Latar Belakang
Konflik dan kekerasan yang
mengatasnamakan agama bukan fenomena yang baru di Indonesia. Berbagai isu yang
bersinggungan dengan simbol-simbol agama selalu rentan memicu kerusuhan. Akibat
yang ditimbulkan pun beragam, mulai dari perusakan sarana ibadah hingga
pembantaian massa yang memakan korban tidak sedikit. Agama seketika menjadi
alasan dasar untuk menjawab setiap konflik yang meledak.
Beberapa tahun silam, masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan tragedi
pembakaran rumah ibadah umat muslim di Tolikara. Kejadian tersebut bertepatan
saat umat muslim Tolikara tengah menjalankan ibadah hari raya Idul Fitri (baca
shalat Ied). Masih kasus yang serupa, pembakaran rumah ibadah juga terjadi di
Aceh Singkil. Kali ini Gereja milik umat Kristiani menjadi sasarannya dengan
alasan belum mengantongi surat izin mendirikan bangunan tempat ibadah. Terlepas
benar atau tidaknya siapa pelaku dan korban, yang jelas kedua kasus tersebut
semakin menambah daftar panjang konflik yang mengkambinghitamkan agama.
Sementara kerukunan umat bergama berada diujung tanduk.
Banten pun tidak bisa luput dari permasalahan ini. Meskipun Banten
merupakan daerah dengan mayoritas muslim, tetapi konflik atas nama agama masih
dapat ditemukan. Peristiwa duka yang masih melekat sampai sekarang adalah
mengenai pembantaian massa Ahmadiah oleh umat muslim di Cikeusik-Pandeglang
beberapa tahun silam. Akibat tragedi itu, banyak korban yang berjatuhan, bahkan
hingga meninggal. Lagi lagi isu yang diangkat masih perihal agama.
Belum lama ini, masyarakat di Serang digegerkan dengan kasus Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) Kota Serang yang merazia warung makan milik Bu Saeni
lantaran kedapatan berjualan makanan di bulan puasa. Tindakan Satpol PP ini
sebagai upaya menegakkan Perda Kota Serang yang berisi larangan warung makan
berjualan pada siang hari selama bulan puasa dengan alasan menghargai umat
muslim[1]. Kasus ini seketika menjadi perbincangan
hangat bagi masyarakat Indonesia. Ada yang pro namun tak sedikit yang kontra.
Bagi mereka yang pro, tindakan Satpol PP dianggap sudah benar karena untuk
menghargai umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Apalagi melihat
mayoritas masyarakat Banten (khususnya Serang) yang notabene-nya beragama
Islam. Tindakan tersebut merasa semakin dibenarkan karena terlegitimasi oleh
peraturan yang legal-formal (Perda Kota Serang). Meskipun belakangan, tindakan
Satpol PP tersebut dianggap berlebihan karena saat razia, mereka sampai menyita
makanan milik Bu Saeni.
Bagi mereka yang kontra, tindakan Satpol PP itu tidak dibenarkan karena
telah membatasi hak seseorang dalam berusaha mencari penghasilan. Mereka yang
iba dengan kondisi yang dialami Bu Saeni, berbondong-bondong mengumpulkan
‘Rupiah’ untuk kemudian diberikan kepada Bu Saeni. Bahkan, sebagian dari mereka
menuntut agar Perwal tersebut segera dihapuskan karena mengandung unsur
diskriminatif. Alasannya, kalau semua warung makan dilarang beroperasi pada
siang hari selama bulan puasa, ini akan menyulitkan bagi masyarakat non-muslim
untuk mendapatakan makanan. Tentu hal demikian sudah termasuk mengganggu dan
melanggar hak orang lain untuk makan guna kelangsungan hidupnya. Meskipun kasus
ini tidak sampai menimbulkan konflik dan kekerasan dalam masyarakat, setidaknya
hal ini sempat membuat perselisihan antar umat beragama.
Sejauh ini, agama selalu menjadi isu sensitif dalam masyarakat yang
berujung pada tindakan anarkis. Perbedaan pandangan dalam hal kepercayaan
selalu memicu konflik yang berkepanjangan. Kondisi ini semakin diperburuk
dengan sifat masyarakat yang fanatik terhadap salah satu agama atau kepercayaan
tertentu – yang menutup mata pada segala bentuk perbedaan dan keanekaragaman.
Mereka mengklaim kebenaran adalah milik agama atau kepercayaan tertentu sedangkan
agama atau kepercayaan yang lain dipandang salah. Jika keadaan demikian terus
dipelihara, maka akan menimbulkan bahaya laten yang dapat mengancam
disintegrasi bangsa. Negara kesatuan yang tengah dibangun oleh para pendiri
bangsa pun akhirnya menjadi rusak oleh sebab kehidupan masyarakat yang tidak
harmonis. Disamping itu, citra agama menjadi buruk di mata dunia. Agama menjadi
momok yang menakuktkan karena diidentikkan dengan kekerasaan dan membenci
kedamaian. Padahal sejatinya agama adalah suci yang menghendaki setiap
pemeluknya menebar kebaikan dan cinta damai. Agama tidak menghendaki terjadinya
kerusuhan dan konflik antar umat yang dapat mengoyak persaudaraan dan persatuan
bangsa.
Kunci utama untuk bisa mengatasi masalah ini adalah terbangunnya rasa toleransi
beragama antar umat dalam masyarakat. Toleransi beragama dipahami sebagai
keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi sifat saling pengertian,
saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agama dan
kerjasama dalam kehidupan masyarakat. Toleransi beragama ini menjadi sangat
penting di tengah kondisi masyarakat Indonesia multikultural dan multi-agama.
Tulisan ini berusaha membawa pemahaman kepada kita bahwa agama-lah yang
sesungguhnya yang mampu mewujudkan toleransi tersebut dan menciptakan cinta
damai dalam masyarakat.
Rumusan Masalah
Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural. Terdapat
beragam suku, Ras, adat, dan agama yang tersebar diberbagai daerah dan telah
terbentuk jauh sebelum negara kepulauan ini merdeka. Tidak heran jika
konstruksi negara ini dibangun atas dasar negara persatuan dengan semboyan
Bhineka Tungga Ika, meskipun berbeda-beda tetapi tetap sama yakni satu tujuan.
Namun lambat laun, kondisi masyarakat yang multikultural ini memicu konflik
antar masyarakat diberbagai daerah karena dilatarbelakangi oleh
perbedaan-perbedaan yang ada. Utamanya perbedaan dalam hal kepercayaan atau
agama – yang masih menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Isu-isu sensitif
atas nama agama selalu meledak yang berakhir pada tindakan anarkis dan
kerusuhan. Akibatnya agama menjadi kambing hitam yang tidak mampu menciptakan
toleransi antar umat beragama dan menebar kedamaian dalam masyarakat.
Berdasarakan permasalahan ini muncul pertanyaan; Mengapa konflik atas
nama agama sering terjadi di Indonesia ? Bagaimana agama dapat mewujudkan
toleransi dan cinta damai dalam masyarakat ?
Metode Penulisan
Tulisan ini menggunakan metode document Analysis, yaitu
menelaah data-data yang ada baik dari buku-buku, internet, maupun penelitian
yang sudah ada sebelumnya yang relevan. Dari document Analysis tersebut,
tulisan ini berusaha dibuat dengan metode deskriptif-eksplanatif,
yaitu menggambarkan untuk kemudian dijelaskan secara mendalam terhadap
peristiwa, kejadian atau permasalahan yang pernah terjadi.
Pembahasan
Mendefinisikan Pluralisme Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia adalah negara yang unik dengan
kondisi masyarakatnya yang pluralis dan multikultural. Jauh sebelum Indonesia
merdeka, bangsa ini telah memiliki beragam suku, ras, kultur, adat, bahasa, dan
agama yang tersebar diberbagai daerah. Kondisi demikian yang kemudian membuat
para pendiri bangsa mengkonsepkan negara persatuan sebagaimana yang
termaktub dalam Pancasila sila ke-2 yakni “Persatuan Indonesia”. Jimly
Asshiddiqie (2014) mengatakan bahwa ‘Persatuan’ bukanlah ‘Kesatuan’.
Dalam persatuan ada dinamika dan keanekragaman, sedangkan dalam kesatuan hanya
ada keseragaman yang tidak memberi tempat pada dinamika perbedaan. Karena itu,
meskipun warga bangsa menganut banyak sekali keanekaragaman, tetapi bangsa
Indonesia tetap hidup rukun dan damai.
Salah
satu bentuk keberagaman yang terdapat di Indonesia adalah agama. Sebagaimana
dikatakan oleh Zulfikar Dawam (jombang.nu.id) bahwa sejak zaman pra sejarah
sudah berkembang berbagai agama dan kepercayaan, baik agama asli seperti
animisme, dinamisme, maupun agama impor yang dibawa oleh pendatang dari Barat
maupun Timur. Agama-agama ini dibawa melalui jalur perdagangan, politik,
imperialism dan misi agama. Semenjak itulah agama-agama yang ada di Indonesia
terus berkembang dan diikuti oleh semakin bertambahnya jumlah para pemeluk.
Sadar dengan kondisi ini, Indonesia kemudian dibentuk bukan dengan konsep
negara agama bukan pula negara sekuler. Artinya agama tidak menjadi ideologi
dan landasan sebuah negara, meskipun demikian, negara dan agama bukanlah dua
entitas yang dikotomis. Negara merekognisi akan eksistensi agama yang beragam[2].
Karena keanekaragaman itu pula yang kemudian membuat pemerintah mengeluarkan
berbagai kebijakan agar menciptakan kerukunan umat beragama serta tetap
mencegah munculnya disintegrasi bangsa akibat adanya perbedaan. Salah satunya
melalui undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang salah satu
pasalnya mengatur tentang kebebasan beragama dan menjamin kebebasan menjalankan
agama bagi pemeluknya. Di samping itu, masalah toleransi juga dibahas oleh
Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri melalui Peratuaran Bersama Nomor 8 Tahun
2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daera/Wakil Kepala Daerah dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Berbagai aturan serta kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah tersebut tidak lain sebagai upaya menciptakan
harmonisasi dalam kehidupan masyarakat, sebab pemerintah menyadari bahwa dalam
masyarakat yang plural- multikultural berpotensi menciptakan gesekan-gesekan.
Urgensi Toleransi
Dengan keberagaman agama sebagaimana yang telah disinggung diatas, maka
ditutut terciptanya rasa toleransi antar masyarakat supaya perbedaan-perbedaan
yang ada tidak mengarah pada disintegrasi bangsa. Kerukunan antar umat beragama
bisa terwujud jika toleransi sudah melekat dan menjadi bagian hidup ditengah
masyakarat.
Siagian (1993) memaknai toleransi sebagai keadaan saling memikul walaupun
pekerjaan itu tidak disukai atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun
kedua belah pihak tidak sependapat. Dengan demikian toleransi menunjuk pada
adanya suatu kerelaan untuk menerima kenyataan adanya orang lain yang
berbeda. Sementara Purwadarminta (Zaenul Akhyar : 2015) menyatakan
toleransi adalah sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta membolehkan
suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang
berbeda dengan pendirian sendiri. Pelaksaan toleransi antar umat beragama
akan tercipta jika masyarakat dalam kehidupan sehari-hari memperhatikan dan
mempertimbangkan sikapnya dengan baik dan bijak kepada orang lain. Menurut
pendapat Walzer (Zaenul Akhyar : 2015) toleransi harus mampu membentuk
kemungkinan-kemungkinan sikap, antara lain: Sikap untuk menerima perbedaan;
Mengubah penyeragaman menjadi keragaman; Mengakui hak orang lain serta
menghargai eksistensi orang lain.
Meski toleransi menjadi penting bagi masyarakat multi-agama, tetapi konsep
toleransi tidak bisa di sama-artikan dengan ‘kompromi’ yaitu
sifat atau perilaku menerima apa saja dari orang lain demi terciptanya kententraman
dan kesejahteraan. Jelas ini pemahaman yang keliru. Oleh sebab itu, Smith (Rini
Vidiani, 2013) membedakan antara “faith” (iman) dengan “belief”
(kepercayaan). Di dalam faith agama-agama dapat
disatukan, sedang dalam belief tidak dapat disatukan. Belief seringkali
normatif dan intoleran. Belief bersifat historik yang mungkin
secara konseptual berbada dari satu generasi ke generasi yang
lain. Dalam belief (kepercayaan) itulah penganut
agama berbeda-beda dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik.
Sebaliknya dalam faith umat beragama dapat
menyatu. Jadi orang bisa berbeda dalam belief tetapi menyatu
dalam faith (iman).
Ketika Agama jadi Bencana
Meskipun toleransi selalu digaung-gaungkan oleh banyak kalangan, namun
masih banyak ditemukan kasus-kasus pelecehan, penyimpagan, konflik, atau
kekerasan yang mengatasnamakan agama. Ini menunjukkan bahwa makna toleransi
belum begitu melekat kuat dalam kehidupan masyarakat. Hasil penelitian The
Wahid Institute (Rini Vidiani, 2013) menyebutkan bahwa selama tahun
2011, telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan
berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia. Apabila tahun sebelumnya
hanya 64 kasus meningkat menjadi 18% atau menjadi 92 kasus. Bentuk
pelanggaran kebebasan beragama yang paling tinggi adalah
pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah
kelompok tertentu dengan 49 kasus, atau 48%, kemudian tindakan
intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20%,
pembiaran kekerasan 11 kasus (11%), kekerasan dan pemaksaan
keyakinan 9 kasus (9%), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9
kasus (9%), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan 4 kasus (4%).
Dari 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama
2011, Jemaat Ahmadiyah adalah korban
terbanyak dengan 46 kasus (50%), berikut Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor 13 kasus
(14%), jemaat gereja lainnya 12 kasus (13%), kelompok terduga sesat 8 kasus
(9%), Millah Abraham (4 kasus),
kelompok Syiah dan aliran AKI (2 kasus),
aliran Nurul Amal, aliran Bedatuan, aliran Islam Suci, Padepokan Padange Ati
dan jemaah Masjid di NTT (masing-masing 1 kasus). Jawa Barat adalah daerah
paling tinggi tingkat pelanggaran kebebasan beragama dan berkayakinan yakni 55
kasus atau 58%. Diikuti Banten, 9 kasus atau 10%, NAD 5 kasus (6%), Jawa Timur,
Jawa Tengah dan Sulsel masing-masing 4 kasus, dan daerah-daerah lainnya antara
1-2 kasus. Sedangkan pada tahun 2013 saja Komnas menerima 39 berkas pengaduan.
Diskriminasi, pengancaman, dan kekerasan terhadap pemeluk agama sebanyak 21
berkas, penyegelan, perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadah
sebanyak 9 berkas dan penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak
9 berkas.
Dari kasus-kasus tersebut jelas telah membuat citra agama menjadi buruk. Agama
kini menjadi identik dengan kekerasan dan membenci kedamaian. Agama yang
sejatinya suci dan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat seolah hanya membawa
bencana yang mengerikan. Agama begitu mudahnya menjadi alat provokasi dalam
menimbulkan ketegangan dan kekerasan baik dikalangan internal maupun eksternal
agama. Padahal tindakan dari penganut agama itulah yang sejatinya telah membuat
citra agama mereka menjadi kotor. Hal ini bisa terjadi karena pemahaman dan
pengamalan yang keliru antar penganut agama.
Menurut Kimbal (2003) salah satu tanda yang bisa membuat agama busuk adalah
apabila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak
dan satu-satunya. Klaim kebenaran mutlak suatu agama biasanya disebabkan karena
pemeluk agama yang bersangkutan yakin bahwa kitab suci mereka memang
mengajarkan demikian – yang pada akhirnya teks kitab suci ini disalahgunakan
untuk kepentingan apa saja. Kimbal memberikan analogi dengan seorang anak yang
selalu mengatakan, hanya ayahnyalah satu-satunya yang terbaik. Sementara anak
yang lain juga mengatakan, hanya ayahnyalah satu-satunya ayah yang terbaik.
Pernyataan ini kiranya tidak bisa ditangkap sebagai bahasa kebenaran oleh karena
sebuah kebenaran mengecualikan kebenaran yang lainnya. Berangkat dari klaim
kebenaran – yang menganggap agama lain salah, lambat laun akan memicu konflik
untuk mempertahankan agamanya. Sehingga tidak ayal jika kerusuahan dan
kekerasan berbau agama sangat rentan terjadi. Jika seseorang atau segolongan
umat yang tidak menerima orang/ umat lain, maka akan tercipta kondisi yang
kacau. Kondisi ini sangat tidak sesuai dengan ajaran semua agama yang selalu
mengajarkan kebaikan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Abdul Wahid (2009) bahwa permasalahan
sebagaian besar umat beragama ialah memiliki pemaknaan eksklusif terhadap
doktrin agama yang dianut. Hal ini semakin menjadi ketika ada justifikasi dari
kitab suci masing-masing agama yang tentang klaim kebenara yang dikemukakan.
Misalnya, dalam Agama Islam salah satu ayatnya menyatakan bahwa “Sesungguhnya
agama yang paling benar di sisi Allah adalah Islam”. Klaim semacam ini
kalau tidak disikapi dengan bijak akan melahirkan sebuah pemahaman yang
eksklusif dan cenderung menyalahkan orang lain dan merasa dirinya paling benar
dalam proporsi yang berlebihan. Padahal dalam Islam sendiri mengakui akan
keberadaan orang lain yang pluralis dan sangat mengajarkan pentingnya
toleransi (Tasamuh) bagi pemeluknya.
Dari sini jelas bahwa ketika agama disalahartikan dengan pemahaman dan
penghayatan yang keliru bagi penganutnya, maka agama seketika berubah menjadi
sebuah bencana besar yang bisa datang sewaktu-waktu oleh sebab setiap pemeluk
agama masing-masing saling mempertahankan kebenaran mutlak-nya. Bahkan mereka
bisa saja melakukan tindakan yang lebih buruk dengan berperang (baca: Perang
Suci) atas nama membela agama. Padahal secara ideal, konflik itu
seharusnya dapat berakhir pada doktrin agama, karena dalam ajaran masing-masing
agama terdapat nilai-nilai ajaran tentang perdamaian, kasih saying,
persaudaraan, kesetaraan, penghargaan atas keyakinan, kebersamaan, hak asasi,
saling menghormati, dan saling bekerjasama dalam memecahkan persoalan bersama
(Abdul Azis, 2009)
Agama: Mewujudkan Toleransi dan Cinta
Damai
Manusia menjadikan agama sebagai pedoman atau jalan hidup yang mengatur
manusia dalam bersikap dan bertingkah laku. Agama dijadikan sebuah dasar
pijakan terhadap baik dan buruknya sebuah perbuatan, sehingga diharapkan mampu
menghantarkan manusia pada kehidupan yang damai dan sejahtera.
Pada dasarnya agama memiliki dua sisi yaitu sisi privat dan sisi publik.
Sisi privat merupakan sebuah ikatan spiritual antara manusia dengan Tuhannya
sebagai bentuk penghambaan dan wujud pengakuan sebagai pencipta jagat raya.
Sisi privat menekankan pada pemahaman akan ajaran agama yang membentuk
ketaataan dan keimanan seorang individu sebagai penganutnya. Jika dilihat, sisi
privat ini akan membentuk hubungan yang bersifat vertikal yang secara khusus
mengikat individu dengan Tuhannya secara emosional.
Berbeda dengan sisi privat, sisi publik merupakan sebuah hubungan
horizontal yang membentuk ikatan sosial antara manusia dengan makhluk lainnya,
baik sebagai individu, kelompok, maupun masyarakat luas. Oleh karena itu, sisi
publik menekankan pada pemahaman ajaran agama yang dapat membentuk kesalehan
sosial yang didalamnya terdapat sifat-sifat kemanusiaan yang mengatur tentang
kejujuran, keadil, etis, disiplin, toleransi, menjaga keharmonisan secara
personal dan sosial.
Sisi publik ini yang kemudian menjadi sebuah perhatian serius karena
menyangkut hubungan antar manusia. Apabila sisi publik ini berjalan harmonis,
maka kondisi negara yang multi-agama tidak akan membawa dampak yang buruk
karena ajaran-ajaran universal agama pada dasarnya sama yaitu toleransi, saling
tolong-menolong, bekerja sama dan cinta kedamian. Pemahaman, penghayatan dan
pengamalan yang salah dari para penganut agama yang kemudian menumbuhkan
fanatisme agama, nilai-nilai universal dalam agama pun menjadi kabur. Ini yang
kemudian menjadi alasan megapa konflik antar penganut agama sering terjadi.
Oleh karena itu, ada beberapa langkah (solusi) yang harus diperhatikan untuk
menghindari fanatisme agama serta mewujudkan agama yang toleransi dan cinta
damai.
Internalisasi Nilai-Nilai Agama
Setiap agama memiliki norma dan nilai-nilai yang berfungsi mengatur tingkah
laku setiap pemeluknya. Nilai-nilai tersebut harus diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari sebagai wujud ketaatan seseorang terhadap agamanya.
Konsekuensinya, perilaku seseorang akan sangat menentukan seberapa dalam
pemahaman, penghayatan, dan pengamalan mereka terdap nilai-nilai yang
terkandung dalam agama tersebut.
Oleh karena itu nilai-nilai yang terkandung dalam agama harus terinternalisasi
dalam diri setiap penganutnya sebagi pedoman untuk bertindak baik sebagai
individu, masyarakat, maupun warga negara. Jika hal ini terjadi, bukan sesuatu
yang tidak mungkin kalau toleransi antar umat beragama serta kedamaian dalam
masyarakat akan terwujud, karena pada dasarnya semua agama mengajarkan tentang
kebaikan dan membenci permusuhan. Yang membedakan hanyalah urusan akidah antara
penganut agama dan Tuhannya.
Bersifat Inklusif
Klaim kebenaran mutlak pada satu agama menjadi pemicu timbulnya sifat
fanatisme agama bagi penganutnya. Hal ini yang kemudian membuat mereka menjadi
ekslusif – merasa berbeda dengan orang lain karena menganggap berbeda
keyakinan. Mereka memisahkan diri dari masyarakat luas dan hanya menjalin
hubungan sosial dengan orang-orang yang seagama. Akibatnya mereka nyaris tidak
menyadari akan kemajemukan orang-orang disekelilingnya. Kalau sifat eksklusif
ini menyebar keseluruh penganut agama, maka kehidupan masyarakat akat
terfragmentasi menjadi sub-sub masyarakat yang mewakili agama atau kepercayaan.
Tidak ada kontak sosial yang dapat menghubungkan antar pemeluk agama tersebut
sehingga toleransi umat beragama menjadi hal yang tidak mungkin, bahkan sangat
sensitif akan gesekan-gesekan.
Sifat eksklusif atas dasar agama ini harus dinegasikan yakni dengan sifat
inklusif. Artinya, para pemeluk agama harus mencoba untuk masuk dan berbaur
dengan pemeluk agama yang lain dalam konteks hubungan sosial (sisi publik).
Berangkat dari hubungan ini, diharapkan antar pemeluk agama mampu mengurangi
perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sebuah persamaan sebagai warga negara
Indonesia. Apabila kontak sosial terus berlangsung dalam jangka waktu yang
lama, maka kemungkinan besar konflik dapat diredam. Karena mereka mulai sadar
akan keadaan masyarakat yang multikultural – multiagama.
Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Ashutosh Varshney (2002)
bahwa dalam suatu masyarakat cenderung membentuk dua pola ikatan komunal
(sosial). Yaitu ‘Ikatan Intra-komunal’ dan ‘Ikatan
Inter-komunal’. Dalam masyarakat yang membangun pola ikatan inra-komunal,
hubungan-hubungan sosial hanya dilakukan oleh sekelompok atau komuntas yang
sama. Mereka menjalani kehidupan sehari-hari secara intensif satu sama lain
karena merasa berasal dari komunitas yang sama. Mereka terpisah dan menutup
diri dengan komunitas yang lain. Ikatan intra-komunal ini cenderung berpotensi
menimbulkan kekerasan komunal manakala terjadi guncangan dari luar, ketegangan,
atau rumor antar komunitas.
Sedangkan ikatan inter-komunal yaitu pola hubungan sosial yang terdiri dari
beragam komunitas – komunitas yang berbeda. Mereka hidup berdampingan,
saling mengunjungi, toleransi dan berbaur. Ikatan inter-komunal ini yang akan
menciptakan kedamaian komunal. Karena mereka berusaha melepaskan diri dari
segala perbedaan-perbedaan meski terjadi guncangan dari luar, ketegangan, atau
rumor antar komunitas.
Jika mengikut dari yang dikemukakan oleh Varsney diatas dapat dikatakan
bahwa sikap eksklusif bisa ditemukan dalam masyarakat yang membentuk pola ikatan
intra-komunal. Sebaliknya, sikap inklusif dapat ditemukan pada masyarakat yang
membentuk pola ikatan inter-komunal. Dari sini nampak bahwa masyarakat yang
melakukan hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari hanya dengan orang-orang
yang berasal dari agama atau kepercayaan yang sama maka cenderung menimbulkan
konflik dengan pemeluk agama atau kepercayaan yang lain. Sedangkan masyarakat
yang mampu melakukan hubungan sosial dengan pemeluk agama atau kepercayaan yang
berbeda-beda cenderung menimbulkan kedamian antar pemeluk agama tersebut.
Sehingga jelaslah bahwa sesungguhnya agama bukanlah sumber pemicu konflik dan
kerusuhan, justru agama yang mendorong terciptanya kedamian dalam masyarakat.
Pendidikan Agama dalam Perspektif
Multikultural
Supaya nilai-nilai yang terkandung dalam agama dapat terinternalisasi
dengan matang dan penganut agama mengedepankan sikap inklusif, maka yang perlu
dipertimbangkan adalah menganai sejauh mana pendidikan agama mewujudkan kedua
hal diatas. Pendidikan agama menjadi penting artinya sebagai titik awal bagi
seseorang mendapatkan pemahaman dan transfer nilai-nilai agama yang terkandung
didalamnya untuk kemudian mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional ( UU Sisdiknas) tahun 2003 pasal 30 ayat 2 yang mengatakan
bahwa ‘pendidikan agama bertujuan mempersiapkan perserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan
atau menjadi ahli agama’. Pendidikan agama diharapkan mampu membentuk
karakter seseorang yang mencerminkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur.
Pendidikan agama secara langsung maupun tidak, ikut bertanggung jawab dalam
menghadapi realitas masyarakat sekarang ini. Realitanya konflik-konflik
horizontal yang terjadi dalam masayarakat sering muncul. Hal ini menunjukkan
bahwa secara kolektif bangsa ini tidak mau belajar tentang bagaimana hidup
secara bersama dan rukun. Bahkan dapat dikatakan agen-agen sosialisasi utama
seperti keluarga dan lembaga pendidikan, tampaknya tidak berhasil menanamkan
sikap toleransi-inklusif dan tidak mampu mengajarkan untuk hidup bersama dalam
masyarakat yang majemuk atau plural (Abdul Wahid, 2009). Oleh karena itu,
pendidikan agama dalam perspektif multikultural menjadi sebuah kewajiban bagi
agen-agen sosialisasi dengan tujuan mecetak generasi bangsa yang mampu
menghargai keanekaragaman. Utamanya lembaga pendidikan (sekolah)
Menurut Bennet (Abdul Wahid,2009) pendidikan multikultural adalah sebuah
pendekatan pada pengajaran dan pembelajaran yang didasarkan atas nilai dan
kepercayaan demokratis dan melihat keragaman sosial dan interpendensi dunia
sebagai bagian dari pluralitas budaya. Multikultural dan pendidikan merupakan
rangkaian kata yang berisikan essensi dan konsekuensi yang tidak dapat
dipisahkan. Di satu sisi, dalam multikulturalisme terdapat materi kajian yang
menjadi dasar pijakan pelaksanaan pendidikan. Di sisi lain, dalam pendidikan
terdapat fondasi dan akar-akar kultur yang disarikan dari nilai-nilai kultur
masyarakat.
Tilaar (Abdul Wahid,2009) mengemukakan tiga prinsip pendidikan
multikultural. Pertama, pendidikan multikultural yang
didasarkan pada pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy). Kedua,pendidikan
multikultural ditunjukkan kepada terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas dan
mengembangkan pribadi-pribadi Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dengan
sebaik-baiknya. Ketiga,prinsip globalisasi tidak perlu diikutu
apabila bangsa ini mengetahui arah serta nilai-nilai baik dan buruk yang
dibawanya. Ketiga prinsip yang dikemukakan oleh Tilaar tersebut dapat
menggambarkan bahwa arah dari wawasan multikultural-isme adalah untuk
menciptakan manusia yang terbuka terhadap segala macam perkembangan zaman dan
keanekaragaman aspek dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan multikultural ini menjadi sangat urgen ditengah masyarakat yang
heterogen. Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan historis dan
sosial yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Pergumulan antar budaya
memberika peluang konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan
menghormati satu sama lain. Proses untuk meminimalisir konflik inilah yang
memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan multikultural dalam rangka
pemberdayaan masyarakat yang heterogen agar saling memahami dan menghormati
serta membentuk karakter yang terubuka terhadap perbedaan (Abdul Wahid, 2009).
Dengan kata lain, pendidikan agama yang memperhatikan pluralisme atau
multikulturalisme sangat diperlukan untuk menciptakan dan memlihara kerukunan
dalam kehidupan beragama.
Dukungan berbagai Pihak
Upaya-upaya untuk meminimalisir konflik serta menjadikan agama yang toleran
dan cita damai tidak akan berjalan sempurna tanpa adanya dukungan dari berbagai
pihak. Dukungan dari berbagai pihak ini sangat diperlukan sebagai agen
sosialisasi yang menjadi penyalur nilai-nilai keagamaan dalam rangka membentuk
karakter bangsa yang mampu menghargai keberagaman dan hidup rukun ditengah
perbedaan-perbedaan agama. Dukungan ini tidak lain berasal dari empat istitusi,
yaitu: institusi keluraga, lembaga pendidikan (sekolah), pemerintah dan
Media massa.
Pertama, Institusi keluarga. Institusi keluarga menjadi
sangat penting karena sebagai tempat awal bagi seseorang dalam melakukan
interaksi dan kontak sosial. Artinya, peran orang tua selaku pelaku utama dalam
kelurga sangat diperlukan untuk menumbuhkan karakter seorang anak yang jujur,
disiplin, serta berbudi pekerti luhur. Pendidikan yang diberikan orang tua
kepada anaknya juga harus memperhatikan wawasan multikultural agar kelak sang
anak sadar bahwa ia hidup ditengah masyarakat yang beraneka ragam. Misalnya
orang tua mulai mengenalkan agama-agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia
sebagai sebuah kenyataan yag harus diakui, sehingga anak diharapkan mampu
menanamkan sifat-sifat yang toleran dan menghargai perbedaan.
Kedua, Lembaga pendidikan. Sekolah menjadi agen sosialisasi
yang penting untuk mematangkan karakter anak setelah mendapatkan sosialisasi
pertama dari keluarga. Setiap sekolah dipastikan memiliki mata pelajaran agama
atau biasa disebut dengan pendidikan agama. Pendidikan agama dalam jenjang pendidikan
formal di Indonesia diistilahkan dengan Pendidikan Agama Islam (PAI),
Pendidikan Katholik, PA Protestan, PA Hindu dan PA Buddha. Mata pelajaran ini
harus dijadikan peluang untuk menumbuhkan semangat pluralism.
Namun menurut Noer (Abdul Wahid,2009) pendidikan agama di sekolah dinilai
gagal dalam menumbuhkan semangat pluralisme tersebut. Hal ini disebabkan oleh
empat faktor. Pertama,penekanannya pada transfer ilmu agama
ketimbang pada proses transfromasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak
didik. Kedua,sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih sekadar
sebagai pelengkap kurikulum belaka. Ketiga,kurangnya penekanan pada
penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar agama, seperti
cinta, kasih saying, persahabatan, suka menolong, damai dan toleransi. Keempat,kurangnya
perhatian untuk mempelajari agama lain.
Apabila yang dikemukakan oleh Noer diatas benar, maka akan sulit bagi seorang
anak untuk berwawasan multikultural. Bahayanya anak didik akan bersifat
eksklusif dan berujung pada tindakan fanatisme agama. Lembaga pendidikan
melalui pendidikan agama seharusnya bisa membentuk anak didik yang mempunyai
wawasan multikulturalisme, pluralisme, inklusivisme. Toleransi, dan
nonsectarian sebagai motto dari semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Ketiga, institusi pemerintah. Pemerintah mempunyai tanggung jawab
menciptakan masyarakat damai dan sejahtera. Tugas dan kewajiban yang diemban
oleh pemerintah haruslah mengedepankan prinsip keadilan dan persamaan. Artinya,
pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan haruslah netral terhadap semua
masyarakat yang notabene-nya beragam. Sikap dan tindakan pemerintah yang berat
sebelah terlebih dalam urusan agama, akan memicu pergolakan dalam masyarakat.
Misalnya dalam hal izin pendirian rumah ibadah, perayaan hari-hari besar
kegamaan, harus dipikirkan secara matang agar tidak menciptakan gesekan-gesekan
antar masyarakat yang berbeda agama. Integritas, netralitas, dan rasionalitas
dari pemerintah menjadi penting ketika pemerintah yang berada dalam suatu
daerah dengan mayoritas pemeluk agama tertentu.
Di samping itu, pemerintah juga harus mensosialisasikan pentingnya toleransi
umat beragama ditengah masyarakat, biak melalui seminar, lokakarya, himbauan di
media dan lainnya. Pemerintah juga harus bisa menciptakan wadah-wadah secara
luas agar terjalinnya interaksi dan komunikasi antar pemeluk agama. Misalnya
pemerintah mengadakan acara-acara yang didalamnya melibatkan berbagai agama
supaya timbulnya rasa kerja sama dan saling memahami satu sama lain.
Keempat, media massa. Media menjadi salah satu alat untuk
mendapatkan informasi seputar peristiwa yang tengah berkembang dalam
masyarakat. Informasi yang diwartakan oleh media secara langsung maupun tidak
dapat mempengaruhi opini publik. Ini yang kemudian dikenal dengan istilah agenda
setting. Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat multi-agama, media
diharapkan mampu menjadi agen yang bisa menciptakan kerukunan umat beragama.
Mulai dengan menayangkan siaran yang sarat dengan nilai-nilai toleransi dan
perdamaian hingga menjauhi siaran berita yang menyudutkan salah satu agama
karena bisa memecah belah persatuan umat beragama. Manakala terajadi konflik
mengenai isu agama, berita yang dimuat oleh media harus objektif sesuai dengan
fakta yang ada. Konten berita tidak boleh bersifat provokatif karena akan
membuat konflik semakin memanas. Media dengan kemampuannya melakukan agenda
setting harus berupaya memberikan penyadaran kepada publik bahwa
mereka hidup ditengah keadaan masyarakat yang multikultural-multi-agama
sehingga diperlukan sifat saling toleransi agar kerukunan umat beragama tetap
terjaga.
Kesimpulan
Konflik dan kekerasan atas nama agama bisa terjadi karena adanya pemahaman
yang keliru mengenai agama itu sendiri. Klaim kebenaran mutlak yang ada pada
setiap agama berpotensi menimbulkan sikap fanatisme penganut agama. Di samping
itu, sikap penganut agama yang eksklusif dan tidak memiliki pendidikan agama
yang berwawasan multikutural juga menjadi salah satu penyebab mengapa konflik
dan kekerasan atas nama agama sering terjadi. Kerukunan umat beragama yang
mengedepankan nilai-nilai toleransi dan cinta damai dalam semangat persatuan
pun menjadi luntur. Citra agama seketika menjadi buruk yang selalu diidentikkan
dengan kekerasan.
Padahal idealnya, justru agamalah yang mampu menciptakan toleransi dan
cinta damai ditengah masyarakat, karena sejatinya nilai-nilai universal yang
terkandung dalam setiap agama itu sama. Yakni, mengajarkan toleransi, saling
berbagi, saling menghormati dan tolong menolong antar umat. Oleh karena itu,
supaya agama menjadi alat untuk menciptakan toleransi dan cinta damai, terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan. Yaitu internalisasi nilai-nilai agama
harus benar-benar melekat dalam kehidupan bermasyarakat; Mengedepankan sikap
inklusif yang tidak menutup mata dengan perbedaan yang ada; Diperlukannya
pendidikan agama yang mengajarkan pada konteks multikulturalisme serta dukungan
dari berbagai pihak mulai dari institusi keluarga, sekolah, pemerintah dan media
massa yang secara keseluruhan mempunyai berkomitmen bersama pada pembentukan
masyarakat yang toleran dan cinta damai.
Daftar Pustaka
Asshiddiqie,Jimly.2014. Toleransi
dan Intoleransi Beragama di Indonesia Pasca Reformasi. Jurnal
Akhyar,Zainul.2015. Implementasi
Toleransi Antar Umat Beragama di Desa Kolam Kanan Kecamatan Barambai Kabupaten
Barito Kuala. Jurnal
Azis,Abdul. 2009. Pendidikan
Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme. Jakarta: Balai Litbang
Agama
Kimbal,Charles.2003. Kala Agama
Jadi Bencana. Jakarta: Mizan Publika
SH Siagian.1993. Agama-Agama di
Indonesia. Semarang: Satya Wacana.
Varshney, Ashutosh. 2002. Konflik
Etnis dan Peran Masyarakat Sipil. Jakarta: Balai Litbang Agama
Vidiani,Rini.2013. Kerukunan
Umat Beragama di Indonesia (Belajar Keharomonisan dan Toleransi Umat Beragama
Di Desa Cikakak, Kec. Wangon, Kab. Banyumas).Jurnal
Wahid,Abdul.2009. Multikulturalisme
dalam Pendidikan Agama Islam, dalam A. Azis Albone. Pendidikan Agama
Islam dalam Perspektif Multikulturalisme (hh 137-150). Jakarta: Balai
Litbang Agama
Jombang.nu.id/urgensi-nasonalisme-dan-teologi-toleransi-untuk-mewujudkan-kerukunan-umat-beragama/
[1] Perda Kota Serang nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
[2] Meskipun saat ini negara hanya merekognisi enam agama saja, yaitu
Islam, Hindhu, Budha, Kristen, Katolik, dan Kong Hu Chu