelanjangi dan
dikorupsi oleh elit politik yang berhasil mentransformasikan diri melalui pintu
demokrasi.
Aksi demonstrasi sebagai bentuk ungkapan,
ekspresi sekaligus kritik publik terhadap negara merupakan sebuah keniscayaan
dalam sistem demokrasi. Demokrasi menghendaki adanya kebebasan warga negara
untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik sekaligus melakukan kontrol
populer secara setara. Hadirnya demontrasi mahasiswa sebagai bentuk kritik atas
penguasa mengindikasikan adanya problem dalam tubuh demokrasi. Praktik
kekuasaan negara yang dijalankan oleh aktor politik melalui logika patronase
dan klientalisme, oligarkis dan praktik kartel adalah varian dari problem
demokrasi yang tengah di hadapi Indonesia paca orda baru. Reformasi politik
yang mengubah transformasi politik dari otoritarianisme ke demokrasi ternyata
tidak serta merta membawa iklim perubahan sosial politik dan pembangunan
ekonomi ke arah yang lebih baik.
Selama kurang lebih 20 tahun pasca orde banyak
kajian yang berusaha memotret paradoks bekerjanya demokrasi di Indonesia.
Aspinall (2014) berkesimpulan bahwa politik Indonesia kontemporer dihiasi oleh
kagiatan patronase antar elit untuk merebut jabatan di arena politik
formal. Praktik patronase misalnya
dengan mudah ditemui pada masa pemilu. Calon kandidiat menawarkan sumber
material maupun non-material kepada pemilih untuk dikonversi menjadi dukungan
dalam bilik suara (voting buying). Praktik
ini tentu membuat dimensi pesaingan antar aktor menjadi tidak sehat dan
akhirnya menghadirkan pemimpin politik yang tidak berintegritas dan akuntabel. Praktik
korupsi menjadi sulit dihindari.
Pandangan yang lain menyebut bahwa demokrasi
Indonesia telah dikuasai oleh segelintir elit yang mempunyai kepentingan pada
politik pertahanan kekayaan. Segelentir elit ini disebut oleh Hadiz &
Robinson (2004) dan Winters (2011) sebagai oligarki. Resources yang melekat pada negara merupakan lahan basah untuk berburu
rente para oligarki. Hubungan yang dibangun secara harmonis antara negara
dengan para oligarki telah mengeksklusi sekaligus mengorbankan warga
negara. Distribusi kekuasaan politik dan
ekonomi yang memusat ke tangan elit oligarki ini menjadi penyebab munculnya
ketimpangan di tengah masyarakat yang akhirnya berujung pada absennya negara
dalam menyuguhkan pelayanan publik yang berkualitas dan menciptakan
kesejahteraan warga negara. Sebagaimana yang disebutkan oleh Slater (2014) dan
Ambardi (2009) munculnya kekuatan oligarki ini tidak lepas dari praktik
kartel-kartel politik. Persoalan-persoalan yang muncul di tubuh rezim demokrasi
ini menjadi alasan mengapa proses transisi di Indonesia tidak berjalan mulus
alias mandek (Tornquist, 2013).
Persoalan demokrasi dalam praktik bernegara
kian hari semakin tidak bisa masuk akal dalam nalar demokrasi. Hari ini ruang
publik disesaki oleh isu tentang ketidakberesan elit politik dan disfungsi
negara yang gagal dalam mewujudkan tuntutan warga negara yang haus akan kesejahteraan.
Upaya pelemahan KPK, sejumlah isu RKUHP yang kontroversial, Undang-undang
Pertanahan dan Undang-Undang Minerba yang memihak kepentingan elit dan pemodal menjadi
pemicu meledaknya gelombang perlawanan mahasiswa Jogyakarta di Gejayan dan
terus direspon oleh aksi demontrasi di berbagai daerah termasuk di Jakarta.
Ketidakberesan Elit Dan Disfungsi
Negara
Awal mula terbentunya negara pada
dasarnya tidak lepas dari mandat rakyat yang memberikan legitimasi dan
kedaulatan mereka kepada negara sebagai institusi dan lembaga yang mengatur
kehidupan rakyat untuk menciptakan keteraturan demi mencapai kebaikan bersama.
Hal ini tidak lepas dari realita bahwa individu dan kelompok yang hidup dalam
suatu daerah teritorial memiliki kepentingan masing-masing sehingga rentan terhadap
konflik dan pertumpahan darah sebagi akibat adanya persaingan dan benturan
kepentingan yang beragam dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas. Untuk
meminimalisir terjadinya konflik, individu dan kelompok bersepakat untuk
memilih suatu organisasi atau institusi bernama negara yang bertanggungjawab
dalam menciptakan ketertiban dan harmonisasi kehidupan sosial-politik.
Negosiasi antara kelompok (rakyat) dengan negara disebut John Locke sebagai
kontrak sosial. Rakyat memberikan legitimasi, kepercayaan, loyalitas dan
bersedia diatur oleh negara. Sementara negara berkewajiban melindungi hak-hak
warga negara dan berkomitmen menciptakan kebaikan bersama. Keberhasilan dan
kegagalan negara sangat ditentukan oleh sejauh mana negara menjalankan tugas
tersebut secara efektif.
Namun dalam logika bekerjanya
negara, tidak selalu berada pada ranah ideal.
Negara kerap kali justru bertindak sebagai alat bagi kelas berkuasa
untuk menindas kelompok lain yang berada di luar kekuasaan negara. Negara menjelma
sebagai entitas kekuatan dominasi elit yang menyatu dalam tubuh negara untuk
mendapatkan akses terhadap resources
dan disaat yang bersamaan memarginalisasi dan mengekslusi kehidupan rakyat.
Inilah yang dikatakan oleh kaum Marxian bahwa negara tidak lain hanya sebagai
perpanjangan tangan segelintir elit yang berkuasa. Tidak hanya sebagai alat
bagi kelas dominan untuk mengejar kepentingan mereka, negara seringkali menemui
jalan buntu bagaimana seharusnya mengelola negara dan masyarakat. Fungsi negara
sebagai penyedia layanan publik, membuat produk kebijakan, distribusi dan
alokasi nilai kepada rakyat kerap kali terhambat ketika berhadapan dengan
kepentingan elit politik yang berkuasa. Dengan kata lain, keberadaan elit
politik yang mengelola institusi negara telah menyandra fungsi-fungsi dan
tujuan dari negara itu sendiri.
Paling tidak kondisi ini yang tengah
menjangkiti Indonesia sebagai sebuah entitas dari negara. Ada ketidakberesan
elit politik sekaligus disfungsi negara sehingga demokrasi yang sedang berjalan
pasca reformasi tidak kunjung membawa arah perubahan yang lebih baik. Demokrasi
terjebak pada aspek prosedural namun abai terhadap nilai-nilai yang lebih
substansial. Di satu sisi, institusi demokrasi banyak diciptakan dan dikembangan
untuk mengawal reformasi, namun di sisi lain keberadaan institusi demokrasi ini
tidak lantas membuat fungsi dan kinerja institusi tersebut berjalan secara
efektif. Sebagai ilustrasi, pemilu lima tahunan diselenggarakan secara lebih
terbuka dan transparan. Warga negara diberikan hak dan kesempatan yang sama
untuk ikut berkontestasi dalam pemilu. Ironisnya, kandidat terpilih sebagai
elit politik yang lahir dari produk pemilu tidak banyak yang berhasil
menjalankan ide representasi, yang terjadi justru adanya monopoli institusi
representasi oleh aktor dominan, yakni elit politik yang memikili basis sumber
daya material (Amalinda & Tornquist, 2016). Banyaknya pejabat politik yang
lahir dari rahim pemilu yang korup dan tidak akuntabel mempertegas bahwa nilai
demokrasi substantif belum tersentuh. Ketidakberesan elit dan disfungsi negara
yang kemudian menuai kritik di tengah rakyat dapat dibaca dari isu-isu yang
menjadi perdebatan di ruang publik belakangan ini. Dari beragam masalah yang
sangat kompleks, paling tidak ada tiga persoalan yang penting dan krusial yaitu
menyangkut pelemahan KPK, perumusan kebijakan yang tidak akomodatif, dan
polemik mengenai hak asasi manusia.
Pertama, isu mengenai pelemahan KPK dapat
dirunut dari awal proses pembentukan calon pimpinan KPK periode 2019-2023.
Panitia seleksi calon pimpinan KPK berdasarkan keterangan ICW bermasalah karena
meloloskan calon pimpinan yang memiliki catatan kurang baik, misalnya tidak
melaporkan LHKPN dan pernah bertemu dengan pejabat yang tengah tersandung kasus
korupsi. Polemik ini berlanjut dan menemui puncaknya setelah pemerintah dan DPR
sepakat merevisi UU KPK nomor 30 tahun 2002. Pasal-pasal yang bermasalah
seperti menempatkan institusi KPK dibawah kekuasaan eksekutif dan pegawai KPK
yang bekerja didalamnya berstatus sebagai PNS. Selain itu revisi undang-undang
KPK terbaru yang telah disahkan menghendaki dibentunya lembaga Dewan Pengawas
yang dibentuk oleh DPR untuk mengontrol kinerja KPK. Celaknya, Dewan Pengawas
ini memiliki tugas dan kewenangan melampaui KPK misalnya dalam urusan
penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, KPK harus mendapatkan izin dari Dewan
Pengawas.
Proses pemilihan calon pimpinan KPK yang
bermasalah dan desain regulasi KPK yang kontroversial dianggap sebagai upaya
elit politik yang berkuasa untuk melemahkan KPK dengan mengebiri kewenangan KPK
dan menempatkan KPK sebagi lembaga yang tidak lagi independen karena harus
berada dalam kekuasaan eksekutif dan terbatasi oleh hadirnya Dewan Pengawas.
Ironisnya, proses revisi undang-undang ini sangat politis tanpa membuka ruang
partisipasi dan dialog terbuka melibatkan elemen civil society. Ditengah tuntutan publik yang begitu besar terhadap
penguatan KPK dan masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia, elit politik
di parlemen justru terkesan tertutup dan terburu-buru dalam membuat regulasi.
Masukan publik tidak mendapat perhatian serus dalam agenda perumusan dan
formulasi kebijakan terkait revisi Undang-Undang KPK. Ketika kontrol publik
ditutup dan ruang partisipasi publik dibatasi maka makna demokrasi menemui
paradoksnya sendiri. Dan paradoks ini dilakukan secara sadar dan terstruktur
oleh DPR dan pemerintah.
Kedua, perumusan kebijakan yang tidak akomodatif dan
representatif. Salah satu fungsi negara adalah mengatur warganya untuk menjamin
terciptanya keteraturan dan harmonisasi di tengan kehidupan warga negara.
Fungsi mengatur ini termanifestasikan secara formal dan terlembaga melalui
konstitusi dan undang-undang. Kegagalan negara dalam menjalankan fungsi
regulatif ini tatakala dalam proses perumusan dan formulasi kebijakan tidak
berpihak kepada kepentingan publik sebagai pemilik kedaulatan. Karena itu
perumusan kebijakan yang akomodatif dan representatif menjadi penting dan patut
menjadi perhatian utama negara. Namun isu tentang RUU Minerba dan Petanahan
menemukan kejanggalan. RUU Minerba yang tengah dibahas oleh DPR dianggap
berpihak kepada kepentingan pengusaha dan pemodal. Draf RUU ini menghapus pasal
tentang korupsi pertambangan. Padahal sebelumnya Undang-Undang No 4 tahun 2019
tentang Minerba mengatur tentang sanksi bagi pejabat atau pihak lain yang
menyelahgunakan kewenangan terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin
Pemanfaatan Ruang (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Upaya DPR
mengahapus pasal pidana bagi tindakan korupsi terkait izin pertambangan semakin
memperkuat asumsi bahwa negara sudah kehilangan netralitas dan independensinya
dalam mengelola kehidupan warga negara. Negara dibawah kendali oligarki yag
menguasai sejumlah perusahaan pertambangan. Oligarki ini bisa berasal dari elit
politik yang memegang jabatan politik bisa pula berasal dari luar jabatan
politik namun keberadaan mereka sangat berpengaruh terhadap keputusan politik
pemerintah.
Sementara RUU tentang Pertanahan juga tidak
kalah kontroversial. Dalam draf undang-undang tersebut menyebut bahwa negara
berhak memidanakan warga yang menolak dan melawan pejabat yang bertugas pada
bidang tanah miliknya. Selain itu negara berhak mempidanakan bagi kelompok yang
melakukan “pemufakatan jahat” dalam sengketa lahan. Hal ini mengindikasikan
bahwa proses pembentukan kebijakan tersebut sangat politis. Lewat regulasi
tersebut, warga negara dibatasi dalam memperjuangkan hak atas klaim tanah
mereka dari kemungkinan penguasaan pihak lain baik perusahaan maupun pejabat
negara. Negara menunjukkan identitasnya sebagai institusi yang mengedepankan
represif dan menekan warga negara yang enggan memberikan hak tanah mereka. Singkatnya,
pasal tersebut melegitimasi negara melakukan tindakan kekerasaan sekaligus
rentan atas tindakan mengkriminalisasi warga dan komunitas (organisasi) yang
bergerak pada isu agaria.
Dua RUU tentang Minerba dan Pertanahan
sebagaimana yang telah disinggung diatas menunjukkan bahwa terdapat masalah
dalam proses perumusan dan formulasi kebijakan. Regulasi yang tengah
dikonsolidasikan bias kepentingan. Proses keputusan politik didefinisikan
secara sepihak oleh negara melalui DPR dan Pejabat dan abai akan perlunya
kebijakan yang akomodatif dan representatif dengan mengutamakan kepentingan
publik melalui penyaringan masalah publik secara hati-hati dan transparan
sehingga proses keputusan politik yang diambil tidak mendiskriminasikan dan
memarginalisasikan warga negara. Kuncinya adalah adanya ruang dialog secara
setara antara pemerintah dan warga yang bersangkutan sehingga memunculkan
konsensus bersama yang menguntungkan kedua belah pihak. Problemnya, proses
perumusaan RUU Minerba dan Pertanahan ini nampaknya jauh dari kata akomodatif
dan representatif.
Ketiga, ketidakberesan elit politik dan
disfungsi negara dilihat dari polemik hak asasi manusia. Selan fungsi regulatif,
hadirnya negara tidak lepas dari fungsinya sebagai lembaga yang melindungi dan
menjamin hak-hak warga negara dari adanya ancaman. Hak-hak ini mencakup hak
untuk hidup, berbicara dan berserikat, serta hak untuk menentukan nasibnya
sendiri (self-determination). Pihak
luar bahkan negara sekalipun tidak berwenang merampas hak tersebut dengan cara
dan alasan apapun. Hak ini sangat universal dan melekat dalam diri individu
atas nama manusia sehingga eksistensi hak ini perlu dihormati dan dijunjung
tinggi. Perdebatannya adalah sejauh mana negara
mengatur urusan warga negara baik di ranah publik maupun privat sehingga
tidak merampas hak asasi. Negara seringkali kehilangan kendali (latah) dengan
telampau mengintervensi kehidupan warga negara melalui seperangkat aturan yang
acapkali bias kemanusiaan dan gender. Pendefinisian secara sepihak menggunakan
sudut pandan negara dalam mengatur urusan publik seringkali melanggar
nilai-nilai HAM dan demokrasi. Celakanya, kekeliruan ini dilembagakan melalui
regulasi. RUU ketenagaakerjaan dengan jelas sangat bias gender. Di dalam draf
UU tersebut, pekerja perempuan tidak lagi mendapatkan hak cuti haid dengan
alasan nyeri haid dapat diatasi dengan obat.
Hal ini nampak mendiskreditkan posisi perempuan. Perusahaan akan dengan
mudah melakukan eksploitasi terhadap pekerja perempuan dengan menuntut untuk
tetap melakukan kegiatan produksi tanpa mempertimbangkan kondisi fisik dan
psikologis pekerja perempuan yang mengalami haid. Konsekuensinya, pekerja
perempuan terkesan dianggap hanya sebagai mesin penghasil keuntungan material
bagi perusahaan dengan mengabaikan sisi kemanuasiaan terhadap perempuan. Pasal
81 tentang cuti haid yang akan dihapus dengan dalih bisa ditangani dengan obat
anti nyeri terkesan terlalu mensimplifikasi persoalan. Pemerintah dan DPR tidak
melihat dampak jangka panjang bagaimana seandainya pekerja pemerempuan mengalami
sakit yang lebih serius. Selain itu cerita tentang penangkapan para aktivis HAM
di berbagai sektor masih menjadi polemik dalam penegakan hukum di Indonesia.
Gelombang Perlawanan Mahasiswa: Sebuah
Pilihan Alternatif
Apa yang telah dipaparkan pada
pembahasan sebelumnya membawa kita pada pemahaman bahwa terdapat ketidakberesan
elit dalam hal ini DPR dan pemerintah dalam proses formulasi kebijakan yang
akan berdampak besar terhadap kehidupan publik. Ketidakberesan ini ditandai
oleh kegagalan elit politik dalam mengartikulasi dan mengagregasikan masalah
publik yang lebih substansial. Masalah yang bekembang ditengah publik cenderung
dipolitisasi sehingga keputusan politik yang dihasilkan terkesan hanya melayani
kepentingan segelintir elit, sementara publik semakain terpinggirkan.
Ketidakberesan elit ini membuat ide representasi tidak bekerja optimal pada
instititusi kekuasaan formal. Munculnya pasal karet dan menuai polemik di
tengah publik adalah sebuah sinyal bahwa ide representasi itu tidak berpihak
pada publik sebagai pihak yang memberikan legitimasi dan kekuasaan lewat
pemilu. Ketika persoalan publik gagal dikelola dengan baik, sementara kapasitas
institusi formal negara tidak mampu bekerja efektif dan ruang-ruang kontrol
publik dan partisipasi terekesan dibatasi, maka satu-satunya harapan yang dapat
dilakukan untuk merespon kegelisahan ini semua adalah dengan membentuk
perlawanan yang bernaung dalam wadah gerakan sipil yang digerakkan oleh
kekuatan civil society. Keberadaan civil society menjadi penting sebagai
basis demokrasi (Putnam, 1992). Hal ini dikarenakan civil sociey dianggap dapat menjadi penyeimbang kekuasaan negara
sehingga terdapat mekanisme check and
balances. Kekuasaan pemerintah perlu diawasi agar tidak terjadi penyelahgunaan
kekuasan.
Paling tidak hal ini yang
melatarbelakangi sekaligus memicu munculnya tagar #Gejayan_Memanggil yang
sukses memanggil nurani mahasiswa Jogyakarta untuk turun ke jalan menuntut elit
politik agar lebih responsif terhadap persoalan yang tengah dihadapi publik
yang sesungguhnya. Jogyakarta yang dikenal sebagai kota pelajar telah
membuktikan bahwa kehidupan seorang pelajar/mahasiswa tidak hanya disibukkan
oleh proses pendidikan tetapi ada beban moral yang melekat untuk menjadi bagian
sebagai aktor perubahan. Masa aksi yang turun ke jalan didominasi oleh pakaian
berwarna serba hitam. Warna ini dipilih sebagai makna simbolik yang berusaha
menjelaskan situasi bahwa keadaan negara dan bangsa hari ini sedang berduka,
suram dan dirundung kepiluan.
Aksi demonstrasi mahasiswa
Jogyakarta yang mengatasnamakan “Aliansi Rakyat Bergerak” membawa tujuh
tuntutan yaitu: 1) Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang
terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP; 2) Mendesak Pemerintah dan
DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk
pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia; 3) Menuntut Negara
untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggung jawab atas kerusakan
lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia; 4) Menolak pasal-pasal bermasalah
dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja; 5) Menolak
pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk penghianatan
terhadap semangat reforma agraria; 6) Mendesak pengesahan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual; 7) Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan
menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Aksi mahasiswa ini dipusatkan di
pertigaan Gejayan. Sebelumnya mahasiswa melakukan long march dari arah utara, barat,
dan selatan. Terdapat tiga titik kumpul yang telah ditentukan yaitu
Bundaran UGM, Pertigaan UIN Sunan Kalijaga, dan Gerbang Utama Universitas
Sanata Dharma. Masa sudah banyak berdatangan dan memadati tempat kumpul yang
ditentukan mulai jam 10.00-12.00. Sorak-sorai dan nyayian penggugah semangat
khas anak pergerakan tak henti digaungkan. Aksi mahasiswa ini berlangsung
selama sekitar 5 jam dan berakhir pada sore hari. Kerumunan massa aksi yang berjumlah ribuan membuat polisi harus
mengalihkan arus lalu lintas kendaraan. Selain longmarch, aksi ini diikuti dengan kegiatan tanda tangan di banner
yang terbentang luas. Peserta aksi secara bergantian menggoreskan tinta diatas
banner yang tersedia. Beberapa peserta aksi ada pula yang memperagakan kegiatan
tidur di aspal jalan beberapa menit sebagai simbol matinya demokrasi di
Indonesia. Mimbar orasi pun disipakan bagi siapa pun yang ingin
mengekespresikan opini dan meluapkan protes mereka.
Tidak diketahui secara pasti siapa
yang menjadi pelopor utama yang menggerakan ribuan mahasiswa ini. Beberapa
Universitas bahkan mengeluarkan surat edaran menyatakan diri secara kelembagaan
tidak terlibat dalam gerakan “Aliansi Rakyat Bergerak” dan tidak
bertanggungjawab atas kemungkinan terjadinya gejolak sosial akibat aksi
tersebut. Bahkan beberapa surat edaran tersebut terkesan tidak mendukung
mahasiswa untuk turun ke jalan dengan tetap menjalankan kegiatan perkualiahan.
Universitas Sanata Dharma, UIN Sunan Kalijaga dan UGM termasuk yang
mengeluarkan surat edaran tersebut dan ditandatangi oleh pimpinan universitas.
Meskipun demikian, beberapa dosen nampak hadir turun ke jalan membersamai
kerumunan aksi mahasiswa. Diantara dosen pengampu kuliah bahkan secara sadar
mengkosongkan kelas supaya mahasiswa kuliah di lapangan, mengikuti aksi.
Sebagian dosen ada pula yang tetap mengajar di kelas, namun secara pribadi
mengizinkan mahasiswanya yang izin tidak masuk kelas untuk turun ke jalan.
Yang menarik dari #Gejayan_Memanggil
adalah gerakan ini melibatkan berbagai unsur bendera organisasi mahasiswa.
Mereka membawa misi yang sama melakukan protes terhadap pemerintahan saat ini.
Berbagai tuntutan, narasi dan isu yang diperjuangkan oleh organisasi
kemahasiswaan ini diakomodir dalam naungan “Aliansi Rakyat Bergerak”. Mahasiswa
yang tidak memiliki platform organisasi tertentu pun tak kalah banyak
jumlahnya. Apa yang bisa ditangkap dari sini adalah tidak begitu penting siapa
aktor yang menggerakkan dan memobilisasi massa ke jalan, sebab gelombang protes
ini lebih menekankan pada isu dan narasi yang dibawa. Isu dan narasi ini yang
sukses menarik ribuan mahasiswa membentuk lautan manusia di sepanjang jalan
Gejayan. Meskipun tentu tidak menutup kemungkinan atas rentannya ditunggangi
oleh pihak yang mencoba mengambil peruntungan pragmatis dari gerakan ini.
Tetapi gerakan ini sebenarnya murni berangkat dari panggilan nurani atas
kegelisahan mahasiswa dan rakyat pada umumnya terkait kondisi perpolitikan
Indonesia yang kian rumit dengan segudang problem.
Target dari gerakan protes mahasiswa
ini adalah untuk mengklaim ruang publik yang selama ini dianggap bekerjanya
ruang publik menjadi kabur dan bias karena terdistorsi oleh kepentingan elit
politik secara sepihak. Ruang publik tidak menyediakan perdebatan dan dialog
yang sehat melibatkan berbagai elemen kelompok masyarakat. Elit politik yang
oligarkis telah mendominasi ruang publik sehingga yang muncul hanya
keberpihakan jangka pendek sementara aspirasi publik yang lebih substansial
terpinggirkan, tidak menjadi bahan diskusi yang penting. Paradoks, parlemen
yang menjadi perpanjangan suara rakyat seyogyanya mampu menjalankan fungsi
representasi atas nama kehendak publik yang mereka wakili. Tetapi representasi
itu tidak lebih hanya menjelma pada model representasi simbolik (stand for). Representasi model ini
menempatkan reprersentator (anggot DPR) merasa tidak terbebani tanggungjawab
tehadap kelompok yang mereka wakili (Pitkin, 1967). Padahal demokrasi
substansial mensyaratkan lahirnya representator yang menjalankan fungsi
representasi politik yang lebih substantif sesuai dengan kehendak publik yang
mereka wakili (act for). Hal ini yang
membuat demokrasi Indonesia terjebak pada aspek prosedural. Karena itu, aliansi
gelombang protes mahasiswa Jogyakarta tidak hanya mengklaim ruang publik yang
bias kepentingan tetapi sekaligus menggugat praktik representasi politik yang
gagal dikerjakan dengan baik oleh DPR. Ketika ide representasi lemah, maka aksi
protes turun ke jalan menjadi pilhan alternatif. Gerakan perlawan mahasiswa ini
bentuk dari cerminan politik extra-parlementer untuk meng-counter parlemen formal yang dianggap lemah.
Daftar
Pustaka
Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel: Studi Tentang
Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Gramedia & LSI.
Aspinall & Berenschot. (2019). Democracy for Sale: Election,
Clientalism, and The State in Indonesia. Leiden: Cornell University Press.
Putnam, R. (1993). Making Democracy Work: Civic Traditions in
Modern Italy. Princeton: University Press.
Pitkin, Hanna F. (1967). The Concept of Representation. United
State: University of California Press
Robinson, R., & Hadiz, V. (2004). Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age of
Markets. London: Routletge.
Slater, D. (2004). “Indonesian Accuntability Traps: Party Cartels
and Presidential Power After Democracy Transition.” Indonesia, No. 78 (Oktober).
Tornquist, O. (2014). “Stagnation or Transformation in Indonesia?” Economic and Political Weekly,
Vol.49, No. 50, 23-27.
Winters, J. (2014). ‘Oligarchy and Democracy in Indonesia.’ In M.
Ford, & T. Pepinsky, Beyond
Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian Politics. New York:
Cornell University Press.