Refleksi Marketing Politik dalam Politik Lokal di Indonesia

Tumbangnya rezim otortarian Soeharto, telah membawa Indonesia menuju tatanan politik yang lebih demokratis. Dibukanya keran kebebasan telah menandai masuknya era reformasi. Partai politik seolah mendapat angin segar untuk bangun dari tidur panjangnya setelah 32 tahun dipaksa tidur oleh negara. Kembali menjamurnya partai politik sama seperti pada masa awal kemerdekaan telah membawa Indonesia menuju babak penting dalam konstelasi politik dimana saat ini aktor-aktor kekuatan politik nyaris seimbang karena tidak lagi tersentralisasi di tangan negara. Kehadiran partai menjadi salah satu aktor kekuatan politik yang patut diperhitungkan, mengingat terdapat aturan formal yang mengindikasikan bahwa penempatan kursi legislatif dan eksekutif berangkat dari sebuah kandidasi dalam partai politik.
Di lain pihak, reformasi membawa konsekuensi pada hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Diterapkannya sistem desentralisasi menjadi penanda bahwa kekuasaan telah terdistribusi secara merata ke tingkat lokal sehingga tidak lagi menjadi domain negara. Desentralisasi menjadi salah satu instrumen bagi terciptanya arus gelombang demokratisasi di aras lokal yang sejalan dengan meningkatnya partisipasi politik masyarakat lokal. Karena itu dinamika dalam perpolitikan lokal menjadi perhatian yang menarik pasca reformasi.
Perpolitikan lokal telah menjadi arena kontestasi bagi elit politik dalam memperebutkan kekuasaan baik di ranah eksekutif maupun legislatif di tingkat lokal. Pilkada menjadi gerbang utama yang membuka kontestasi politik tersebut karena didalamnya terdapat kompetisi elektoral antar elit. Karenanya, partai politik, calon kandidat dan unsur society menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dalam praktik perpolitikan lokal karena mereka menjadi bagian penting sebagai aktor dalam Pilkada.
Dalam sistem kompetisi elektoral yang demokratis, memberikan keleluasaan bagi partai politik dan kandidiat untuk menggunakan strategi politik secara bebas dalam memenangkan Pilkada tanpa harus takut dibayang-bayangi adanya paksaan dari pihak manapun. Artinya kompetisi bersifat terbuka, bebas dan fair. Hal ini pula telah memaksa partai politik dan kandidat sebagai peserta pemilu untuk memikirkan strategi yang handal sehingga mampu menarik simpati pemilih dan sukses dalam Pilkada. Tidak heran jika kemudian marketing politic menjadi instrumen yang penting dalam membantu partai atau kandidat untuk bisa berhasil dalam kontestasi elektoral tersebut. Di satu sisi marketing politic merupakan konsekuensi diterapkanya sistem demokrasi. Singkatnya, praktik marketing politic turut mewarnai perpolitikan lokal. Atas dasar inilah, tulisan ini merupakan sebuah refleksi terkait marketing politic dalam politik lokal di Indonesia.

Praktik Pemasaran Politik di Tingkat Lokal
            Praktik pemasaran politik di tingkat lokal tentu berbeda-beda sesuai dengan karateristik yang dimiliki setiap daerah. Meski beragam, tetapi setiap daerah pasti melakukan pemasaran politik kepada pemilih untuk tujuan suksesi pada pemilu di tingkat lokal. Menurut Firmanzah (2007) marketing politik merupakan sebuah alat atau metode bagi partai politik dan kandidat untuk melakukan pendekatan kepada publik. Melalui marketing politik informasi mengenai partai politik atau kandidiat lebih mudah didistribusikan kepada publik sehingga terjadi feed back atau hubungan timbal balik antara partai politik dan masyarakat. Adanya interaksi antara partai politik dan kanididat kepada masyarakat akan memberikan pembelajaran sehingga proses demokrasi akan terjadi.
            Menurut Niffeneger (dalam Firmanzah, 2007) strategi marketing dalam dunia politik salah satunya adalah menggunakan mix marketing atau dikenal dengan istilah 4P (product, promotion, price, place). Jika dilihat secara sekilas 4P ini, maka tak nampak perbedaan dengan dunia marketing konvensional/bisnis. Karena itu, yang membedakan dengan marketing politik adalah bahwa: product mencakup platform dan ideologi partai/kandidat, rekam jejak, karakteristik personal/image. Promotion adalah program kerja yang ditawarkan kepada publik melalui kampanye, debat, dan iklan politik. Price mencakup economic cost, pysicology cost dan national image effect. Sedangkan place berkaitan dengan bagaimana product tersebut didistribusikan oleh partai/kandidiat kepada pemilih. Bisa melalui pertemuan secara tatap langsung maupun melalui sosial media. Selain 4P tersebut, strategi marketing politik membutuhkan tigas hal yang juga penting yaitu Targeting, Segmenting dan Positioning (TSP).
            Namun, menurut hemat penulis bahwa pada beberapa daerah – jika tidak dikatakan semuanya, praktik pemasaran politik yang dilakukan oleh partai atau kandidiat di tingkat lokal berlum berjalan secara maksimal sesuai dengan teori dan konsep marketing politik. Hal ini didasarkan atas beberapa temuan diantaranya: pertama, kepercayaan publik terhadap partai rendah. Partai politik baik pada tataran nasional maupun lokal  belum memperlihatkan kinerja yang memuaskan bagi publik. Fungsi-fungsi partai seperti fungsi pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan belum berjalan secara optimal. Hal ini dikarenakan partai hanya hadir pada saat momentum pemilu saja namun absen pasca pemilu. Belum lagi, partai terlibat dalam berbagai kasus seperti elit partai yang korupsi, konflik internal partai dan program kerja yang elitis dan pragmatis. Partai telah kehilangan identitas demokrasi dan ideologinya.  Hal ini yang kemudian menjadi alasan rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap patai. Berdasarkan hasil survey menunjukan bahwa partai politik mengalami krisis public trust dari tahun ke tahun. Hasil survey dari lembaga Survei Saiful Mujani Research and Consulting pada tahun 2016 misalnya,  menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik hanya sebesar 52,9 persen (http://nasional.kompas.com).
Rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap partai mengindikasikan bahwa marketing politik yang dilakukan oleh partai gagal dalam proses pembentukan branding dan image politik yang baik kepada pemilih sehingga pemilih tidak memiliki ketertarikan terhadap institusi partai. Padahal sejatinya, substansi dari pemasaran adalah proses mempengaruhi publik agar tertarik dengan produk yang ditawarkan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan produk politik adalah gagasan, platform dan nilai politik yang diadopsi partai.
Kedua, partai/kandidat tidak mempunyai positioning yang jelas. Positioning menjadi penting dalam marketing politik sebagai ciri khas yang membedakan dengan partai/kandidat lain. Meskipun partai pada dasarnya memiliki ideologi yang menjadi platform dalam menentukan identitas dan arah kebijakan partai yang berbeda dengan partai lain, namun dalam praktik empiris, konstelasi politik hari ini jutru menunjukkan kekaburan pada ideologi partai sehingga nyaris sulit untuk membedakan entitas partai satu sama lain. Praktik politik partai catch all menjadi salah satu alasannya. Padahal jika mengacu pada logika markerting, seharusnya partai menjual produk unggulan yang menjadi kekuatan sekaligus pembanding dengan partai lain. Bagi penulis, jika partai menjual produk yang sama dengan partai lain, maka untuk apa marketing dijalankan.
Senada dengan partai, calon kandidiat di daerah belum menunjukkan positiong yang jelas. Program kerja yang ditawarkan terkesan jargonistik dan belum mampu memunculkan diskursus apa yang sebenarnya terjadi dan dibutuhkan oleh pemilih sehingga sulit untuk membedakan program kerja unggulan antara calon satu dan yang lain. Pemasaran politik lebih menonjolkan pada aspek fisik kandidat dan politik identitas. Padahal, jika kandidat berhasil dalam memasarkan program kerja kepada pemilih, tentu ini akan menjadi nilai lebih bagi kandidat karena dapat menyisir pemilih dengan perilaku memilih rasional dan kritis. Pilkada Banten menjadi relevan untuk hal ini, dimana kandidat terjebak pada isu seputar dinasti dan PKI, padahal ada isu lain yang lebih substansial seperti pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan – yang sebenarnya bisa menjadi daya jual bagi kandidat.
Ketiga, marketing politik masih menggunakan cara tradisional. Dalam konstelasi politik lokal, baik partai politik maupun kandidat dalam hal berkampanye masih menggunakan cara tradisioal seperti pawai, konser musik dan rapat umum. Padahal melihat perkembangan zaman hari ini, penggunaan digital secara maksimal dalam dunia marketing politik menjadi sebuah keniscayaan. Daerah-daerah yang dianggap sudah menggunakan politik digital baru terjadi pada daerah kota besar saja seperti Jakarta, Bandung, Surabaya. Sementra daerah lain belum mencapai ke arah ini.  

Faktor-Faktor Lain
            Perlu diakui bahwa marketing politik hanya menjadi salah satu instrumen yang digunakan oleh partai atau kandidat untuk sukses dalam pemilu. Di luar marketing politik sesungguhnya ada banyak faktor yang menentukan keberhasilan partai politik dan kandidat dalam menguasai konstelasi politik lokal di Indonesia. Faktor-faktor tersebut seperti politik uang, patron client dan politik kartel. Faktor-faktor tersebut bahkan pada beberapa daerah sangat menentukan kompetisi elektoral dibandingkan menggunakan metode marketing politik. Di Banten misalnya, faktor politik uang lebih dominan dalam memperkirakan peluang kemenangan calon. Dimana semakin banyak uang yang didistribusikan kepada masyarakat maka peluang untuk menang semakin besar. Fenomena ini tentu tidak lepas dari faktor karakteristik perilaku pemilih di Banten yang tradisional dan rendahnya kualitas pendidikan politik pemilih.

Fenomena politik uang di Banten ini selaras dengan hasil survey yang dilakukan oleh dosen politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Hamid. Hamid mengatakan bahwa partisipasi politik masyarakat di Banten sebagian besar digerakkan oleh money politic. Artinya, masyarakat menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya dilatarbelakangi oleh adanya pemberian berupa uang atau barang dari pasangan calon. Lebih jelasnya perhatikan gambar dibawah ini: 

Gambar I


Gambar II


Sumber: Abdul Hamid. 2015. Disampaikan dalam Seminar Nasional di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten dengan tema "Pilkada Berintegritas Tanpa Money Politics".

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa pemberian sesuatu dari pasangan calon kepada masyarakat menjelang Pilkada berkorelasi terhadap preferensi pilihan mereka. Bahkan, kasus di Kota Serang justru data yang diperoleh sangat mencengangkan dimana sebesar 92,5% masyarakat akan menerima pemberian dari pasangan calon dan akan memilihnya. Karena itu mengapa kemudian sangat marak terjadi politik uang di Banten menjelang Pilkada.
Kasus pada Pilkada Lampung juga menarik untuk disoroti, bukan karena politik uang tetapi faktor politik kartel (Sujatmiko, 2016). Kasus Pilkada Kota Bandar Lampung tahun 2015 telah menyebabkan terjadinya praktik kartel dimana mayoritas partai politik mendukung pencalonan petahana karena adanya potensi kemenangan maksimal pada pilkada selanjutnya. Tidak heran jika kemudian sebanyak enam partai politik berbondong-bondong mengusung pencalonan petahana (Sujatmiko, 2016). Politik kartel terjadi ketika partai berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan kekuasaan negara (dalam hal ini pemerintah daerah) untuk mendapatkan akses atas sumber-sumber keuangan negara secara illegal. Hal ini dilakukan guna menghidupi partai karena keuangan internal partai tidak memadai untuk menjamin keberlangsungan partai. Melalui penguasaan proyek pemerintah, penggunaan APBD, pengisian pos-pos jabatan strategis dan politik anggaran, menjadi peluang bagi partai untuk mengeruk sumber finansial.
Munculnya Politik patron-client dan fenomena local strongmen juga menjadi bagian yang turut mewarnai perpolitikan lokal di beberapa daerah. Kekuasaan Fuad Amin di Bangkalan, Madura yang sukses meraih kursi Bupati tidak lain karena adanya pengaruh dari politik patron-client. Fuad menempatkan posisinya sebagai sang patron karena memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi politik. Sedangkan elit bawahannya mulai dari birokrat sampai akar rumput (termasuk Kyai dan Blater) menjadi client setia Fuad Amiin. Mereka menjadi tunduk dan patuh terhadap titah dan kehendak Faud demi mendapatkan sumber daya politik dan ekonomi dengan konsekuensi bersedia membantu Fuad guna mempertahankan kekuasaan secara absolut.
Faktor-faktor seperi politik uang, politik kartel dan patron-client sebagaimana yang telah di paparkan diatas tidak heran mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi partai atau kandidat dalam kontestasi politik lokal. Faktor tersebut bisa saja menggeser atau bahwa menghilangkan marketing politik sebagai salah satu intrumen utama bagi partai dan kandidat dalam berinteraksi dengan pemilih untuk sukses dalam Pilkada. Konsekuensinya, ketika suatu daerah sangat kental dan identik dengan faktor-faktor lain sebagaimana yang telah dipaparakan sebelumnya, membuat makna dari marketing politik nyaris tidak berarti dalam konstelasi politik lokal.

Pemanfaatan Digital dalam Pemasaran Politik
            Memasuki era digitalisasi seperti saat ini, keberadaan internet dan media sosial menjadi sebuah keniscayaan. Tidak hanya digunakan sebagai media komunikasi dan sarana hiburan, internet dan media sosial kini menjadi gaya politik baru bagi politisi dalam membangun image politik sekaligus mobilisasi pemilih. Kampanye modern menggunakan teknologi dan internet menjadi fenomena baru dalam marketing politik. Tentu ada banyak keuntungan yang didapat oleh politisi ketika menggunakan cara kampanye modern dibandingkan dengan cara konvensional. Selain dapat memangkas pembiayaan politik, kampanye modern menggunaan teknologi juga dapat menyentuh pasar (pemilih) yang lebih luas tanpa ada batas waktu dan wilayah sehingga kampanye dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
            Di Indonesia, kampanye secara digital sudah banyak dilakukan oleh elit politik dalam pemilu baik pada tataran nasional maupun lokal. Kemenangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 silam mengalahan incumbent tentu tidak lepas dari peran marketing politik yang dijalankan oleh Jokowi-Ahok dalam memobilisasi pemilih. Jokowi-Ahok berhasil melakukan kampanye kreatif lewat media sosial terhadap segmentasi pemilih dari kalangan muda. Di lain pihak, partisipasi pemilih menjadi meningkat karena dengan berkampanye lewat media sosial terjadi interaksi antara pemilih dan kandidat. Banyak yang kemudian pemilih dari kalangan pemuda terjun kedalam dunia politik dan menjadi bagian dari tim pemangan pasangan calon. Hal ini bisa dilihat bagaimana masifnya dukungan suara relawan Jokowi-Ahok.
            Namun, keberhasilan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI dalam menggunakan politik digital, tidak lantas diikuti oleh daerah lain dalam konstelasi politik lokal. Sebagain besar daerah dalam berkampanye masih terjebak pada cara-cara tradisional/konvensional. Seperti mengadakan hiburan rakyat melalui konser musik, pawai, dan pemasangan spanduk. Meskipun cara ini masih relevan dalam konsep marketing politik tetapi tidak memberikan efek domino yang cukup kentara bagi perkembangan dunia marketing politik. Selain itu, kampanye secara tradisional hanya menempat-kan pemilih sebagai objek politik bukan subjek politik sehingga partisipasi pemilih cenderung karena alasan mobilisasi bukan berangkat dari I’tikad baik pemilih. Di Banten (dan mungkin di daerah yang lain) misalnya, kampanye politik lebih banyak bergantung pada pemanfaatan spanduk dan baliho sebagai sarana untuk memperkenalkan calon kandidat. Menurut hasil survey KPU Banten yang dilakukan setelah Pilkada Gubernur tahun 2017 menunjukkan bahwa spanduk dan baliho masih menjadi alat kampanye dominan bagi pasangan calon. Temuan ini mengindikasikan bahwa keber-adaan teknologi dan internet kurang dimanfaatkan secara optimal oleh partai politik maupun kandidat dalam konstestasi pemilu.
Padahal penggunaan teknologi dan internet dalam marketing politik perlu dipertimbangkan ulang guna menghasilkan kampanye yang efektif dan efisien. Karena pada dasarnya kunci marketing politik hari ini terletak pada teknologi dan media sosial. Melaui kampanye modern, partai dan kandidat memungkinkan mendapatkan donor dari pemilih sehingga tidak harus bergantung pada pembiayaan politik dari partai dan harta yang dimiliki kandidiat. Ketika sebuah daerah belum beralih dari cara marketing politik secara konvensional, maka dapat dipastikan bahwa daerah yang bersangkutan tidak mengalami perubahan sosial politik yang cukup signifikann karena terlampu nyaman dengan cara-cara lama yang sebenarnya bisa dikatakan sudah tidak relevan lagi.      



Daftar Pustaka
Firmanzah. 2007. “Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Sujatmiko, Putri Ananda. 2016. “Kartelisasi Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 2015”. Skripsi: UNILA

Semalam di Hotel (Sabtu, 5 September 2016, 23:00)


Dari lantai 20 ruang 16, Ane membuka pintu jendela kamar yang menghadap ke jalan raya. Sebenarnya dari atas dapat terlihat taman dan kolam renang, tetapi karena malam hari, nampak tidak jelas dipandang. Meski badan dan fikiran telah lelah, tapi Ane menyempatkan untuk bertengger di trails besi dari luar pintu jendela kaca. Mata yang semula terasa kantuk, menjadi segar melihat lautan lampu-lampu yang menyala di antara rumah dan gedung-gedung. Begitu pula dengan jalanan aspal yang dihiasi lampu-lampu dari kendaraan yang tengah berpacu. Memandangi suasana malam dari lantai atas terasa menyenangkan. Sayang, malam itu tak nampak bintang-bintang yang menghiasi langit malam, yang ada hanya sepotong rembulan yang telihat sayu dibalik awan hitam. Ane pikir mungkin besok cuaca akan mendung atau mungkin turun hujan. Tetapi, lautan gemerlap lampu-lampu yang bersinar dari rumah dan gedung-gedung pencakar langit  seolah ingin menyaingi hiasan langit.

Ane larut dalam takjub, membayangkan betapa besar kuasa Tuhan yang dianugerahkan kepada makhluk-Nya. Gedung-gedung bertinggat berpuluhan lantai berdiri gagah ditengah kota dengan desain mewah. Begitu pula dengan kendaraan yang berlalu lalang tak kalah megahnya dengan merek dan harga yang super mahal dan prestisius. Walau malam semakin larut, tetapi aktivitas manusia masih berlangsung. Demi mencari sesuatu yang dikehendaki. Ane mulai percaya bahwa peradaban berubah, zaman bergerak ke arah modern. Modernisasi telah membawa rasionalitas ditinggikan serta teknologi canggih yang terbarukan. Modernisasi telah menyusup ke semua lini kehidupan, menempatkan kemegahan dunia diatas segala-galanya. Inilah yang dikenal dengan teori modernitas. Dimana manusia berlomba-lomba menciptakan teknologi baru untuk tujuan tertentu. Dimana rasionalitas dituhankan untuk mendapatkan tujuan tertentu, dan dimana kehidupan duniawai menjadi nomor satu. Dampaknya positif, dimana perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat dan pekerjaan manusia terbantu secara efektif dan efisien karena teknologi.

Tetapi, modernisasi juga mendatangkan ekses negatif. Akibat persaingan manusia yang ketat untuk mencapai tujuan tertentu dengan mengedepankan rasionalitas, maka yang timbul hanyalah peperangan. Perang dunia kedua meletus juga tidak lepas dari hal ikhwal ini. Baik perang dalam arti fisik, maupun non-fisik. Manusia kehilangan etika karena cenderung melAnekan berbagai cara untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki. Tindakan benar dan salah nyaris terabaikan. Sebagimana yang telah diungkapkan oleh Plato bahwa sesunggunya manusia itu cenderung konflik dan bermusukan, bahkan mereka bisa saling membunuh untuk mencapai tujuan-tujuannya. Melihat realita dewasa ini, apa yang diungkapkan oleh Plato ada benarnya juga. Modernisasi juga telah membuat manusia menjadi sekuler, karena mentuhankan akal dan rasionalitas, maka bagi mereka tidak ada tuhan, atau paling tidak, tuhan tidak ada kaitannya dengan urusan duniawi. Terakhir modernisasi telah merusak lingkungan dan alam. Yang terjadi hanyalaah eksploitasi besar-besaran tanpa ada upaya untuk menjaga apalagi memperbaharui. Tidak salah kalau alam mulai tidak bersahabat hari ini.

Banyaknya kritik yang dilontarkan kepada teori modernitas, telah mengenalkan dunia pada teori post-modern. Dunia perlahan memasuki babak baru ke dalam era post-modern. Pak Dian Hikmawan, seorang ahli filsafat sekaligus guru di kelasku, mengatakan bahwa post-modern telah mengajak manusia untuk berfikir ulang dan merenung. Untuk apa kita hidup dan apa essensi dari kehidupan. Sah-sah saja jika mengedepankan akal, rasionaltas dan kecanggihan teknologi. Tetapi harus diimbangi dengan perhatian kepada alam. Baik alam dalam arti lingkungan, maupun alam dalam arti penciptaan, dengan kata lain dibalik semua ini ada yang menciptakan dan menggerakkan yang bersifat kosmotik dan transedental. Ialah tuhan sang pencipta alam. Apakah teori post-modern ini yang terbaik untuk dipakai ? Wallahualam, terkadang terori tidak semanis dilapangan.

Tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 24:00, sudah larut malam dan berganti hari. Meski Ane masih ingin berlama-lama memandangi suasana malam dari lantai atas, tapi apalah daya, Ane harus istirahat, tubuh ini punya hak untuk istirahat. Lagi pula besok masih ada kegiatan. Ane masuk ke dalam kamar dan menutup pintu jendela kaca rapat-rapat dan menguncinya. Ane matikan AC ruangan karena tidak terbiasa dengan itu, maklum dirumah cukup pendingin alami, atau paling bantar pakai kipas angin. Sementara dua temanku yang lain terlihat sudah tertidur lelap, mungkin kecapae-an. Sambil menghela nafas dalam hati berkata hari yang melelahkan tetapi menyenangkan”……       


Ngaji Ala Mahasiswa



Assalamu’alaikum….. JJJ
Perkenalkan nama Ane, Mahpudin. Kebanyakan orang biasa memanggil Ane dengan sebutan Apud. Tapi Antum semua boleh memanggil Ane dengan sebutan apa saja. Bisa Mahpud, Apud, atau Pudin. Monggo bagaimana enaknya saja. Tapi please jangan manggil Ane dengan sebutan ‘Udin’ yah, hehe. Serasa mamang-mamang jualan di perempatan jalan nantinya.

Ane mau sedikit memberi tahu apa arti dari nama ‘Mahpudin’. Dalam kosa kata bahasa arab, Mahpudin berasal dari kata Hafidzha-Yahfadzu-Hifdzan yang artinya menjaga atau hafalan. Sedangkan kata ‘Din’ artinya Agama. Jadi kalau disambungkan Mahpudin artinya orang yang menjaga agama (Aamiin. InsyaAllah). Kalau dalam kitab Suci Al-Qur’an. Kata Mahpudin bisa dilihat pada Q.S Al-Buruuj : 22 yang berbunyi “Fii Lauhim Mahfudz” artinya ‘yang tersimpan dalam lauh mahfudz’. Dalam pengetahuan agama islam, Lauh Mahfudz artinya lembaran-lembaran atau kitab yang terpelihara yang berada di Arsy, di dalamnya terdapat catatan-catatan mengenai perjalanan hidup seseorang yang telah digariskan oleh Allah sesuai dengan Qadha dan Qadhar-Nya seperti: kematian, jodoh, rezeki dan jalan hidup (bahagia atau sengsara di dunia). Tapi Antum jangan tanya Ane seperti apa kitab lauh mahfudz yah. Karena itu rahasia Illahi. Hehe

Lucunya, jika melihat sekilas dari asal muasal nama Mahpudin, yang lebih banyak diadopsi dari kosa kata Arab, maka seharusnya namanya Mahfudin, bukan Mahpudin. Maklum, terlahir di tanah sunda, jadi masih kaku dalam penggunaan huruf ‘F’ dan ‘P’. Begitu pula dengan pelafalannya. Kata orang, kalau orang pada umumnya bilang minuman ‘Fanta’ maka orang sunda bilang minuman ‘Panta’. Begitu kira-kira.

Hari ini, Ane berusia 22 tahun. Tepat pada tanggal 26 Maret 1995 silam, Ane dilahirkan di sebuah perkampungan yang tidak jauh dari jantung Ibu Kota Provinsi Banten. Dinamakan kampung Kaningan RT 02/01 Desa Sukalaksana, Kecamatan Curug Kota Serang- Banten. Sebenarnya sekarang sudah bukan kampung atau desa lagi,  tapi kelurahan. Maklum, Kecamatan Curug masuk daam wilayah adminstratif kota Serang, ibukotanya Banten. Tapi tetap saja, perubahan nama dari desa ke kota, tidak diikuti oleh perubahan kondisi infrastruktur dan sosial budaya. Infrastruktur terutama jalan-jalan di Sukalaksana Kecamatan Curug masih terbilang buruk, masih banyak jalan bebatuan dan tanah merah. Begitu pula dengan mindset masyarakatnya yang masih tradisional. Wajar kalau banyak temen Ane yang pernah mampir kerumah, mayoritas mengatakan ‘kota rasa desa’. Nyesek sih. Tapi inilah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima dengan lapang dada. Tapi semoga dengan adanya Pilkada Kota Serang periode 2018-2023 mendatang, wajah Kota Serang lebih indah. Aamiin

Alhamdulillah……. Perjalanan pendidikan Ane lebih banyak dihiasi dengan pendidikan Agama. Menamatkan pendidikan SD di Cipete III tahun 2000-2006, sepulang dari sekolah SD, siangnya lanjut belajar lagi di sekolah agama (Madrasah Diniyah). Tahun 2006-2009 melanjutkan studi ke MTs N 1 Curug. Setelah lulus MTs, Ane masuk pondok pesantren di Taktakan Kota Serang. Karena pesantren modern, jadi ada sekolah formalnya juga. Lumayan jadi santri selama tiga tahun dari 2010-2013 di Pon-Pes Madrasah Aliyah (MA) Ardaniyah. Meski background pendidikan agama yang kental dan pernah jadi santri, tapi Ane hanyalah manusia biasa yang masih sering berbuat maksiat dan dosa, hehe.

Saat ini Ane masih mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi di Banten sebut saja Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Mengambil jurusan Ilmu Pemerintahan. Di jurusan ini, Ane belajar banyak tentang relasi kuasa di ranah pemerintahan, serta gejala-gejala yang terjadi di dalamnya dan tentu saja belajar politik juga.  Dulu Ane pernah bermimpi ingin menjadi seorang PNS karena dianggap kerjanya santai tapi banyak uang. Tapi, sekarang mimpi itu nyaris memudar seiring dengan bertambahnya pengetahuan mengenai kebobrokan PNS dan elit politik yang sangat base on kepentingan politis yang sangat pragmatis. Semakin belajar menganai politik dan pemerintahan di kelas, Ane semakin muak dengan dunia politik. Belum lagi dengan berbagai pemberitaan di media yang justru semakin memperkeruh citra ranah politik. Bahwa politik itu kotor dan busuk. Dari sini, mimpi jadi PNS mulai bergeser. Ane mulai melirik dunia akademisi karena dianggap lebih suci dan berwibawa. Ceritanya ingin jadi Dosen, hehe. 

Tapi Ane sadar, sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan, belajar politik dan pemerintahan itu penting, karena ini menyangkut negara dan hajat hidup orang banyak. Jangan sampai negara hanya dikuasai oleh elit politik yang rakus dengan kekuasaan sementara rakyat menderita kelaparan. Karena itu, dalam suatu negara yang menganut sistem demokratis seperti di Indonesia, partisipasi warga negara menjadi penting sebagai penyokong bagi berjalannya roda pemerintahan. Partisipasi warga negara juga dibutuhkan untuk menciptakan mekanisme pengawasan terhadap kinerja rezim pemerintahan yang berkuasa. Sebab kalau pemerintah luput dari pengawasan, akan cenderung terjadi praktik penyalahgunaan kekuasaan (Abuse of Power).

Partisipasi warga negara ini hanya akan terjadi kalau warganya mempunyai dasar pengetahuan politik yang memadai. Literasi politik ini bisa didapatkan dimana saja, tidak harus menjadi mahasiswa politik-pemerintahan. Bisa dari internet, media massa, Koran dll, termasuk baca beberapa post di blog Ane ini, hehe. Apalagi jika Antum-Antum semua dan sobat pembaca lainnya adalah mahasiswa, maka melek politik menjadi sebuah keharusan untuk turut membatu memberdayakan masyarakat. Maklum, kata orang mahasiswa kan agent of change dan agent of control hehe.

Karena itu, sebagai mahasiswa politik-pemerintahan, Ane ingin menjadi salah satu agent yang bisa memberikan kontribusi bagi peningkatan literasi politik buat yang lain. Tidak bermaksud menggurui atau merasa yang paling ‘jago’ karena yang jago sudah pasti dosen Ane di kampus, hehe. Paling tidak bisa memberi manfaat, karena dalam hadist nabi mengatakan bahwa “sebaik-baiknya manusia adalah yang memberi manfaat untuk orang lain”.

Oleh karenanya, Ane ingin mengajak Antum-Antum semua untuk ‘Ngaji Bareng’. Tapi bukan ngaji Al-Qur’an atau Kitab gundul. Karena Ane tahu, untuk urusan itu, Antum yang paling jago. Ngaji disini maksudnya ngaji (mengkaji) politik dan pemerintahan. Ane ingin ada interaksi dan diskusi dari Antum-antum semua terkait isu-isu politik-pemerintahan yang berkembang di masyarakat. Karena yakinlah, bahwa politik itu bukan tujuan tapi pilihan. Ini yang sering di bilang sama dosen Ane di kelas, bahwa politik itu ada dimana-mana. Bahkan dalam dunia pertemanan dan percintaan sekalipun. Hadeeeeeh, jangan Baper yaaak… Hehehe

Jadi jangan lupa yah sering-sering mampir ke blog Ane, mampir ke rumah juga boleh. Insyallah, disini tempatnya untuk orang-orang yang mau ‘ngaji politik’.

Sampai ketemu di kesempatan yang lain. Syukron Katsiron, Jazakallah.
Assalamualaikum… JJJ