Perencanaan Pembangunan Kota Serang

Menelisik Perencanaan Pembangunan di Kota Serang.
Studi Kasus: Pembangunan Pelabaran Jalan di Kota Serang

          Terhitung sejak memekarkan diri menjadi daerah otonom dari Jawa Barat pada tahun 2000, Kota Serang terus berbenah demi perubahan ke arah yang lebih baik. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk menjadi daerah yang mandiri sehingga mampu menciptakan masyarakat yang sejahtera. Salah satu indikator dari kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari bagaiamana pengaplikasian pembangunan di daerah tersebut. Karena itu, perencanaan pembangunan yang matang dan demokratis sangat diperlukan. 
Namun seiring perkembangannya, pembangunan di Kota Serang tidak melulu berjalan mulus. Terdapat beragam permasalahan yang kerap kali menyertai dalam proses perencanaan pembangunan. Seperti pembangunan yang tidak tepat sasaran, mengabaikan kepentingan masyarakat dan lainnya. Tulisan ini akan membahas bagaimana pengaplikasian perencanaan pembangunan di Kota Serang dengan mengambil studi kasus pembangunan pelebaran jalan di Kota Serang.

Pembangunan Pelebaran Jalan
            Dijadikannya Kota Serang sebagai ibukota Provinsi secara langsung atau tidak telah membentuk karakteristik Kota Serang sebagai daerah yang sibuk dengan mobilisasi masyarakat yang sangat cepat. Masyarakat mulai tertarik untuk bermigrasi ke Kota Serang seiring dengan menjamurnya pembangunan gedung, Super mall, dan lapangan perkerjaan. Konsekuensinya, jalanan di Kota Serang dibanjiri oleh kendaran-kendaraan yang hilir mudik setiap saatnya. Tidak ayal kondisi ini kerap kali menimbulkan kemacetan hingga ratusan meter dengan waktu yang cukup lama pula. Terlebih pada jam-jam masuk kerja atau pulang kerja, kemacetan di jalan-jalan utama sangat sukar dihindari. Seperti di jalan Ciracas, Cipocok Jaya dan Ciceri.
            Untuk mengantisipasi kemacetan di jalan raya, Pemerintah Kota (Pemkot) Serang melakukan rencana pembangunan dengan melakukan pelebaran jalan. Berbagai jalan utama yang berpotensi menimbulkan kemacetan menjadi target pembangunan. Akibat dari pembangunan ini, Pemkot harus merogoh uang yang cukup banyak, sebab pelebaran pada bahu jalan telah memangkas sedikit banyaknya lahan milik masyarakat dan pengusaha. Artinya Pemkot harus melakukan negosiasi intensif dengan pemilik lahan untuk pembebasan lahan. Pembebasan lahan menjadi masalah tersediri bagi Pemkot, karena selain harus menyediakan banyak anggaran untuk membeli lahan milik masyarakat yang terkena gusuran, Pemkot juga harus memikirkan bagaimana dengan kondisi fasilitas publik yang juga turut terkena gusuran. Seperti bangunan sekolah dan masjid, tentu Pemkot harus memikirkan pengganti bangunan yang baru agar fasilitas publik tidak terganggu. Lagi-lagi upaya ini juga membutuhkan dana besar serta perecanaan yang matang.

Salah Kaprah
            Pelebaran jalan mungkin bisa menjadi salah satu solusi masalah kemacetan. Tetapi sejauh ini, di Kota Serang sendiri, tidak ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan pelebaran jalan. Apalagi jalan yang diperluas ini, paling berkisar antara 1-2 meter dibahu jalan. Kondisi jalanan tetap sesak oleh kendaraan. Jalan-jalan utama yang telah mengalami pelebaran jalan seperti jalan Kebon Jahe, Warung Pojong, Ciracas dan Cipocok Jaya masih sering terjadi kemaceten terlebih pada waktu pagi dan sore saat jam-jam masuk dan pulang kantor.
            Bahkan temuan dibeberapa ruas jalan, bahu jalan yang sudah dilebarkan kerap kali dijadikan tempat parkir liar oleh sejumlah kendaraan. Belum lagi para pedagang yang juga memanfaatkan bahu jalan untuk berjualan. Sehingga ruas jalan yang seharusnya berfungsi mengurai kemacetan menjadi sia-sia. Pengawasan pemerintah sangat minim, malah Dishub dan polisi terlihat lebih sibuk mengatur kendaraan hanya di lampu merah, sedangkan bagi kendaraan yang parkir liar dan pedagang yang berjualan sembarangan nyaris luput dari pengawasan pihak Pemkot.
              Perencanaan pembangunan guna menyelesaikan masalah kemacetan dianggap kurang matang dan komprehensif. Ada satu hal yang mungkin luput dari Pemkot. Pemkot hanya melakukan pelebaran jalan, tetapi abai dengan kondisi transportasi publik di Kota Serang. Transportasi publik tidak manjadi bagian dari upaya mengatasi kemacetan, padahal taransportasi publik yang ada saat ini masih buruk. Di Serang transportasi publik masih didominasi oleh angkutan kota (Angkot), itu pun rute perjalanan angkot tidak jelas. Meskipun Pemkot sudah mengatur rute perjalanan angkot tetapi tetap saja, dilapangan para supir lebih berorientasi pada penumpang. Artinya ketika penumpang lebih banyak ke arah A maka supir akan ke arah A meski bukan temasuk rutenya. Bahkan tidak jarang beberapa penumpang diturunkan ditengah jalan karena mengejar penumpang lain yang lebih menguntungkan. Tentu hal ini membuat penumpang resah karena tidak adanya kepastian rute perjalanan yang jelas. Pada akhirnya, masyarakat lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Angkot pun kerap kali berhenti disembarang tempat dengan mengabaikan jalan yang berpotensi menimbulkan kemacetan. 
            Padahal jika transportasi publik di Serang diperbaiki kemungkinan besar dapat menjadi salah sat solusi untuk mengatasi kemacetan. Sebagaimana dikatakan oleh Ketua Ikatan Arsitektur Inonesia (IAI) Provinsi Banten, Mukoddas Syuhada bahwa untuk keluar dari masalah kemacetan yang saat ini mengepung Kota Serang, Pemkot tidak memperbanyak pelebaran jalan, melainkan transprotasi publik. Menurut Mukoddas, di Kota Serang sangat cocok bila dibanguna kereta api mono rel yang lataknya melayang. Jalan-jalan untuk kendaraan juga harus diatas. Seperti konsep flying city (kota melayang). Sementara dibawah untuk pejalan kaki, sehingga anggaran untuk membangunan dan membebaskan lahan bisa ditekan[1].
            Selain itu pelebaran jalan di Kota Serang juga tidak ramah terhadap pejalan kaki dan disabilitas. Ruang jalan yang ada sepenuhnya digunakan untuk kendaraan sehingga sangat menyulitkan bagi pejalan kaki untuk menggunakan jalan. Tidak ada ruas jalan yang secara khusus diperuntukan untuk pejalan kaki terlebih disabilitas. Padahal semestinya, ruang publik dalam hal ini jalan umum dapat memberikan akses yang seluas-luasnya kepada seluruh masyarakat, bukan hanya mereka yang memiliki kendaraan saja. Sekalipun jika benar pembangunan pelebaran jalan dapat mengatasi masalah kemacetan, namun sesungguhnya pembangunan itu belum dapat mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan setara manakala pejalan kaki dan disabilitas masih diabaikan sebagai bagian dari masyarakat yang juga menggunakan jalan umum.
            Perencanaan pembangunan di Kota Serang dalam hal ini pembangunan pelebaran jalan dinilai belum tepat sasaran sesuai dengan kondisi dan masalah dasar masyarakat di Kota Serang. Perencanaan cenderung dilakukan sepihak oleh pihak Pemkot tanpa berupaya membangun partisipasi masyarakat secara luas dalam hal perencanaan pembangunan. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tawaran yang dikeluarkan oleh Mukkoddas bersama Kementrian PU, seperti penataan Kawasan Banten Lama, Pasar Royal, Jalan Jenderal Sudirman sampai Veteran, bahkan menyodorkan konsep flying city untuk Jalan Raya Pandeglang dan KP3B, tetapi belum ada tindak lanjut dari pihak Pemkot[2].
            Lebih jauh Gandung Ismanto[3] mengatakan perencanaan pembangunan di Kota Serang tidak dilakukan oleh orang dan atau lembaga yang profesional dan kompeten dibidangnya, karena seringkali hanya dilakukan oleh oknum aparatur terkait dengan memanfaatkan bendera lembaga dan atau perusahaan yang bergerak dibidang tersebut, biaya perencanaan yang besar seringkali tidak sebanding dengan kulaitas dokumen perencanaan yang dihasilkan serta tidak optimalnya fungsi monitoring dan evaluasi dan tidak berfungsinya hasil evaluasi sebagai bahan umpan balik (feed back) bagi proses perencanaan berikutnya.

Menggagas Solusi
            Perencanaan pembangunan yang baik haruslah melibatkan seluruh pihak mulai dari pemerintah itu sendiri, swasta dan masyarakat secara luas. Seluruh pihak itu harus dilibatkan dalam diskusi untuk mendapatkan benang merah terkait pemabangunan seperti apa yang mampu menjawab permasalahan yang berkembang dimasyarakat. Melibatkan seluruh pihak dalam proses perencanaan pembangunan juga akan membuat mereka menjadi subjek dari pembangunan, mereka akan ikut  berpartisipasi dan memiliki rasa bertanggung jawab terhadap pembangunan mulai dari perencanaan, pengaplikasian dan monitoring. Jika Pemkot egois dalam menentukan pembangunan, maka kemungkinan besar tidak dapat mengatasi masalah yang ada, hal ini seperti nampak dalam pembangunan pelebaran jalan yang tidak kunjung menyelesaikan masalah kemacetan, malah menimbulka maslah baru. Belakangan BPK menemukan kejanggalan (korupsi) dalam pembebasan lahan untuk pelebaran jalan di kecamatan Cipocok sekitar 1,650 Milyar.[4] Ketika perencanaan hanya didominasi oleh satu pihak (dalam hal ini Pemkot) maka cenderung terjadi penyalahgunaan. Atas dasar inilah perencanaan pembangunan yang bersifat partisipatif menjadi penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar