Mimpi dan Persahabatan: Rangkaian Kenangan Indah Selama 6 Bulan




Saya beruntung bisa menjadi salah satu dari barisan para pejuang mimpi yang sangat gigih dalam meraih masa depan yang cemerlang lewat pintu pendidikan.

Mereka adalah kumpulan orang-orang yang luar bisa. Tak kenal lelah dalam bejuang dan berkorban, kaya akan pengalaman dan keluhuran hati. Saya banyak belajar dari mereka.

Cerita tentang kebersamaa, canda, tawa, solidaritas adalah menu utama yang kami lalui selama enam bulan. Dan Jogyakarta menjadi saksi bisu yang menorehkan catatan akan penyatuan dari keberagaman.

KU TAK SIAP UNTUK MERINDU..... KU TAK SIAP TANPA KALIAN
KU HARAP TERBAIK UNTUK KALIAN



Bumi Manusia di Desa Gampong



Tempat ini dijadikan sebagai salah satu lokasi utama dalam pengambilan syuting Film Bumi Manusia yang tidak lama lagi akan tayang di Bioskop Indonesia.
Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini mengadopsi cerita dari Novel yang juga berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Pram, begitu akrab disapa, merupakan novelis ternama dan berpengaruh di masanya, yang banyak menulis novel yang sebagian besar bercerita tentang kehidupan rakyat Indonesia dalam berjuang mempertahankan hidup ditengah setting sosial dan politik yang penuh ketidakpastian.
Rakyat kerap terjebak dalam kubangan penindasan, keterpinggiran, dan kemiskinan tatkala harus berhadapan dengan rezim kolonial hingga orde baru yang sama-sama penghisap. Karena itu, meski kemerdekaan sudah dikumandangkan, tetapi kehidupan nyata rakyat selalu bersebrangan dengan apa yang diharapkan. Rakyat tidak benar-benar berada dalam hidup yang bebas dan mencapai pada titik self determination.
Merespon hal ini, Pram pernah berkata:
"Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri." @ Desa Wisata Gamplong


Dari Gereja Ayam sampai Rumah Lebah: Eksplorasi Magelang




Magelang tidak hanya identik dengan Candi Borobudur sebagai destinasi wisata. Tak banyak yang tahu, ada beberapa wisata alternatif di sekitar wilayah Borobudur, yang juga tidak kalah menarik untuk berlibur. Berkeliling di desa wisata Magelang menggunakan VW Car, paling tidak saya berkunjung ke dua tempat: Gereja Ayam dan Rumah Lebah.

Eits jangan salah, Gereja Ayam merupakan wisata religi yang terletak di tengah bukit Rhema. Konon,tujuan awal pembangunannya adalah sebagai tempat beribadah semua agama. Penduduk sekitar yang berbeda agama dapat menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Bangunan tersebut menjadi simbol kerukunan antar umat beragama dan kehidupan yang damai ditengah keberagaman. Dinamakan Greja karena bangunan ini dipelopori oleh tokoh yang beragama Nasrani. Kini, bangunan tersebut menjadi museum.. Di samping itu, Rumah Lebah yang juga saya kunjungi, adalah tempat belajar bagaimana untuk membudidayakan Lebah dan menghasilkan komoditas madu yang berkualitas.
Perjalanan ditutup dengan makan bersama dengan sambal pedas khas Magelang. Sayang, saya jadi sakit perut gegara kepedesan. But overall, i do enjoy this fascinating trip. @ Magelang



Formasi Kelas dan Kontradiksi Kapitalisme: Menyoal Basis Demokratisasi



Tulisan ini membahas tentang sebuah karya klasik berjudul “Capitalist Development and Democracy” karya Ruechemeyer, Stephens, dan Stephen’s (1992). Secara garis besar, tulisan tersebut menjelaskan keterkaitan antara pembangunan ekonomi kapitalis terhadap demokrasi di suatu negara. Ruechemeyer et al memulai dengan melakukan studi komparasi di beberapa negara yaitu Eropa Barat, Amerika Utara, Amerika Latin dan Karibia. Dari negara-negara yang dikaji menghasilkan sebuah kecenderungan bahwa kapitalise dan demokrasi bekerja dalam sebuah sistem dan struktur yang saling menopang. Sistem ekonomi kapitalis yang mengedepankan kompetisi pasar secara bebas akan bermuara pada terciptanya iklim demokrasi yang membawa kebebasan politik dan partispasi warga negara dalam pemerintahan. Impilkasinya, pembangunan ekonomi dan demokrasi merupakan dua entistas yang dipandang identik (go hand in hand).
Temuan studi Ruechemyer et al (1992) menyinggung anggapan kaum Marxian abad ke-19 seperti Alexis de Tocqueville dan John Stuart Mill bahwa demokrasi kapitalis seriring berjalannya waktu akan menghasilkan konservatisme borjuis dan liberal. Demokrasi hanya akan menguntungkan kaum borjuis dan penindasan terhadap kelas pekerja. Karenaya demokrasi kapitalis perlu dirubah menjadi sistem sosialisme. Menurut Ruechemyer et al (1992), pandangan kaum Marxian ini ironis, sebab dalam pergeseran dari kapitalis ke sosialis ini mereka menggunakan mekanisme demokrasi yang memberikan hak pilih secara luas kepada warga negara. Pandangan Ruechemyer et al mengenai korelasi antara pembangunan kapitalisme dan demokrasi sesungguhnya berangkat dari fakta empiris di negara-negara agararian sebelum diperkenalnya pasar bebas (pre-capitalist history), setting sosial dan politik jarang memunculkan praktik demokratis justru menghasilkan sistem otokrasi dan oligarki. Posisi negara dengan masyarakat agrarian sangat lemah dibandingkan dengan kekuasaan dan kemampuan negara modern. Hal ini tidak lepas sebagai implikasi dari kegagalan rezim tirani di negara agrarian dalam membentuk dan mentransformasikan masyarakat menuju kehidupan sosial-politik yang demokratis.
Ruechemyer et al (1992) menggunakan dua metode penelitian: kuantitative cross-national comparison dan Kualitative-comparative historical studies. Mereka mengintergrasikan kedua metode tersebut dan menawarkan pendekatan teoritis. Sebab kedua metode ini saling melengkapi. Penelitian tersebut menggunakan perspektif ekonomi politik yang berfokus pada aktor. Kekuasaan didasarkan pada kontrol atas sumber daya ekonomi dan organisasi dan kekuatan paksaan dan yang bersaing satu sama lain untuk sumber daya yang langka dalam mengejar tujuan yang saling bertentangan. Ruechemyer et al (1992) mengungkap bahwa terdapat korelasi antara pembangunan dan demokrasi. Meskipun metode yang berbeda melalui studi komparative dengan pengujian kualitatif, menyebut ada pesimistic terhadap kebangkitan demokrasi di negara-negara berkembang, bagi Ruechemyer et al (1992) demokrasi hadir karena fungsinya yang cocok bagi pembangunan ekonomi kapitalis. Relasi kuasalah yang menentukan apakah demokrasi dapat muncul, distabilkan dan bertahan meski dalam keadaan krisis. Terdapat beberapa variabel yang dapat mengkondisikan demokrasi. Pertama, kelas dan koalisi kelas. Kelas pekerja menjadi penyokong utama demokrasi karena mampu mengorganisir diri untuk melibatkan kelas-kelas lainnya secara inklusif dalam perpolitikan. Adanya struktur koalisi kelas (Structure of class coalition) dan kekuasaan relatif dari kelas-kelas yang berbeda (relative power of different class) ini akan menciptakan keseimbangan kekuasaan kelas (balance of class power) yang berdampak pada kestabilan demokrasi.
Kekuasaan kelas (Class power) ini selanjutnya akan memunculkan kelompok-kelompok dan asosiasi (civil society) dimana kehadiran mereka akan menopang bangunan demokrasi sebab mampu berperan menjadi penyeimbang control negara. Singkatnya, pembangunan kaptalisme yang kemudian membentuk koalisi organisasi dari kelas pekerja dan kelas menengah mampu memberdayakan kelas-kelas lain untuk kemudian berubah menjadi keseimbangan kekuasaan kelas. Koalisi kelas ini membawa pada pertumbuhan civil society. Civil society sebagai institusi dan asosiasi masyarakat diluar negara baik formal maupun informal akan berdampak pada peningkatan literasi masyarakat, kesetaraan, dan partisipasi politik dalam pemerintahan.
Kedua, kekuasaan negara. Bentuk struktur negara dan relasinya dengan konsentrasi kekuasaan lainnya turut menentukan kondisi terciptanya demokrasi. Relasi kekuasaan antara negara dan civil society yang inklusif dalam membuat keputusan kolektif dan formulasi kebijakan tentu akan mendorong lahirnya demokrasi. Berbanding terbalik, negara yang terlampu dominan dan memonopli subjek kekuasaan cenderung menghasilkan otoritarianisme. Ketiga, relasi kuasa trans-nasional. Hubungan negara dengan kekuasan negara lain yang melampau batas diluar negara yang bersangkutan terkait ekonomi dan politik turut mengkondisikan demokrasi. Relasi ini, dalam tingkatan yang berbeda akan mempengaruhi relasi negara yang bersangkutan dengan kelas pekerja dan civil society.
Dari ketiga variabel yang dapat mengkondisikan demokrasi, Ruechemyer et al (1992) lebih banyak membahas pada variebel pertama yaitu power class, dengan menawarkan argumen bahwa pembangunan kapitalisme dapat dihubungkan dengan demokrasi karena dapat mentrasformaskan struktur kelas, memperkuat kelas pekerja dan kelas menengah (working class and middle class) dan melemahkan kelas atas (upper class). Bangunan demokrasi tidak berangkat dari hadirnya kekuatan pasar kapitalis melainkan penekanannya pada hadirnya kontradiksi dalam tubuh kapitalisme yang menjadi penyebab kuat lahirnya demokrasi. Kelas pekerja memiliki kepentingan untuk menciptakan kekuatan pro demorasi guna melindungi seligus melawan hegemoni kelas dominan terhadap kelas bawah. Berbanding terbalik, kelas atas (kaum borjuis) yang mandiri cenderung menolak demokrasi karena adanya kekhawatiran hilangnya dominasi mereka atas kelas pekerja. Meskipun pada dasarnya mereka setuju dengan ide demokrasi dan pemerintahan representatif melalui pemilu, tetapi mereka menolak hadirnya politik yang inklusi bagi kelas pekerja yang memberikan kesempatan untuk mengorganisir diri secara massif melwan dominasi kelas atas. Kaum borjuis posisinya akan terancam jika terdapat tekanan massa yanng begitu kuat, lambat laun sering berjalannya waktu memungkinkan untuk menolak demokrasi.
Gagasan Ruechemyer et al (1990) menguatkan pemahaman kepada kita bahwa ekonomi menjadi basis bagi demokrasi dan demokratisasi melalui formasi kelas sosial dalam bentuk tindakan gerakan sosial. Demokrasi adalah sebuah hasil dari perjuangan antara kelas menangah dan kelas subordinat. Hal ini tidak lepas dari peran sentral kelas pekerja yang pro demokrasi.  Negara-negara di Eropa Barat memunculkan kelas pekerja dan kelas menengah yang beraliansi untuk mendorong demokrasi. Demokrasi berkembang pesat pada masyarakat iindustri kapitalis besar di negara-negara barat sebab masyarakat mengalami industrialisasi dan pembangunan kapitalis yang pesat. Hal ini membawa dampak bagi keberadaan kelas pekerja yang powerfull. Sementara peran kelas pekerja (pada kontkes agrarian society)di Amerika Latin dan Carribean sangat kecil dan lemah dibandingkan dengan kelas atas (borjuis, tuan tanah). Karena kelemahan inilah  kelas pekerja tidak mengorganisir untuk membentuk gerakan politik yang inklusif sehingga relasi kekuasaan tidak mengarah pada praktik demokrasi. Amerika Latin pun sulit membangun relasi kekuasaan dengan negara lain, alhasil negara lebih dominan dibandingkan dengan civil society sehingga cenderung menciptakan sistem otoritarian yang bertindak represif. Pembangunan ekonomi Amerika Latin yang didorong oleh ekspor pertanian telah memperkuat posisi tuan tanah (borjuis kelas atas).
Dari sini terlihat bahwa peran kelas pekerja dan kelas menengah sangat penting dalam membentuk domokrasi dan demokratisasi. Meskipun demikian, Ruechemyer et al (1992) melihat adanya ambiguitas kelas menengah dalam konsolidasi demokrasi. Di satu sisi, kelas menengah mendorong terciptanya political inclusion yang beraliansi dengen kelas pekerja. Kelas menenangah sangat mendukung demokrasi karena adanya kepentingan melawan dominasi kelas atas (borjuis). Tetapi di sisi lain, ketika kelas menengah merasa terancam dengan adanya tekanan sosial di bahwa rezim demokratis, mereka cenderung kembali mendukung pada sistem otoritarian sebagai alternatif untuk mengamankan posisi mereka.
Dengan kata lain, kelas menengah memiliki kepentingan pragmatis terkait tindakan mereka dalam membentuk tindakan kolektif bersama kelas pekerja. Inilah yang kemudian disebut oleh Ruechemyer et al (1990) bahwa demokrasi sebagai kontradiksi pembangunan ekonomi kapitalis yang akan terkonsolidasi jika kepentingan kelas kaptalis tersebut tidak terancam secara langsung oleh pembangunan sistem kapitalis. Kontradiksi internal pada kapitalisme ini mendorong terbentuknya kelas pekerja yang terorganisir membantuk kekuatan politik alternatif. Pertumbuhan kekuatan civil society secara general, atau kelas bawah khususnya mendukung progress kesetaraan dan partisipisi politik menuju kesetaraan ekonomi dan sosial yang lebih besar (Self-Transformation of Capitalism).
Tesis Ruechemyer et al (1990) pada dasarnya hendak mencari jalan tengah dari bangunan teoritisasi demokrasi yang digagas oleh Lipset (1960) dan Barrington Moore (1966). Lipset melalui karyanya yang berjudul “Political Man: The social bases of politics” menggunakan metode studi komparatif-kuantitatif, berargumen bahwa pembangunan ekonomi kapitalis merupakan prasyarat bagi demokrasi. Terdapat lima indikator untuk menilai tingkat pembangunan ekonomi di sebuah negara yaitu, kekayaan, industrialisasi, urbanisasi, tingkat pendidikan. Bagi Lipset, negara-negara yang menghendaki sistem demokrasi, maka penting untuk menjalankan sistem ekonomi kapitalis, karena negara dengan kondisi ekonomi yang pesat dengan sendirinya akan memunculkan demokrasi. Tesis Lipset ini kemudian dikembangkan oleh Moore melalui karyanya yang berjudul “The Social Origins of Dictatorship and Democracy”. Bagi Moore, pembangunan ekonomi kapitalis sebagai prasyarakat demokrasi saja tidak cukup, sebab demokrasi bergantung pada sejarah negara tersebut yang memungkinkan negara tersebut akhirnya mengukuhkan dirinya menganut sistem demokrasi atau non-demokrasi. Selain itu, Moore juga menekankan pada pentingnya formasi kelas sebagai basis sosial untuk demokrasi. Dari dua pandangan yang berlainan ini, Ruechemyer et al berargumen bahwa dua pendapat tersebut adalah relevan tergantung pada variabel-variabel yang mengkondisikan demokrasi. Sebagaimana yang telah disinggung sebelunya, terdapat tiga variabel: class relation, state and society relation, trans-national relation.
Argumen Ruechmeyer et al telah memunculkan berbagai kritikan. Salah satu kritik datang dari O’Donnell (1979) yang pembangunan ekonomi politik di negara-negara Amerika Latin. Bahwa pembangunan ekonomi di negara tersebut tidak berkorelasi terhadap demokrasi sebagaimana yang dikemukan oleh Ruechemyer et al, sebaliknya yang lebih maju adalah diperkenalkannya sistem otoriter yang represif pada tahun 1960-an dan 1970-an. Kasus Argentina, Brasil dan Uruguay dalam hal ketika terjadi inflasi domestik tahun 1950-an telah menyebabkan banyak pergolakan dan konflik sosial yang menyebabkan krisis politik. Untuk mengantisipasi kemungkinkan hal yang lebih buruk, rezim yang berkuasa menekankan pada political exclution dengan menutup ruang partisipasi sipil dalam bentuk kegiatan politik apapun karena cenderung menimbulkan pergolakan dan distabilitas sosial-politik. Bahkan tindakan ini melibatkan unsur kekerasaan menggunakan militer. O’Donnell menyebutnya dengan “Beraucratic-Otoritarianism”. Agenda ini dijalankan untuk menopang upaya Amerika Latin menuju proses demokratisasi. Bagi O’Donnel, saat pembangunan ekonomi di Amerika Latin tinggi, justru mereka berpaling dari demokrasi.
Muller (1998) menyebut bahwa masa kejayaan ekonomi yang terkait erat dengan demokrasi sebagaimana tesis Ruechemyer et al, ecara empiris adalah konstelasi historis pada fase awal pertumbuhan kapitalisme yang menguntungkan. Fase rersebut tidak akan terluang pada masa selanjutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Moore (1966) bahwa relasi kelas memicu gejolak yang mengarah pada tiga rute: demokrasi kapitalis, kediktatoran fasis, dan kediktatoran komunis. Bagi Moore, demokrasi hanya dapat ditentukan pada rute demokrasi kapitalis dan bagian ini hanya sejarah yang tidak akan terulang.
Kritik yang mucul sebagai antitesa dari tesis Ruechemyer et al sebenarnya bentuk variasi lain dalam prkatik suatu negara tertentu yang luput dalam studi Ruechemyer et al. Hal ini berangkat dari perbedaan kontekstual baik dalam dimensi ruang dan waktu, historis dan setting sosial-politik yang beragam dari setiap negara yang dikaji oleh para schoolers. Artinya, memungkinkan tesis Ruechemyer et al akan relevan untuk melihat kondisi negara tertentu, atau bisa jadi tidak relevan sama sekali tatkala dihadapkan pada konteks negara yang berbeda. Paling tidak, karya Ruechemyer et al telah berkontribusi untuk memperkaya ruang analisa sosial-politik yang terus berkembang secara dinamis dari waktu ke waktu.


Daftar Pustaka
Rueschemeyer, Dietrich & Huber, Evelyne & Stephens, John. (1992). Capitalist Development & Democracy. Bibliovault OAI Repository, the University of Chicago Press. 72. 10.2307/2074523.
Jr. Moore, Barrington. (1966). The Social Origin of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the Modern World. USA: Penguin University Book.
Lipset, Seymour Martin. (1960). Political man; the social bases of politics. Garden City, N.Y. :Doubleday.
O'Donnell, Guillermo (1973). Modernization and bureaucratic-authoritarianism : studies in South American politics. Institute of International Studies, University of California, Berkeley.

Relasi Teori Negara dan Konsep Governability ala Fukuyama: Menentukan Model Negara



Tulisan ini merupakan sebuah refleksi teoritis yang mengkaitkan dua pendekatan utama yang dapat membantu kita memahami struktur dan kekuasaan negara. Pendekatan yang pertama yaitu teori negara klasik yang dapat dilacak mulai dari pemikiran Plato. Pendekatan yang kedua adalah teori governability yang digagas oleh Fukuyama. Perdebatan yang sering kali muncul dalam mendefinisikan negara teletak pada sejuah mana peran dan fungsi negara dalam dalam mengelola negara dan masyarakat. Pandangan yang pertama menekankan pada fungsi minimalis negara dengan memberikan scope yang lebih sempit hanya terbatas pada urusan publik, diluar itu diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar dengan memberikan kebebasan dan otomomi penuh kepada individu. Sementara pandangan yang kedua menekankan pada fungsi intervensionis yang memberikan kekuataan mutlak kepada negara, dengan anggapan negara dibenarkan melakukan intervensi dalam bentuk apapun termasuk kehidupan warganegara yang bersifat privat sekalipun. 
Dari perdebatan kedua pandangan ini memunculkan dikotomi bentuk kekuasaan negara. Pandangan yang mendukung pada fungsi intervensionis yang berkaitan dengan negara, kekuasaan dan otoritas, nampak pada pemikiran politik Plato, Aristoteles, St Agustinus, Thomas Aquinus, Hobbes, dan Hegel. Sementara pandangan yang mendukung gagasan negara minimalis dengan memberikan kebebasan dan otonomi individu dapat dilacak dari pemikiran Locke, Montesqieu, dan Rousseau.
Fukuyama (2004) berusaha keluar dari perdebatan dua pandangan ini. Baginya, keduanya tidak harus dikotomis, melainkan dapat saling terkait. Dominasi kekuasaan negara yang kuat melalui fungsi intervensionis tidak akan bertahan lama tanpa menjamin kebebasan warganya. Sebaliknya, pembangunan dan kesejahteraan ekonomi tanpa ditopang oleh hadirnya peran negara pada akhirnya akan rapuh. Berangkat dari pemahaman ini, Fukuyama berargumen bahwa tidak relevan untuk mempertentangkan fungsi negara yang minimalis atau intervensionis, sebab yang jauh lebih penting adalah menyoal sejauh mana kapasitas dan kemampuan negara dalam mengelola barang publik untuk menciptakan negara yang stabil dan kesejahteraan warganegara. Fukuyama menyebutnya dengan governability. Berangkat dari konsep governability ini selanjutnya akan menghasilkan tipe negara yang kuat, lemah, gagal dan runtuh. Negara yang kuat ditandai dengan kemampuan negara dalam mengelola dan menyediakan barang politik yang berkualitas tinggi bagi negaranya. Sebaliknya, negara lemah, gagal, atau runtuh dicirikan dengan ketidakmampuan negara dalam mengelola dan menyediakan barang politik kepada warganya . Pertanyaan yang mucul adalah bagaimana konsep governability ala Fukuyama ini dalam melihat konteks teori negara klasik? Bentuk pemerintahan apa yang akan terbentuk?
Teori negara klasik tidak lepas dari sejarah dan perkembangan kehidupan politik yang terjadi di zaman yunani kuno. Para pemikir yang lahir pada abad ini cenderung menempatkan negara sebagai entitas yang dominan dan memiliki kekuasaan mutlak (Budiman, 1996). Hal ini tidak lepas dari kondisi saat itu bahwa keadaan masyarakat sebelum terbentuknya negara cenderung berkonflik satu sama lain. Karenanya untuk menciptakan tatanan masyarakat yang kondusif diperlukan negara untuk menciptakan kebaikan bersama. Bagi Plato, negara harus dipimpin oleh seorang filosfof karena dianggap memiliiki moral yang luhur. Menurut Aristoteles, untuk menciptakan kebaikan bersama, perlu dibuat negara yang memiliki konstitusi (politia) supaya tidak terjadi penyalahgunaan. Jika melihat karakteristik negara yang digagas oleh para pemikir di zaman yunani kuno ini (Plato dan Artistoteles), maka tipologi negara yang muncul adalah negara lemah (weak state). Hal ini tidak lepas dari kondisi negara saat itu di Yunani, pemimpin (raja) bertindak sewenang-wenang kepada warga negara dan tidak memiliki tujuan untuk menciptakan kebaikan bersama dan moral yang tinggi. Raja bersifat tirani dan semua pemimpin saat itu adalah buruk. Hal inilah yang sekiranya membuat Plato menyebut seorang pemimpin harus dari kalangan filsuf.
Pada zaman pertengahan (middle age) terjadi perubahan struktur kekuasaan yang sangat dramatis. Struktur kekuasaan yang awalnya menjadi domain negara telah bergeser pada institusi agama  bernama Greja. Konstruksi yang dikembangkan saat itu adalah bahwa negara tidaklah lain hanya kepanjangan tangan dari gereja dan gereja adalah wakil tuhan. Konsekuensinya, negara berada dibawah kendali kuasa gereja. Kebaikan bersama yang dimakud adalah nilai-nilai yang diajarkan oleh Tuhan. Tokoh yang merintis pendapat ini seperti St Agustinus dan Thomas Aquinas. Dominasi kekuasaan gereja telah melanggengkan kebenaran yang bersifat dogmatis. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh raja dibenarkan karena dianggap perpanjangan tangan tuhan di dunia. Segala tindakan oposisi dan kritik di luar lingkaran kekuasaan negara dilarang. Akibatnya, raja cenderung menyalahgunakan kewenangan karena begitu dominannya kekuasaan raja. Konflik antara raja sebagai penguasa negara dan paus sebagai  pemuka Greja sering terjadi. Jika melihat pemaparan ini, maka tipologi negara yang terbentuk berdasarkan klasifikasi Fukuyama adalah bentuk negara lemah (weak state). Hal ini tidaklepas dari kegagalan negara dalam memberikan kebebasan warganya melalui separangkat aturan hukum yang restrictive.
Hadirnya dominasi Gereja diatas kekuasaan negara memicu munculnya gerakan perlawan dengan semangat sekulerisasi. Martin Luther adalah tokoh yang menginisasi gerakan tersebut. Baginya, gereja harus ditempatkan dibawah pengawasan negara. Pendapat Martin Luther ini kembali menempatkan negara pada posisi yang dominan. Tipe negara yang terbentuk adalah lemah (weak state) karena pada masa ini sering terjadi konflik berbasis agama antara di Eropa, termasuk Jerman tempat kelahiran Martin Luther. Konflik ini berlangsung selama puluhan tahun antara kelompok pengikut Katolik dan Protestan.
Berbeda dengan pemikiran Martin Luther yang membawa semangat pada sekulerisasi antara negara dan agama, Machiavelli memiliki pandangan yang berbeda bahwa kekuasaan negara haruslah mutlak, bahkan jika perlu keberadaan institusi agama dihapuskan. Karena sifatnya mutlak, negara mendapat pembenaran untuk melakukan tindakan apapun bahkan dengan cara-cara kekerasaan sekalipun. Pandangan Machiavelli ini tidak lepas dari setting sosial politik yang berkembang saat itu, Ia lahir di Italia dalam kondisi negara yang serba sulit, terjadi pergolakan, konflik, pembunuhan antar golongan, dan meluasnya tindakan korupsi pejabat negara. Dengan latar belakang inilah Machiavelli membangun pemikirannya bahwa negara tidak perlu mempertimbangkan asas moral dan kesusilaan. Jika melihat dari gagasan Machiavelli dan mengkontekstualisasikan negara Italia pada saat itu, maka tipologi negara masuk pada kategori negara gagal (failed state). Hal ini dikarenakan negara gagal menciptakan situasi kehidupan warganegara yang kondusif dan menjamin ditegakannya moral. Negara dengan segala kekuasaan absolutnya berhak melakukan cara apapun untuk mencapai kekuasaan meskipun dengan mengabaikan moral sekalipun.
Kemudian, pada pemikiran Hobbes, yang kehidupannya diiringi dengan konflik saat armada Spanyol sedang menyerbu Inggris, membuat cara pandangnya menilai manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya. Oleh karenannya untuk meredam konflik antar manusia itu, ia berpendapat bahwa perlu adanya kontrak untuk menumbuhkan perdamaian. Maka menurutnya tanpa negara, akan terjadi kekacauan. Jika berangkat dari pemikiran Hobbes dan dikaitkan dengan pemikiran Fukuyama maka tipologi negara masuk pada kategori negara gagal (failed state). Hal tersebut diambil dari kegagalan negara dengan adanya konflik, dan cenderung pemikiran yang ditawarkan Hobbes bahwa negara absolut, tidak memberi ruang banyak pada masyarakat.
Beranjak dari pemikiran Hobbes ke pemikiran John Locke. Pemikirannya berbeda dengan Hobbes. Ia tidak menempatkan negara secara absolut, namun melihat individu penting. Negara menurutnya perlu ada batasan, untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan negara. Serta hak manusia tidak boleh diambil. Ia membagi kekuasaan kepada tiga bagian yaitu Legislatif, Eksekutif dan Federatif. Dengan pembagian kekuasaan tersebut jika melihat pemikiran Fukuyama, lebih pada negara kuat (strong state). Pembagian tersebut membuat jalannya negara lebih seimbang, dengan juga menghargai hak-hak manusia.
Pemikiran selanjutnya oleh Montesquieu, yang hampir sama dengan John Locke dengan membagi kekuasaan menjadi tiga. Namun, pembagiannya berbeda yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif atau dikenal dengan trias politica. Lembaga yudikatif tidak lepas dari latar belakangnya yang merupakan seorang pengacara dengan salah satu tulisannya de l’esprit des lois (semangat hukum). Dengan adanya pembagian tersebut membuat tidak adanya sentralisasi kekuasaan. Jika benar-benar berjalan sesuai fungsinya tiga lembaga tersebut, negara masuk dalam negara kuat (strong state).
Kemudian, Jean-Jacques Rousseau, yang belajar dari pemikiran Hobbes dan John Locke, berpandangan bahwa negara terbentuk lewat suatu perjanjian sosial (kontrak sosial), dimana individu dalam masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak kebebasan dan kekuasaan yang dimiliki kepada kekuasaan bersama, dimana hasil kontrak sosial tersebut disebut negara. Menurutnya negara berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat dan tetap menjalankan fungsinya sesuai kehendak rakyat. Jika melihat pemikiran tersebut, dengan negara mengakomodasi apa yang dibutuhkan oleh rakyat, negara tersebut masuk dalam negara kuat (strong state).

Referensi
Budiman, Arif. (1996). Teori negara: negara, kekuasaan dan ideologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Fukuyama, Francis.  (2004).  State-building : governance and world order in the 21st century.  Ithaca, N.Y :  Cornell University Press.








Dual Society Theory ala Boeke dan Refleksi Kasus Pembangunan Ekonomi Kontemporer di Indonesia




Tulisan ini merupakan sebuah review singkat mengenai gagasan J.H Boeke tentang “dual of society theory”. Teori ini muncul sebagai hasil eksplorasi mendalam terkait situasi ekonomi politik yang berkembang di Indonesa pasca kolonial. Indonesia yang masuk dalam kategori negara berkembang di kawasan timur ini tengah mengalami gejala peleburan values yang berasal dari barat sebagai dampak dari praktik kolonialisme yang cukup lama. Gejala peleburan values dari barat yang masuk dan perlahan menjalar pada struktur dan kebudayaan masyarakat timur telah menciptakan kondisi yang menurut J.H Boeke disebut dengan istilah ‘sosial dualism’. Istilah ini dipakai untuk mendefinisikan keadaan setting sosial masyarakat Indonesia terkait adanya tabrakan antara sistem sosial yang berada di Indonesia dengan sistem sosial di barat yang lebih mengarah pada kapitalisme. Bagi Boeke, kondisi tersebut memunculkan kontradiksi sosial, dimana sistem kapitalisme ala barat yang diperkenalkan oleh rezim kolonial ini tidak tepat bagi nature Timur.
Budaya masyarakat di negara-negara kasawan Timur dikenal dengan nilai-nilai yang lebih mengedepankan aspek sosial dan kerjasama, orientasi pada kebutuhan yang terbatas, tidak bernasfu untuk mencari keuntungan materil, mengutamakan asas kekeluargaan, dominasi pada kehidupan pertanian dan tidak memiliki minat pada investasi modal. Nilai-nilai ini sangat kontradiktif dengan budaya masyarakat Barat yang lebih individualis dan materialistis. Karena adanya perbedaan yang begitu besar antara ekonomi barat dan timur, menurut Boeke teori ekonomi barat tidak bisa diterapkan didaerah tertinggal seperti di Indonesia. Celakanya, sistem ekonomi barat ini sudah terlanjur diperkenalkan bahkan dipraktikan sejak rezim kolonial menjajah Indonesia. Tujuan yang ingin diwujudkan saat itu adalah melakukan upaya pembangunan ekonomi yang maju dan bekembang pesat sebagaiman terjadi di negara-negara industri barat. Namun, upaya ini pada akhirnya tidak behasil, sebab misi mengintegrasikan sistem barat yang kapitalis ini cenderung dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia yang masih pada tahap negara pra-kapitalis. Alhasil, pembangunan ekonomi berujung pada kegagalan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Boeke bahwa upaya mengindustrialisasikan Indonesia membawa kegagalan yang ditandai dengan terciptanya ketergantungan yang berujung pada membengkaknya hutang, menghancurkan industri kecil, dan menciptakan pengangguran. Bahkan, penetrasi barat telah merampas desa-desa dari kepemimpinan sosial budaya masyarakat lokal.
Apa yang dikemukan oleh Boeke sebagaimana yang telah disinggung diatas sesungguhnya hendak  menjelaskan bahwa Indonesia terjebak pada ambivalensi sosial dalam mengelola negara dan sumber daya. Di satu pihak, ekonomi kapitalis yang sedang  menguasai dunia ini dianggap sebagai resep yang ampuh untuk menciptakan pembangunan perekonomian Indonesia yang masih stagnan dan cenderung melambat. Tetapi di lain pihak, upaya penciptaan masyarakat kapitalis ini tidak didukung oleh keadaan riil masyarakat Indonesia yang bertentangan dengan paham kapitalis. Meskipun demikian, secara empiris pola kerja pemerintah cenderung mengarah pada pembangunan kapitalisme yang ditandai dengan upaya industrialisasi yang massif.
Upaya industrialisasi yang massif ini dapat dilacak sejak rezim orde baru Soeharto berkuasa. Slogan yang muncul dan sangat melekat saat itu adalah melakukan pembangunan negara melalui penguatan dan stabilisasi ekonomi. Upaya ini diambil sebagai langkah untuk memulihkan keadaan perekonomian negara yang mengalami krisis akibat adanya konflik politik veritakal dan horizontal yang berujung pada distabilitas ekonomi. Kebijakan ekonomi kapitalis yang dilakukan oleh Soeharto ditandai dengan adanya bantuan dari dunia Internasional (Word Bank dan IMF) yang mendanai negara untuk melakukan industrialisasi dan menciptakan sistem pasar yang terbuka dan bebas. Bantuan dana Internasional ini menjadi babak awal yang penting bagi bekerjanya sistem kapitalisme di Indonesia.
Dampak bagi bekerjanya sistem kapitalisme ini salah satunya dapat dilihat dari transformasi desa menjadi kota. Banyak lahan yang beralih fungsi menjadi pabrik dan perumahan untuk  menopang berjalannya pembangunan ekonomi sebab sektor pertanian dianggap tidak produktif dan tidak banyak menghasilkan sumber-sumber materi. Terkonsentrasinya pembangunan di kota, telah menyebabkan kota menjadi daya magnet bagi masyarakat desa untuk bermigrasi ke kota-kota besar. Urbanisasi menjadi hal yang sulit dihindari ketika pembangunan terkonsentrasi di kota yang dianggap membuka kantong-kantong pekerjaan bagi masyarakat desa.
Logika pembangunan yang dijalankan oleh rezim orde baru masih dipelihara di era reformasi hingga saat ini. Arus gelombang industrialisasi tidak bisa dibendung, sedangkan lahan pertanian semakin menyusut setiap tahun. Data yang diperoleh dari BPS Indonesia pada tahun 2002 mengungkap alih fungsi lahan sawah mencapai 42,40 %. Pertanyaannya, apakah upaya industrialisasi ini berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat? Boeke menjelaskan bahwa dual society sebagaimana yang tengah menjangkiti Indonesia membawa pada dua implikasi kebiajkan. Pertama, aturan suatu kebijakan tidak mungkin diterapkan untuk keseluruhan. Kedua, aturan ini mungkin bermanfaat bagi suatu masyarakat, tetapi merugikan bagi masyarakat yang lain.
Dalam konteks pembangunan ekonomi kontemporer di Indonesia saat ini, menurut hemat saya, proses pembangunan ekonomi melalui industrialisasi justru telah kehilangan arah dibuktikan dengan beberapa kontradiksi yang menyertainya. Misalnya, pemerintah Jokowi dalam nawacita pembangunannya, salah satunya adalah memperkuat daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Hal ini tidak berbanding lurus dengan banyaknya desa yang perlahan telah bertransformasi menjadi kota. Banyaknya alih fungsi lahan agraria untuk pendirian industri pabrik, perkantoran, perumahan, pariwisata menegasikan keinginan pemerintah memperkuat desa. Kurang intensifnya fokus pembangunan di desa, menjadikan desa tidak produktif dan menciptakan pengangguran. Banyak masyarakat memutuskan untuk urbanisasi ke kota karena ketidakpastian pekerjaan di desa, sementara terus menerus mengandalkan poada sektor pertanian, tidak banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Padahal pemerintah berupaya mewudujkan ketahanan pangan, tetapi menjadi nihil melihat keberadaan desa yang unpowerfull.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah, urbanisasi yang begitu kuat ke kota-kota besar, justru tidak serta merta memberikan ruang kesejahteraan bagi masyakat, sebab yang timbul adalah permasalahan lain. Melonjaknya angka urbanisasi yang tidak diimbangi dengan kapasitas tata kelola kota akhirnya menciptakan pengangguran, kriminalitas, perumahan kumuh, dan kesejangan sosial dan ekonomi. Implikasinya, baik di desa maupun di kota sama-sama melahirkan problem. Hal ini menegaskan bahwa sistem pembangunan yang bercorak kapitalistik kurang begitu relevan bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat.
Pada dasarnya masyarakat Indonesia belum siap berkompetisi secara bebas sebagimana yang dimanifestasikan dalam sistem kapitalistik, mengingat setiap masing-masing individu tidak berangkat dari kapastitas yang sama dan mayarakat yang heterogen membawa kompleksitas tersendiri. Disamping secara alamiah, kultur masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan kolektivisme dibanding kompetisi individual. Berbeda dengan Barat, industrialisasi dan pembangunan ekonomi dapat berbanding lurus degan kesejahteraan, sebab Barat ditopang oleh kebudayaan yang masyatakatnya kompetitif, memiliki kualitas pendidikan yang baik dan unsur masyarakat yang homogen. Sekiranya penjelasan ini cukup jelas bahwa pendapat Boeke mengenai dualisme society  di Indonesia yang berujuang pada kegagalan masih relevan untuk membahas kondisi ekonomi kontemporer di Indonesia saat ini.

Referensi
Higgins, B. (1956). The "Dualistic Theory" of Underdeveloped Areas. Economic Development and Cultural Change, 4(2), 99-115. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/1151896











Menakar Urgensi Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Multikultural



Latar Belakang
Konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama bukan fenomena yang baru di Indonesia. Berbagai isu yang bersinggungan dengan simbol-simbol agama selalu rentan memicu kerusuhan. Akibat yang ditimbulkan pun beragam, mulai dari perusakan sarana ibadah hingga pembantaian massa yang memakan korban tidak sedikit. Agama seketika menjadi alasan dasar untuk menjawab setiap konflik yang meledak.
Beberapa tahun silam, masyarakat Indonesia dibuat heboh dengan tragedi pembakaran rumah ibadah umat muslim di Tolikara. Kejadian tersebut bertepatan saat umat muslim Tolikara tengah menjalankan ibadah hari raya Idul Fitri (baca shalat Ied). Masih kasus yang serupa, pembakaran rumah ibadah juga terjadi di Aceh Singkil. Kali ini Gereja milik umat Kristiani menjadi sasarannya dengan alasan belum mengantongi surat izin mendirikan bangunan tempat ibadah. Terlepas benar atau tidaknya siapa pelaku dan korban, yang jelas kedua kasus tersebut semakin menambah daftar panjang konflik yang mengkambinghitamkan agama. Sementara kerukunan umat bergama berada diujung tanduk.
Banten pun tidak bisa luput dari permasalahan ini. Meskipun Banten merupakan daerah dengan mayoritas muslim, tetapi konflik atas nama agama masih dapat ditemukan. Peristiwa duka yang masih melekat sampai sekarang adalah mengenai pembantaian massa Ahmadiah oleh umat muslim di Cikeusik-Pandeglang beberapa tahun silam. Akibat tragedi itu, banyak korban yang berjatuhan, bahkan hingga meninggal. Lagi lagi isu yang diangkat masih perihal agama.
Belum lama ini, masyarakat di Serang digegerkan dengan kasus Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Serang yang merazia warung makan milik Bu Saeni lantaran kedapatan berjualan makanan di bulan puasa. Tindakan Satpol PP ini sebagai upaya menegakkan Perda Kota Serang yang berisi larangan warung makan berjualan pada siang hari selama bulan puasa dengan alasan menghargai umat muslim[1]. Kasus ini seketika menjadi perbincangan hangat bagi masyarakat Indonesia. Ada yang pro namun tak sedikit yang kontra. Bagi mereka yang pro, tindakan Satpol PP dianggap sudah benar karena untuk menghargai umat muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Apalagi melihat mayoritas masyarakat Banten (khususnya Serang) yang notabene-nya beragama Islam. Tindakan tersebut merasa semakin dibenarkan karena terlegitimasi oleh peraturan yang legal-formal (Perda Kota Serang). Meskipun belakangan, tindakan Satpol PP tersebut dianggap berlebihan karena saat razia, mereka sampai menyita makanan milik Bu Saeni.
Bagi mereka yang kontra, tindakan Satpol PP itu tidak dibenarkan karena telah membatasi hak seseorang dalam berusaha mencari penghasilan. Mereka yang iba dengan kondisi yang dialami Bu Saeni, berbondong-bondong mengumpulkan ‘Rupiah’ untuk kemudian diberikan kepada Bu Saeni. Bahkan, sebagian dari mereka menuntut agar Perwal tersebut segera dihapuskan karena mengandung unsur diskriminatif. Alasannya, kalau semua warung makan dilarang beroperasi pada siang hari selama bulan puasa, ini akan menyulitkan bagi masyarakat non-muslim untuk mendapatakan makanan. Tentu hal demikian sudah termasuk mengganggu dan melanggar hak orang lain untuk makan guna kelangsungan hidupnya. Meskipun kasus ini tidak sampai menimbulkan konflik dan kekerasan dalam masyarakat, setidaknya hal ini sempat membuat perselisihan antar umat beragama.
Sejauh ini, agama selalu menjadi isu sensitif  dalam masyarakat yang berujung pada tindakan anarkis. Perbedaan pandangan dalam hal kepercayaan selalu memicu konflik yang berkepanjangan. Kondisi ini semakin diperburuk dengan sifat masyarakat yang fanatik terhadap salah satu agama atau kepercayaan tertentu – yang menutup mata pada segala bentuk perbedaan dan keanekaragaman. Mereka mengklaim kebenaran adalah milik agama atau kepercayaan tertentu sedangkan agama atau kepercayaan yang lain dipandang salah. Jika keadaan demikian terus dipelihara, maka akan menimbulkan bahaya laten yang dapat mengancam disintegrasi bangsa. Negara kesatuan yang tengah dibangun oleh para pendiri bangsa pun akhirnya menjadi rusak oleh sebab kehidupan masyarakat yang tidak harmonis. Disamping itu, citra agama menjadi buruk di mata dunia. Agama menjadi momok yang menakuktkan karena diidentikkan dengan kekerasaan dan membenci kedamaian. Padahal sejatinya agama adalah suci yang menghendaki setiap pemeluknya menebar kebaikan dan cinta damai. Agama tidak menghendaki terjadinya kerusuhan dan konflik antar umat yang dapat mengoyak persaudaraan dan persatuan bangsa.
Kunci utama untuk bisa mengatasi masalah ini adalah terbangunnya rasa toleransi beragama antar umat dalam masyarakat. Toleransi beragama dipahami sebagai keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi sifat saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agama dan kerjasama dalam kehidupan masyarakat. Toleransi beragama ini menjadi sangat penting di tengah kondisi masyarakat Indonesia multikultural dan multi-agama. Tulisan ini berusaha membawa pemahaman kepada kita bahwa agama-lah yang sesungguhnya yang mampu mewujudkan toleransi tersebut dan menciptakan cinta damai dalam masyarakat.

Rumusan Masalah
            Sejak dulu, Indonesia dikenal sebagai negara yang multikultural. Terdapat beragam suku, Ras, adat, dan agama yang tersebar diberbagai daerah dan telah terbentuk jauh sebelum negara kepulauan ini merdeka. Tidak heran jika konstruksi negara ini dibangun atas dasar negara persatuan dengan semboyan Bhineka Tungga Ika, meskipun berbeda-beda tetapi tetap sama yakni satu tujuan.
            Namun lambat laun, kondisi masyarakat yang multikultural ini memicu konflik antar masyarakat diberbagai daerah karena dilatarbelakangi oleh perbedaan-perbedaan yang ada. Utamanya perbedaan dalam hal kepercayaan atau agama – yang masih menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Isu-isu sensitif atas nama agama selalu meledak yang berakhir pada tindakan anarkis dan kerusuhan. Akibatnya agama menjadi kambing hitam yang tidak mampu menciptakan toleransi antar umat beragama dan menebar kedamaian dalam masyarakat.
            Berdasarakan permasalahan ini muncul pertanyaan;  Mengapa konflik atas nama agama sering terjadi di Indonesia ? Bagaimana agama dapat mewujudkan toleransi dan cinta damai dalam masyarakat ?

Metode Penulisan
            Tulisan ini menggunakan metode document Analysis, yaitu menelaah data-data yang ada baik dari buku-buku, internet, maupun penelitian yang sudah ada sebelumnya yang relevan. Dari document Analysis tersebut, tulisan ini berusaha dibuat dengan metode deskriptif-eksplanatif, yaitu menggambarkan untuk kemudian dijelaskan secara mendalam terhadap peristiwa, kejadian atau permasalahan yang pernah terjadi.
           


Pembahasan

Mendefinisikan Pluralisme Agama
            Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia adalah negara yang unik dengan kondisi masyarakatnya yang pluralis dan multikultural. Jauh sebelum Indonesia merdeka, bangsa ini telah memiliki beragam suku, ras, kultur, adat, bahasa, dan agama yang tersebar diberbagai daerah. Kondisi demikian yang kemudian membuat para pendiri bangsa mengkonsepkan negara persatuan sebagaimana yang termaktub dalam Pancasila sila ke-2 yakni “Persatuan Indonesia”. Jimly Asshiddiqie (2014) mengatakan bahwa ‘Persatuan’ bukanlah ‘Kesatuan’. Dalam persatuan ada dinamika dan keanekragaman, sedangkan dalam kesatuan hanya ada keseragaman yang tidak memberi tempat pada dinamika perbedaan. Karena itu, meskipun warga bangsa menganut banyak sekali keanekaragaman, tetapi bangsa Indonesia tetap hidup rukun dan damai.
                Salah satu bentuk keberagaman yang terdapat di Indonesia adalah agama. Sebagaimana dikatakan oleh Zulfikar Dawam (jombang.nu.id) bahwa sejak zaman pra sejarah sudah berkembang berbagai agama  dan kepercayaan, baik agama asli seperti animisme, dinamisme, maupun agama impor yang dibawa oleh pendatang dari Barat maupun Timur. Agama-agama ini dibawa melalui jalur perdagangan, politik, imperialism dan misi agama. Semenjak itulah agama-agama yang ada di Indonesia terus berkembang dan diikuti oleh semakin bertambahnya jumlah para pemeluk. Sadar dengan kondisi ini, Indonesia kemudian dibentuk bukan dengan konsep negara agama bukan pula negara sekuler. Artinya agama tidak menjadi ideologi dan landasan sebuah negara, meskipun demikian, negara dan agama bukanlah dua entitas yang dikotomis. Negara merekognisi akan eksistensi agama yang beragam[2].
            Karena keanekaragaman itu pula yang kemudian membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan agar menciptakan kerukunan umat beragama serta tetap mencegah munculnya disintegrasi bangsa akibat adanya perbedaan. Salah satunya melalui undang-undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang salah satu pasalnya mengatur tentang kebebasan beragama dan menjamin kebebasan menjalankan agama bagi pemeluknya. Di samping itu, masalah toleransi juga dibahas oleh Mentri Agama dan Mentri Dalam Negeri melalui Peratuaran Bersama Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daera/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Berbagai aturan serta kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tersebut tidak lain sebagai upaya menciptakan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat, sebab pemerintah menyadari bahwa dalam masyarakat yang plural- multikultural berpotensi menciptakan gesekan-gesekan.

Urgensi Toleransi
            Dengan keberagaman agama sebagaimana yang telah disinggung diatas, maka ditutut terciptanya rasa toleransi antar masyarakat supaya perbedaan-perbedaan yang ada tidak mengarah pada disintegrasi bangsa. Kerukunan antar umat beragama bisa terwujud jika toleransi sudah melekat dan menjadi bagian hidup ditengah masyakarat.
Siagian (1993) memaknai toleransi sebagai keadaan saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat. Dengan demikian toleransi menunjuk pada adanya suatu kerelaan untuk menerima kenyataan adanya orang lain yang berbeda. Sementara Purwadarminta (Zaenul Akhyar : 2015) menyatakan toleransi adalah sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri.  Pelaksaan toleransi antar umat beragama akan tercipta jika masyarakat dalam kehidupan sehari-hari memperhatikan dan mempertimbangkan sikapnya dengan baik dan bijak kepada orang lain. Menurut pendapat Walzer (Zaenul Akhyar : 2015) toleransi harus mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap, antara lain: Sikap untuk menerima perbedaan; Mengubah penyeragaman menjadi keragaman; Mengakui hak orang lain serta menghargai eksistensi orang lain.
Meski toleransi menjadi penting bagi masyarakat multi-agama, tetapi konsep toleransi tidak bisa di sama-artikan dengan ‘kompromi’ yaitu sifat atau perilaku menerima apa saja dari orang lain demi terciptanya kententraman dan kesejahteraan. Jelas ini pemahaman yang keliru. Oleh sebab itu, Smith (Rini Vidiani, 2013) membedakan antara “faith” (iman) dengan “belief” (kepercayaan). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang dalam belief tidak dapat disatukan. Belief seringkali normatif dan intoleran. Belief bersifat historik yang mungkin secara konseptual berbada dari satu generasi ke generasi yang lain. Dalam belief (kepercayaan) itulah penganut agama berbeda-beda dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik. Sebaliknya dalam faith umat beragama dapat menyatu. Jadi orang bisa berbeda dalam belief tetapi menyatu dalam faith (iman).

Ketika Agama jadi Bencana
            Meskipun toleransi selalu digaung-gaungkan oleh banyak kalangan, namun masih banyak ditemukan kasus-kasus pelecehan, penyimpagan, konflik, atau kekerasan yang mengatasnamakan agama. Ini menunjukkan bahwa makna toleransi belum begitu melekat kuat dalam kehidupan masyarakat. Hasil penelitian The Wahid Institute (Rini Vidiani, 2013) menyebutkan bahwa selama tahun 2011, telah terjadi peningkatan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di berbagai daerah di Indonesia. Apabila tahun sebelumnya hanya 64 kasus meningkat menjadi 18% atau menjadi 92 kasus. Bentuk pelanggaran kebebasan beragama yang paling tinggi adalah pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah kelompok tertentu dengan 49 kasus, atau 48%, kemudian tindakan intimidasi dan ancaman kekerasan oleh aparat negara 20 kasus atau 20%, pembiaran kekerasan 11 kasus (11%), kekerasan dan pemaksaan keyakinan 9 kasus (9%), penyegelan dan pelarangan rumah ibadah 9 kasus (9%), dan kriminalisasi atau viktimisasi keyakinan 4 kasus (4%).
Dari 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama
2011, Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak dengan 46 kasus (50%), berikut Jemaat GKI Taman Yasmin Bogor 13 kasus (14%), jemaat gereja lainnya 12 kasus (13%), kelompok terduga sesat 8 kasus (9%), Millah Abraham (4 kasus),
kelompok Syiah dan aliran AKI (2 kasus), aliran Nurul Amal, aliran Bedatuan, aliran Islam Suci, Padepokan Padange Ati dan jemaah Masjid di NTT (masing-masing 1 kasus). Jawa Barat adalah daerah paling tinggi tingkat pelanggaran kebebasan beragama dan berkayakinan yakni 55 kasus atau 58%. Diikuti Banten, 9 kasus atau 10%, NAD 5 kasus (6%), Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sulsel masing-masing 4 kasus, dan daerah-daerah lainnya antara 1-2 kasus. Sedangkan pada tahun 2013 saja Komnas menerima 39 berkas pengaduan. Diskriminasi, pengancaman, dan kekerasan terhadap pemeluk agama sebanyak 21 berkas, penyegelan, perusakan, atau penghalangan pendirian rumah ibadah sebanyak 9 berkas dan penghalangan terhadap ritual pelaksanaan ibadah sebanyak 9 berkas.
            Dari kasus-kasus tersebut jelas telah membuat citra agama menjadi buruk. Agama kini menjadi identik dengan kekerasan dan membenci kedamaian. Agama yang sejatinya suci dan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat seolah hanya membawa bencana yang mengerikan. Agama begitu mudahnya menjadi alat provokasi dalam menimbulkan ketegangan dan kekerasan baik dikalangan internal maupun eksternal agama. Padahal tindakan dari penganut agama itulah yang sejatinya telah membuat citra agama mereka menjadi kotor. Hal ini bisa terjadi karena pemahaman dan pengamalan yang keliru antar penganut agama.
            Menurut Kimbal (2003) salah satu tanda yang bisa membuat agama busuk adalah apabila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Klaim kebenaran mutlak suatu agama biasanya disebabkan karena pemeluk agama yang bersangkutan yakin bahwa kitab suci mereka memang mengajarkan demikian – yang pada akhirnya teks kitab suci ini disalahgunakan untuk kepentingan apa saja. Kimbal memberikan analogi dengan seorang anak yang selalu mengatakan, hanya ayahnyalah satu-satunya yang terbaik. Sementara anak yang lain juga mengatakan, hanya ayahnyalah satu-satunya ayah yang terbaik. Pernyataan ini kiranya tidak bisa ditangkap sebagai bahasa kebenaran oleh karena sebuah kebenaran mengecualikan kebenaran yang lainnya. Berangkat dari klaim kebenaran – yang menganggap agama lain salah, lambat laun akan memicu konflik untuk mempertahankan agamanya. Sehingga tidak ayal jika kerusuahan dan kekerasan berbau agama sangat rentan terjadi. Jika seseorang atau segolongan umat yang tidak menerima orang/ umat lain, maka akan tercipta kondisi yang kacau. Kondisi ini sangat tidak sesuai dengan ajaran semua agama yang selalu mengajarkan kebaikan.
            Hal senada juga dikemukakan oleh Abdul Wahid (2009) bahwa permasalahan sebagaian besar umat beragama ialah memiliki pemaknaan eksklusif terhadap doktrin agama yang dianut. Hal ini semakin menjadi ketika ada justifikasi dari kitab suci masing-masing agama yang tentang klaim kebenara yang dikemukakan. Misalnya, dalam Agama Islam salah satu ayatnya menyatakan bahwa “Sesungguhnya agama yang paling benar di sisi Allah adalah Islam”. Klaim semacam ini kalau tidak disikapi dengan bijak akan melahirkan sebuah pemahaman yang eksklusif dan cenderung menyalahkan orang lain dan merasa dirinya paling benar dalam proporsi yang berlebihan. Padahal dalam Islam sendiri mengakui akan keberadaan orang lain yang pluralis  dan sangat mengajarkan pentingnya toleransi (Tasamuh) bagi pemeluknya.
            Dari sini jelas bahwa ketika agama disalahartikan dengan pemahaman dan penghayatan yang keliru bagi penganutnya, maka agama seketika berubah menjadi sebuah bencana besar yang bisa datang sewaktu-waktu oleh sebab setiap pemeluk agama masing-masing saling mempertahankan kebenaran mutlak-nya. Bahkan mereka bisa saja melakukan tindakan yang lebih buruk dengan berperang (bacaPerang Suci) atas nama membela agama. Padahal secara ideal, konflik itu seharusnya dapat berakhir pada doktrin agama, karena dalam ajaran masing-masing agama terdapat nilai-nilai ajaran tentang perdamaian, kasih saying, persaudaraan, kesetaraan, penghargaan atas keyakinan, kebersamaan, hak asasi, saling menghormati, dan saling bekerjasama dalam memecahkan persoalan bersama (Abdul Azis, 2009)

Agama: Mewujudkan Toleransi dan Cinta Damai
Manusia menjadikan agama sebagai pedoman atau jalan hidup yang mengatur manusia dalam bersikap dan bertingkah laku. Agama dijadikan sebuah dasar pijakan terhadap baik dan buruknya sebuah perbuatan, sehingga diharapkan mampu menghantarkan manusia pada kehidupan yang damai dan sejahtera.
Pada dasarnya agama memiliki dua sisi yaitu sisi privat dan sisi publik. Sisi privat merupakan sebuah ikatan spiritual antara manusia dengan Tuhannya sebagai bentuk penghambaan dan wujud pengakuan sebagai pencipta jagat raya. Sisi privat menekankan pada pemahaman akan ajaran agama yang membentuk ketaataan dan keimanan seorang individu sebagai penganutnya. Jika dilihat, sisi privat ini akan membentuk hubungan yang bersifat vertikal yang secara khusus mengikat individu dengan Tuhannya secara emosional.
Berbeda dengan sisi privat, sisi publik merupakan sebuah hubungan horizontal yang membentuk ikatan sosial antara manusia dengan makhluk lainnya, baik sebagai individu, kelompok, maupun masyarakat luas. Oleh karena itu, sisi publik menekankan pada pemahaman ajaran agama yang dapat membentuk kesalehan sosial yang didalamnya terdapat sifat-sifat kemanusiaan yang mengatur tentang kejujuran, keadil, etis, disiplin, toleransi, menjaga keharmonisan secara personal dan sosial.
Sisi publik ini yang kemudian menjadi sebuah perhatian serius karena menyangkut hubungan antar manusia. Apabila sisi publik ini berjalan harmonis, maka kondisi negara yang multi-agama tidak akan membawa dampak yang buruk karena ajaran-ajaran universal agama pada dasarnya sama yaitu toleransi, saling tolong-menolong, bekerja sama dan cinta kedamian. Pemahaman, penghayatan dan pengamalan yang salah dari para penganut agama yang kemudian menumbuhkan fanatisme agama, nilai-nilai universal dalam agama pun menjadi kabur. Ini yang kemudian menjadi alasan megapa konflik antar penganut agama sering terjadi. Oleh karena itu, ada beberapa langkah (solusi) yang harus diperhatikan untuk menghindari fanatisme agama serta mewujudkan agama yang toleransi dan cinta damai.

Internalisasi Nilai-Nilai Agama
            Setiap agama memiliki norma dan nilai-nilai yang berfungsi mengatur tingkah laku setiap pemeluknya. Nilai-nilai tersebut harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud ketaatan seseorang terhadap agamanya. Konsekuensinya, perilaku seseorang akan sangat menentukan seberapa dalam pemahaman, penghayatan, dan pengamalan mereka terdap nilai-nilai yang terkandung dalam agama tersebut.
            Oleh karena itu nilai-nilai yang terkandung dalam agama harus terinternalisasi dalam diri setiap penganutnya sebagi pedoman untuk bertindak baik sebagai individu, masyarakat, maupun warga negara. Jika hal ini terjadi, bukan sesuatu yang tidak mungkin kalau toleransi antar umat beragama serta kedamaian dalam masyarakat akan terwujud, karena pada dasarnya semua agama mengajarkan tentang kebaikan dan membenci permusuhan. Yang membedakan hanyalah urusan akidah antara penganut agama dan Tuhannya.

Bersifat Inklusif
Klaim kebenaran mutlak pada satu agama menjadi pemicu timbulnya sifat fanatisme agama bagi penganutnya. Hal ini yang kemudian membuat mereka menjadi ekslusif – merasa berbeda dengan orang lain karena menganggap berbeda keyakinan. Mereka memisahkan diri dari masyarakat luas dan hanya menjalin hubungan sosial dengan orang-orang yang seagama. Akibatnya mereka nyaris tidak menyadari akan kemajemukan orang-orang disekelilingnya. Kalau sifat eksklusif ini menyebar keseluruh penganut agama, maka kehidupan masyarakat akat terfragmentasi menjadi sub-sub masyarakat yang mewakili agama atau kepercayaan. Tidak ada kontak sosial yang dapat menghubungkan antar pemeluk agama tersebut sehingga toleransi umat beragama menjadi hal yang tidak mungkin, bahkan sangat sensitif akan gesekan-gesekan.
Sifat eksklusif atas dasar agama ini harus dinegasikan yakni dengan sifat inklusif. Artinya, para pemeluk agama harus mencoba untuk masuk dan berbaur dengan pemeluk agama yang lain dalam konteks hubungan sosial (sisi publik). Berangkat dari hubungan ini, diharapkan antar pemeluk agama mampu mengurangi perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sebuah persamaan sebagai warga negara Indonesia. Apabila kontak sosial terus berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka kemungkinan besar konflik dapat diredam. Karena mereka mulai sadar akan keadaan masyarakat yang multikultural – multiagama.
Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Ashutosh Varshney (2002) bahwa dalam suatu masyarakat cenderung membentuk dua pola ikatan komunal (sosial). Yaitu ‘Ikatan Intra-komunal’ dan ‘Ikatan Inter-komunal’. Dalam masyarakat yang membangun pola ikatan inra-komunal, hubungan-hubungan sosial hanya dilakukan oleh sekelompok atau komuntas yang sama. Mereka menjalani kehidupan sehari-hari secara intensif satu sama lain karena merasa berasal dari komunitas yang sama. Mereka terpisah dan menutup diri dengan komunitas yang lain. Ikatan intra-komunal ini cenderung berpotensi menimbulkan kekerasan komunal manakala terjadi guncangan dari luar, ketegangan, atau rumor antar komunitas.
Sedangkan ikatan inter-komunal yaitu pola hubungan sosial yang terdiri dari beragam komunitas – komunitas yang berbeda. Mereka hidup  berdampingan, saling mengunjungi, toleransi dan berbaur. Ikatan inter-komunal ini yang akan menciptakan kedamaian komunal. Karena mereka berusaha melepaskan diri dari segala perbedaan-perbedaan meski terjadi guncangan dari luar, ketegangan, atau rumor antar komunitas.
Jika mengikut dari yang dikemukakan oleh Varsney diatas dapat dikatakan bahwa sikap eksklusif bisa ditemukan dalam masyarakat yang membentuk pola ikatan intra-komunal. Sebaliknya, sikap inklusif dapat ditemukan pada masyarakat yang membentuk pola ikatan inter-komunal. Dari sini nampak bahwa masyarakat yang melakukan hubungan sosial dalam kehidupan sehari-hari hanya dengan orang-orang yang berasal dari agama atau kepercayaan yang sama maka cenderung menimbulkan konflik dengan pemeluk agama atau kepercayaan yang lain. Sedangkan masyarakat yang mampu melakukan hubungan sosial dengan pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda-beda cenderung menimbulkan kedamian antar pemeluk agama tersebut. Sehingga jelaslah bahwa sesungguhnya agama bukanlah sumber pemicu konflik dan kerusuhan, justru agama yang mendorong terciptanya kedamian dalam masyarakat.    

Pendidikan Agama dalam Perspektif Multikultural
            Supaya nilai-nilai yang terkandung dalam agama dapat terinternalisasi dengan matang dan penganut agama mengedepankan sikap inklusif, maka yang perlu dipertimbangkan adalah menganai sejauh mana pendidikan agama mewujudkan kedua hal diatas. Pendidikan agama menjadi penting artinya sebagai titik awal bagi seseorang mendapatkan pemahaman dan transfer nilai-nilai agama yang terkandung didalamnya untuk kemudian mengamalkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional ( UU Sisdiknas) tahun 2003 pasal 30 ayat 2 yang mengatakan bahwa ‘pendidikan agama bertujuan mempersiapkan perserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli agama’. Pendidikan agama diharapkan mampu membentuk karakter seseorang yang mencerminkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur.
Pendidikan agama secara langsung maupun tidak, ikut bertanggung jawab dalam menghadapi realitas masyarakat sekarang ini. Realitanya konflik-konflik horizontal yang terjadi dalam masayarakat sering muncul. Hal ini menunjukkan bahwa secara kolektif bangsa ini tidak mau belajar tentang bagaimana hidup secara bersama dan rukun. Bahkan dapat dikatakan agen-agen sosialisasi utama seperti keluarga dan lembaga pendidikan, tampaknya tidak berhasil menanamkan sikap toleransi-inklusif dan tidak mampu mengajarkan untuk hidup bersama dalam masyarakat yang majemuk atau plural (Abdul Wahid, 2009). Oleh karena itu, pendidikan agama dalam perspektif multikultural menjadi sebuah kewajiban bagi agen-agen sosialisasi dengan tujuan mecetak generasi bangsa yang mampu menghargai keanekaragaman. Utamanya lembaga pendidikan (sekolah)
Menurut Bennet (Abdul Wahid,2009) pendidikan multikultural adalah sebuah pendekatan pada pengajaran dan pembelajaran yang didasarkan atas nilai dan kepercayaan demokratis dan melihat keragaman sosial dan interpendensi dunia sebagai bagian dari pluralitas budaya. Multikultural dan pendidikan merupakan rangkaian kata yang berisikan essensi dan konsekuensi yang tidak dapat dipisahkan. Di satu sisi, dalam multikulturalisme terdapat materi kajian yang menjadi dasar pijakan pelaksanaan pendidikan. Di sisi lain, dalam pendidikan terdapat fondasi dan akar-akar kultur yang disarikan dari nilai-nilai kultur masyarakat.
Tilaar (Abdul Wahid,2009) mengemukakan tiga prinsip pendidikan multikultural. Pertama, pendidikan multikultural yang didasarkan pada pedagogik kesetaraan manusia (equity pedagogy)Kedua,pendidikan multikultural ditunjukkan kepada terwujudnya manusia Indonesia yang cerdas dan mengembangkan pribadi-pribadi Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dengan sebaik-baiknya. Ketiga,prinsip globalisasi tidak perlu diikutu apabila bangsa ini mengetahui arah serta nilai-nilai baik dan buruk yang dibawanya. Ketiga prinsip yang dikemukakan oleh Tilaar tersebut dapat menggambarkan bahwa arah dari wawasan multikultural-isme adalah untuk menciptakan manusia yang terbuka terhadap segala macam perkembangan zaman dan keanekaragaman aspek dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan multikultural ini menjadi sangat urgen ditengah masyarakat yang heterogen. Keberagaman budaya di Indonesia merupakan kenyataan historis dan sosial yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Pergumulan antar budaya memberika peluang konflik manakala tidak terjadi saling memahami dan menghormati satu sama lain. Proses untuk meminimalisir konflik inilah yang memerlukan upaya pendidikan yang berwawasan multikultural dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang heterogen agar saling memahami dan menghormati serta membentuk karakter yang terubuka terhadap perbedaan (Abdul Wahid, 2009). Dengan kata lain, pendidikan agama yang memperhatikan pluralisme atau multikulturalisme sangat diperlukan untuk menciptakan dan memlihara kerukunan dalam kehidupan beragama.

Dukungan berbagai Pihak
            Upaya-upaya untuk meminimalisir konflik serta menjadikan agama yang toleran dan cita damai tidak akan berjalan sempurna tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Dukungan dari berbagai pihak ini sangat diperlukan sebagai agen sosialisasi yang menjadi penyalur nilai-nilai keagamaan dalam rangka membentuk karakter bangsa yang mampu menghargai keberagaman dan hidup rukun ditengah perbedaan-perbedaan agama. Dukungan ini tidak lain berasal dari empat istitusi, yaitu: institusi keluraga, lembaga pendidikan (sekolah), pemerintah dan Media massa.
            Pertama, Institusi keluarga.  Institusi keluarga menjadi sangat penting karena sebagai tempat awal bagi seseorang dalam melakukan interaksi dan kontak sosial. Artinya, peran orang tua selaku pelaku utama dalam kelurga sangat diperlukan untuk menumbuhkan karakter seorang anak yang jujur, disiplin, serta berbudi pekerti luhur. Pendidikan yang diberikan orang tua kepada anaknya juga harus memperhatikan wawasan multikultural agar kelak sang anak sadar bahwa ia hidup ditengah masyarakat yang beraneka ragam. Misalnya orang tua mulai mengenalkan agama-agama atau kepercayaan yang ada di Indonesia sebagai sebuah kenyataan yag harus diakui, sehingga anak diharapkan mampu menanamkan sifat-sifat yang toleran dan menghargai perbedaan.
            Kedua, Lembaga pendidikan. Sekolah menjadi agen sosialisasi yang penting untuk mematangkan karakter anak setelah mendapatkan sosialisasi pertama dari keluarga. Setiap sekolah dipastikan memiliki mata pelajaran agama atau biasa disebut dengan pendidikan agama. Pendidikan agama dalam jenjang pendidikan formal di Indonesia diistilahkan dengan Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Katholik, PA Protestan, PA Hindu dan PA Buddha. Mata pelajaran ini harus dijadikan peluang untuk menumbuhkan semangat pluralism.
            Namun menurut Noer (Abdul Wahid,2009)  pendidikan agama di sekolah dinilai gagal dalam menumbuhkan semangat pluralisme tersebut. Hal ini disebabkan oleh empat faktor. Pertama,penekanannya pada transfer ilmu agama ketimbang pada proses transfromasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik. Kedua,sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih sekadar sebagai pelengkap kurikulum belaka. Ketiga,kurangnya penekanan pada penanaman nilai-nilai moral yang mendukung kerukunan antar agama, seperti cinta, kasih saying, persahabatan, suka menolong, damai dan toleransi. Keempat,kurangnya perhatian untuk mempelajari agama lain.
            Apabila yang dikemukakan oleh Noer diatas benar, maka akan sulit bagi seorang anak untuk berwawasan multikultural. Bahayanya anak didik akan bersifat eksklusif dan berujung pada tindakan fanatisme agama. Lembaga pendidikan melalui pendidikan agama seharusnya bisa membentuk anak didik yang mempunyai wawasan multikulturalisme, pluralisme, inklusivisme. Toleransi, dan nonsectarian sebagai motto dari semangat Bhinneka Tunggal Ika.
            Ketiga, institusi pemerintah. Pemerintah mempunyai tanggung jawab menciptakan masyarakat damai dan sejahtera. Tugas dan kewajiban yang diemban oleh pemerintah haruslah mengedepankan prinsip keadilan dan persamaan. Artinya, pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan haruslah netral terhadap semua masyarakat yang notabene-nya beragam. Sikap dan tindakan pemerintah yang berat sebelah terlebih dalam urusan agama, akan memicu pergolakan dalam masyarakat. Misalnya dalam hal izin pendirian rumah ibadah, perayaan hari-hari besar kegamaan, harus dipikirkan secara matang agar tidak menciptakan gesekan-gesekan antar masyarakat yang berbeda agama. Integritas, netralitas, dan rasionalitas dari pemerintah menjadi penting ketika pemerintah yang berada dalam suatu daerah dengan mayoritas pemeluk agama tertentu.  
            Di samping itu, pemerintah juga harus mensosialisasikan pentingnya toleransi umat beragama ditengah masyarakat, biak melalui seminar, lokakarya, himbauan di media dan lainnya. Pemerintah juga harus bisa menciptakan wadah-wadah secara luas agar terjalinnya interaksi dan komunikasi antar pemeluk agama. Misalnya pemerintah mengadakan acara-acara yang didalamnya melibatkan berbagai agama supaya timbulnya rasa kerja sama dan saling memahami satu sama lain.
            Keempat, media massa. Media menjadi salah satu alat untuk mendapatkan informasi seputar peristiwa yang tengah berkembang dalam masyarakat. Informasi yang diwartakan oleh media secara langsung maupun tidak dapat mempengaruhi opini publik. Ini yang kemudian dikenal dengan istilah agenda setting. Oleh karena itu, dalam konteks masyarakat multi-agama, media diharapkan mampu menjadi agen yang bisa menciptakan kerukunan umat beragama. Mulai dengan menayangkan siaran yang sarat dengan nilai-nilai toleransi dan perdamaian hingga menjauhi siaran berita yang menyudutkan salah satu agama karena bisa memecah belah persatuan umat beragama. Manakala terajadi konflik mengenai isu agama, berita yang dimuat oleh media harus objektif sesuai dengan fakta yang ada. Konten berita tidak boleh bersifat provokatif karena akan membuat konflik semakin memanas. Media dengan kemampuannya melakukan agenda setting harus berupaya memberikan penyadaran kepada publik bahwa mereka hidup ditengah keadaan masyarakat yang multikultural-multi-agama sehingga diperlukan sifat saling toleransi agar kerukunan umat beragama tetap terjaga.
           
Kesimpulan

Konflik dan kekerasan atas nama agama bisa terjadi karena adanya pemahaman yang keliru mengenai agama itu sendiri. Klaim kebenaran mutlak yang ada pada setiap agama berpotensi menimbulkan sikap fanatisme penganut agama. Di samping itu, sikap penganut agama yang eksklusif dan tidak memiliki pendidikan agama yang berwawasan multikutural juga menjadi salah satu penyebab mengapa konflik dan kekerasan atas nama agama sering terjadi. Kerukunan umat beragama yang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan cinta damai dalam semangat persatuan pun menjadi luntur. Citra agama seketika menjadi buruk yang selalu diidentikkan dengan kekerasan.
Padahal idealnya, justru agamalah yang mampu menciptakan toleransi dan cinta damai ditengah masyarakat, karena sejatinya nilai-nilai universal yang terkandung dalam setiap agama itu sama. Yakni, mengajarkan toleransi, saling berbagi, saling menghormati dan tolong menolong antar umat. Oleh karena itu, supaya agama menjadi alat untuk menciptakan toleransi dan cinta damai, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Yaitu internalisasi nilai-nilai agama harus benar-benar melekat dalam kehidupan bermasyarakat; Mengedepankan sikap inklusif yang tidak menutup mata dengan perbedaan yang ada; Diperlukannya pendidikan agama yang mengajarkan pada konteks multikulturalisme serta dukungan dari berbagai pihak mulai dari institusi keluarga, sekolah, pemerintah dan media massa yang secara keseluruhan mempunyai berkomitmen bersama pada pembentukan masyarakat yang toleran dan cinta damai.

Daftar Pustaka
Asshiddiqie,Jimly.2014. Toleransi dan Intoleransi Beragama di Indonesia Pasca Reformasi. Jurnal
Akhyar,Zainul.2015. Implementasi Toleransi Antar Umat Beragama di Desa Kolam Kanan Kecamatan Barambai Kabupaten Barito Kuala. Jurnal
Azis,Abdul. 2009. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme. Jakarta: Balai Litbang Agama
Kimbal,Charles.2003. Kala Agama Jadi Bencana. Jakarta: Mizan Publika
SH Siagian.1993. Agama-Agama di Indonesia. Semarang: Satya Wacana.
Varshney, Ashutosh. 2002. Konflik Etnis dan Peran Masyarakat Sipil. Jakarta: Balai Litbang Agama
Vidiani,Rini.2013. Kerukunan Umat Beragama di Indonesia (Belajar Keharomonisan dan Toleransi Umat Beragama Di Desa Cikakak, Kec. Wangon, Kab. Banyumas).Jurnal

Wahid,Abdul.2009. Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama Islam, dalam A. Azis Albone. Pendidikan Agama Islam dalam Perspektif Multikulturalisme (hh 137-150). Jakarta: Balai Litbang Agama
Jombang.nu.id/urgensi-nasonalisme-dan-teologi-toleransi-untuk-mewujudkan-kerukunan-umat-beragama/
   
   





[1] Perda Kota Serang nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat.
[2] Meskipun saat ini negara hanya merekognisi enam agama saja, yaitu Islam, Hindhu, Budha, Kristen, Katolik, dan Kong Hu Chu