Demokrasi
dalam dunia modern saat ini dianggap sebagai salah satu sistem terbaik bagi
negara-negara dunia. Hal ini tidak lepas dari nilai-nilai demokrasi yang
mengatur mekanisme transisi kekuasaan dengan mengedepan konsensus dan
memberikan partisipasi kepada rakyat secara terbuka untuk melakukan kontrol
populer secara setara. Demokrasi pula, hak asasi kewarganergaraan menjadi
sebuah entitas yang sangat dijunjung tinggi baik secara individual maupun
komunal. Nilai dan semangat yang terkandung dalam demokrasi dianggap relevan
untuk menjawab tantangan di era modern sehingga mayoritas negara berduyun-duyun
mengklaim mengantut demokrasi. Meskipun demikian, demokrasi bukanlah konsep
yang given. Para ilmuan masa lalu banyak berdebat mengenai
konsep dan teoritisasi demokrasi yang bermuara pada perdebatan hal-hal apa yang
dapat mengkondisikan demokrasi, bagaimana suatu negara bisa dikatakan
demokrasi. Adalah Lipset dan Moore, dua orang tokoh terkenal bersejarah yang
berpengaruh dalam mendesian teoritisasi demokrasi. Tulisan ini mencoba
mendiskusikan lebih jauh konsep demokrasi menurut dua pemikir itu.
Transformasi Ekonomi dan Demokratisasi:
Teoritisasi Lipset
Seymour
Martin Lipset dalam karyanya berjudul “Political
Man: The Social Bases of Politics” membahas tentang bangunan demokrasi yang
ditopang oleh ekonomi. Argumen utama dalam karya Lipset adalah pertumbuhan
ekonomi sebagai syarat bagi demokrasi. Lipset sendiri mendefinisikan demokrasi
sebagai sebuah sistem politik yang memiliki pengaturan konstitusi tentang pergantian
para pejabat pemerintah, bersama-sama dengan pengaturan sosial yang
memperbolehkan sebagian besar penduduk untuk turun mempengaruhi
keputusan-keputusan penting dengan cara memilih oposisi untuk menduduki
jabatan-jabatan politik. Dengan kata lain, bagi Lipset demokrasi akan menemukan
kehancuran manakala: pertama, sistem
politik tidak memiliki nilai dan aturan yang mengatur tentang persiangan
memperebutkan kekuasaan secara damai. Karena itu, demokrasi menghendaki
konsensus dibandingkan konflik yang anarki. Kedua,
pemerintahan hasil dari perebutan kekuasaan tidak efektif akan membuat
demokrasi tidak stabil. Ketiga, jika
tidak ada oposisi yang efektif, maka pemegang otoritas akan cenderung
menyalah-gunakan kekuasaan sementara pengaruh rakyat semakin terpinggirkan.
Menurut
Lipset, demokrasi yang stabil membutuhkan pembangunan ekonomi dan legitimasi.
Pembangunan ekonomi mencerminkan seberapa besar institusi-institusi yang ada
diakui oleh masyarakat sementara legitimasi menggambarkan sebarapa besar
masyarakat menganggap institusi-insitusi ini benar dan memang harus ada dalam
masyarakat. Terkait dengan aspek ekonomi, Lipset dalam risetnya di banyak
negara sampai pada kesimpulan bahwa semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi
sebuah negara semakin besar peluang negara tersebut menciptakan demokrasi. Konsekuensinya,
dalam sebuah negara jika kelompok masyarakat miskin jumlahnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan kelompok masyakarat kaya yang sedikit jumlahnya, maka akan
menghasilkan sistem politik oligarki dan tirani yang menjalankankan kekuasaan
secara diktator dan otoriter.
Negara
dikatakan memiliki pertumbuhan ekonomi dilihat dari empat variabel beserta
ukurannya meliputi: petama, kemakmuran
dengan ukuran: 1). Pendapatan per kapita atau per orang; 2). Perbandingan
(banyaknya) orang per mobil dan 3). Banyaknya orang per dokter. Kedua, industrialisasi dengan ukuran:
1). Presentase penduduk pria yang bekerja di sektor pertanian dan 2). Pemakaian
energi yang diproduksi secara komersial di negara tersebut urbanisasi, dan
pendidikan. Ketiga, urbanisasi dengan ukuran: 1). presentase penduduk pada komunitas sedikitnya
20.000 ribu orang; 2). Presentase penduduk pada komunitas antara 100 ribu orang
atau lebih dan 3). Presentase penduduk di kawasan metropolitan atau kota besar.
Keempat, Pendidikan, bagi Lispset
semakin tinggi tingkat pendidikan sebuah negara semakin, semakin besar peluang
terhadap demokrasi. Kendati demikian, Lipset menemukan anonali yang terjadi di
Jerman dan Perancis dengan tingkat pendidikan yang baik di Eropa tetapi secara
empiris tidak menjadikan negara tersebut memiliki sistem demoktasi yang stabil.
Lipset beragumen bahwa tingkat pendidikan pada kedua negara tersebut tutut
menghalangi muncul atau tumbuhnya kekuatan-kekuatan anti demokrasi.
Menurut
Lipset, pembangunan ekonomi akan sangat menentukan pola perjuangan kelas di
sebuah negara. Negara-negara terkaya seperti Amerika Serikat dan Kanada,
partai-partai komunis hampir tidak ada sementara partai-partai sosialis tidak
mampu berkembang menjadi kekuatan besar. Hal ini tidak lepas bahwa partai
sosialis memperjuangkan isu pemerataan produksi dan keuntungan material yang
menyasar kelas bawah yang miskin. Hal ini menjadi tidak efektif karena negara
kaya menciptakan kelas menengah yang lebih besar dengan pendapatan yang tinggi
dan ditopang oleh tingkit pendidikan yang tinggi sehingga tidak tertarik dengan
perjuangan dan platform sosialis-komunis. Sementara negara terkaya di belahan
lainnya seperti New Zeland, Switzerland, Sweden, united Kongdom, Denmark,
Australia, Norwey, Belgium, Luxemburg, Netherland bersifat Sosialisme Moderat
artinya mengadopsi demokrasi kapitalis malu-malu.
Menurut
Lipset, kekayaan (pertumbuhan ekonomi) mempengaruhi kelas bawah dan kelas
tengah untuk mandiri dan merubah struktur stratifikasi sosial. Semakin miskin
negara semakin banyak praktik korup dan nepotisme yang kemudian menghambat
kinerja birokrasi dan pembangunan sebuah negara. Padahal efisiensi birokrasi
sebagai prasyarat demokrasi. Negara yang miskin pun tidak menciptakan
masyarakat yang terorganisir dan mandiri di luar kekuasaan negara. Ketiadaan
masyarakat (civil society) yang mandiri ini cenderung membuat negara bersifat
diktator dan otoriter. Karena itu, pembangunan ekonomi menjad prasyarat bagi
terciptanya fungsi-fungsi demokrasi. Pendapatan perkapita rendah dan
ketidakpuasan ekonomi (kemiskinan)
menjadi basis bagi kaum kiri. Lebih jauh Lipset berargumen bahwa pengingkatan
kemakmuran mengurangi jumlah kelas rendah dan menambah jumlah kelas menengah.
Sejumlah kelas menengah besar dapat memoderasi konflik dengan memberikan
dukungan kepada partai non ekstrim demokrasi serta meninggalkan
kelompok-kelompk ekstrim. Sebaliknya dalam negara-negara miskin memunculkan
banyak kelas rendah yang menekan kelas atas. Semakin miskin negara semakin kuat
kecondongan korupsi, birokrasi tidak efisien. Lipset berakhir pada kesimpulan
bahwa kapitalisme menciptakan borjuasi atau kelas menengah yang kehadirannya
akan mendorong dan sekaligus menjadi kondisi yang dibutuhkan bagi demokrasi.
Lipset
memperluas teoritisasi demokrasi bahwa stabilitas demokrasi tidak hanya
bergantung pada pertumbuhan ekonomi tetapi efektivitas pemerintahan dan
legitimasi sistem politik. Efektivitas pemerintahan mengharuskan hadirnya fungsi-fungsi
dan kinerja pemerintahan yang memuaskan masyarakat sementara legitmasi harus
mencerminkan adanya kepercayaan masyarakat bahwa institusi politik yang ada
paling cocok bagi masyakat. Dengan kata lain, efektivitas dan legitimasi
merupakan variabel lain yang dapat mengkondisikan demokrasi selain pertumbuhan
ekonomi. Untuk mempermudah pemahaman, Lipset membuat tabel sebagai berikut:
Menurut
Lipset legitimasi dan efektivitas yangg tinggi (A) memiliki sistem politik yang
stabil contohnya Amerika, Inggris dan Swedia. Legitimasi rendah sedangkan
efektivitas tinggi (C) dapat terlihat di Jerman dan Austria. Sedangkan yang
paling buruk adalah legitimasi dan efektivitas sama-sama rendah yang rawan
memunculkan kediktatoran, seperti yang terjadi di jerman Timur dan Hongaria. Pemerintah
yang sangat efektif tetapi tidak legitimate
lebih tidak stabil dibandingkan legitimasi rendah tetapi tingkat
efektifitas tinggi. Bagi Lipset, legitimasi dan efektivitas pemerintah akan
berpengaruh terhadap ada atau absennya konflik pada sebuh negara. Konflik
biasanya muncul di negara miskin dengan disparitas ekonomi yang sangat tinggi
serta tidak terpenuhinya hak-hak kewarganegaraan secara penuh. Disparitas
ekonomi yang mengasilkan jumlah kaum buruh lebih banyak dalam sebuah kelompok
masyarakat menjadi lahan yang subur bagi tumbuh berkembangnya partai sosialis dan komunis.
Menurut
Lipset, situasi kelas sosial bawah khususnya di negara-negara miskin dengan
tingkat pendidikan yang rendah mempengaruhi cara pandang mereka tentang politik
yang sempit dan menyukai gerakan-gerakan ekstrimis yang menawarkan pemecahan
problem sosial secara mduah dan cepatdan memiliki sudut pandangan yang kaku.
Kelas bawah kurang berkomitmen dengan demokrasi sebagai sistem politik. Kelas
bawah di negara yang di tidak menyukai sistem multi-partai. Di Jepang misalnya
buruh dan penduduk pedesaan lebih otoriter dan kurang peduli dengan kebebasan
sipil dibandingkan dengan kelas menengah dan atas. Di Amerika, kelas bawah
adalah kelompok yang kurang toleran. Temuan survei 13 negara, kelas bawah kurang
komitmen terhadap demokrasi. Faktor-faktor yang menyebabkan kelas bawah
bersifat otoriter karena pendidikan yang rendah, partisipasi politik dan
organisasi sukarela rendah, posisi terisolasi dalam pekerjaan, tingkat ekonomi
rendah, terdapat pola-pola otoriter dalam keluarga. Pada akhirnya Lipset
menarik kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi menjadi basis penting dalam
demokrasi. Ekonomi suatu negara akan berpengaruh terhadap legitimasi dan
efektivitas pemerintahan dan berpengruh terhadap pola konflik dan perjuangan
kelas di suatu negara.
Formasi Kelas dan Demokratisasi: Telaah Teori
Moore
Jika Lipset menekankan pentingnya
pertumbuhan ekonomi sebagai prasyarat demokrasi, maka berbeda dengan Barrington
Moore yang menekankan pada pentingnya formasi kelas sebagai basis sosial dalam
demokrasi. Dalam bukunya berjudul “Social
Origins of Dictatorship and Democracy: Lord and Peasant in the Making of the
Modern World”, Moore menegaskan bahwa demokrasi bergantung sejarah negara
tersebut. Merunut sejarah menjadi penting untuk memahami bagaimana pergeseran
kekuasaan dan perubahan dalam masyarat dan melihat faktor apa saja yang
mengkondisikan terjadap jalur demokrasi. Moore melakukan kajian di enam negara
(Inggris, Perancis, Amerika Serikat, Rusia, Cina, dan Jepang) untuk menganalisa
faktor apa yang dapat menghasilkan demokrasi, apakah kapitalisme, fasisme atau
komunisme. Moore berpendapat bahwa terdapat tiga rute sejarah dari transisi
masyarakat agraris ke industri modern. Rute pertama mencerminkan demokrasi
kapitalis dapat ditemukan di Inggris, Amerika Serikat dan Francis. Hal ini terjadi
karena hadirnya kekuatan kaum borjuis yang dominan dalam melakukan revolusi
untuk menciptakan tatanan politik yang
demokratis. Sementara kaum petani
posisinya lemah dan hanya dianggap sebagai faktor pendukung saja.
Rute
kedua menghasilkan kapitalisme rekasioner yang berujung pada fasisme terjadi di
Jepang. Hal ini terjadi karena keberadaan kaum borjuis lemah dalam merespon
penetrasi industrialisasi. Lemahnya kekuatan kaum borjuis diisi oleh keberadaan
kaum petani yang kuat dalam menekan kepentingan mereka. Keberadaan kaum petani
yang kuat ini dianggap menjadi ancaman bagi kaum borjuis dan aristokrat. Kedua
kelompok ini akhirnya berkoalisi untuk menentang dominasi kaum petani dan kelas
sosial lainnya yang semakin otonom dan independen. Akibatnya, kamum borjuasi
dan aristokrasi berkoalisi untuk menentang kekuatan masyarakat petani dengan
menciptakan sistem negara yang otoriter. Apa yang membawa fasisme totaliter ke
negara-negara ini adalah keengganan mereka untuk melakukan perubahan struktural
dalam menghadapi krisis politik atau ekonomi, yang memungkinkan para pemimpin
reaksioner untuk menyesuaikan aparatus negara untuk diri mereka sendiri dan
membawa revolusi fasis dari atas. Sehingga sistem pemerintahan menjadi fasis
dan diktator.
Terkahir,
rute ketiga menghasilkan komunisme yang ditemui di Cina dan Russia. Menurut
Moore, pada negara tersebut kekuatan kaum borjuis lemah untuk menciptakan
industrialisasi pertanian. Padahal di saat yang bersamaan, di negara tersebut
memiliki sejumlah besar kelas tenaga kerja di bidang pertanian sehingga
menciptakan kekuatan kaum petani yang beraliansi untuk melakukan perlawanan.
Adanya pertentangan kelas antar kamu borjuis yang lemah dan kaum petani yang
kuat dan otonom dalam perjuangan revolusi, menurut Moore telah membuka jalan
menuju masyarakat komunis. Pertentangan
kelas ini dimenangkan oleh kekuatan petani yang kemudian mebuka jalan bagi kaum
petani untuk menguasai negara dan aparatus pemerintahan dengan semangat
menghilangkan stratfikiasi sosial menju masyarakat tanpa kelas (strong agrarian bureaucratic state).
Petani yang menginiasi revolusi dari bawah ini menghasilkan tatanan politik Communist dictatorship.
Barrington
Moore juga memberikan analisa diluar tiga transisi masyarakat agraris ke
industri sebagaimana yang telah disinggung diatas, yaitu terdapat karakter yang
khas di Asia dalam transformasi kelas dan proses perubahan sosial. More
mengambil kasus India, bahwa di negara tersebut mengalami hambatan demokrasi
karena terbentur oleh faktor budaya dan agama. Misalnya ajaran agama hindu
menciptakan sistem kasta yang kemudian menciptakan praktik patronase atas dasar
pertukaran materian dan loyalitas. Dimana hubungan antar kelas dalam kasra
mengedepankan aspek kedekatan secara emosional. Sistem Hindu mengharuskan para
petani menyetorkan sebagian dari hasil panen mereka kepada raja dalam
batas-batas yang ditentukan oleh adat dan hukum. Sistem kasta mengharuskan
adanya kepatuhan dan tunduk terhadap sistem kasta yang ada tanpa dengan harapan
kepatuhan tersebut dapat menaikan skala sosial di kemudian hari. Tidak ada
dalam masyarakat, sistem kasta juga berkerja di parlemen, dimana dewan hanya
berkerja secara politik sesuai dengan kasta mereka masing-masing. Anggota dewan
dari kasta yang lebih rendah melakukan rasa hormat kepada anggota dewan dengan
kasta yang lebih tinggi. Terdapat reward dan
punishment dari ralasi patronase
antar kelas ini. Rumitnya, oposisi terhadap sistem yang hirarkis ini pun jarang
sekali muncul di India. Budaya kepatuhan terhadap norma yang telah ditetapkan
oleh kasta atas telah membatasi masyarakat untuk melakukan oposis politik.
Menyoal Demokratisasi: Sebuah Refleksi
Pembahasan sebelumnya telah diurai tentang
hal-hal yang dapat mengkondisikan demokrasi dengan mengambil bagunan teori dari
Lipset dan Moore. Kedua pemikir ini sesungguhnya mengambil sudut pandang yang
sama dengan menempatkan ekomoni sebagai basis bagi demokrasi, namun tentu
diramu dengan cara yang berbeda. Jika Lipset lebih banyak berbicara tentang
pertumbuhan ekonomi sebagai syarat demokrasi. Negara yang miskin hanya akan
memunculkan banyak konflik kelas karena terdapat pemerintahan yang tidak
efektif dan legitimate serta
ketidakpuasan kelas bawah atas kaum borjuasi akbiat ekonomi yang tidak merata.
Berbanding terbalik dengan negara kaya yang lebih menghasilkan sistem politik
yang stabil dengan mengedepankan konsensus. Berbeda dengan Moore yang lebih
menekankan pada aspek sejarah terkait pergeseran kekuasan dan perbuahan sosial
di sebuah negara. Moore mengkerangkai basis ekonomi dengan kacamata perjuangan
kelas antara kelas atas (aristokrat, tuan tanah), tengah (borjuis), dan bawah
(buruh, petani) untuk melakukan transisi dari masyarat agraris ke industri yang
kemudian berakhir pada 3 rute (kapitalis, fasis, dan komunis). Dalam konteks
hari ini, era modernisasi yang mendewakan material dan teknologi sebagai
indikator bagi pertumbuhan dan kemakmuran suatu negara telah begeser menuju
post modern yang beranggapan bahwa teknologi dan materi merusak lingkungan.
Muculnya gerakan lingkungan (go green)
akhir-akhirnya merupkan sebuah fenonema menarik untuk ditelaah lebih lanjut. Di
Belanda misalnya penggunaan mobil mulai menurun digantikan dengan sepeda karena
dianggap lebih pro lingkungan tetapi negara tersebut adalah kaya dan makmur.
Berbeda dengan Indonesia, banyak sekali penggunaan mobil dibandingkan sepeda.
Begitu pula, bidang pertanian sudah banyak beralih lahan menjadi industri dan
perumahan, tetapi negaranya jauh dari kata sejahtera. Muncul pertanyaan apakah
kemudian transfromasi ekonomi sebagai basis demokratisasi sebagaimana yang telah di konseptualisasikan
oleh Lipset dan Moore juga mengalami pergeseran.
Rujukan
Lipset, S Martin (1960). Political Man: The Social Bases of
Politics. Doubleday & Company, Inc., Garden City, New York.
Moore, Barington. (1974). Social Origins of
Dictatorship and Democracy: Lord and Peasent in the Making of the Modern Word.
Middlesex & Victoria: Penguin University Books.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar