Tampilkan postingan dengan label Catatan Harian Apud. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Harian Apud. Tampilkan semua postingan

Apa Benar Lingkungan Mempengaruhi Perilaku dan Pergaulan Kita?



Saya hidup dan besar dalam lingkungan yang bisa dikatakan sangat islami. Sepulang sekolah SD, siangnya sampai sore langsung sekolah lagi khusus belajar agama. Orang kebanyakan menyebutnya dengan sekolah madrasah. Setelah itu, lanjut sehabis maghrib pergi ke rumah ustadz untuk belajar mengaji. Aktivitas ini terus dilakukan sampai lulus SD.

Setelah lulus SD, saya memutuskan untuk melanjutkan ke MTs (Madrasah Tsanawiyah). Hal ini tidak lepas karena pertimbangan kenapa lebih memilih MTs daripada SMP karena di Mts menyajikan paket lengkap: dapat pelajaran umum plus pelajaran agama, jadi dunia dan akhirat seimbang.


Tidak berhenti sampai di sini, lulus MTs, saya lanjut sekolah ke MA (Madrasah Aliah) dengan konsep yayasan pondok pesantren. Kalau bahasa kerennya sih Islamic Boarding School. Dari sini, karakter dan mental saya sepertinya mulai terbentuk dan menemukan keajegan. Tiga tahun tinggal dan belajar di pondok pesantren berhasil menginternalisasikan nilai-nilai islam. Solat lima, puasa sunnah, tilawah Al-qur’an, dan tidak pacaran. Pokoknya udah cocoklah disebut akhi-akhi zaman now.


Singkat cerita, lulus dari pondok, saya melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup punya nama di Banten. Ini kali pertama saya mengenyam pendidikan di tempat yang secara status lembaga bukan lembaga khusus islam. Kampus tempat saya belajar adalah kampus umum, dimana semua orang dari kelas sosial, latar belakang, etnis, dan daerah dapat bertemu di sini termasuk dalam satu ruangan yang sama: di kelas. Saat itu kenapa saya mengambil kampus umum bukan kampus islam seperti UIN atau IAIN karena alasan yang simple, ingin belajar di kampus negeri, karena kata orang bilang kalau kampus negeri lebih terjamin. Wallahu’alam.


Di sinilah saya merasa ujian kehidupan sedang dimulai. Di kampus bahkan di kelas bertemu dengan banyak orang dengan ragam tingkah dan karakter.  Cewe dan cowo duduk berdampingan, pakaian mahasiswa yang seadanya, cara ngobrol dengan pakai bahasa binatang, dan sebagainya menjadi pemandangan sehari-hari di kampus. Jelas saya tidak terbiasa dengan fenomena ini. Intinya mengalami cutural shock.


Hari-hari di kampus, saya jalani seorang diri karena merasa belum mempunyai teman yang cocok, yang satu frame. Tidak sedikit teman sekelas yang mencemooh dari cara mereka memandang saat tahu kalau saya tidak bersentuhan dengan lawan jenis saat berjabat tangan, selalu memakai celana bahan, baju batik dan sepatu pantofel, dan gaya bahasa yang tidak gaul ala-ala anak bekasi dan jakarta. Singkatnya, mungkin mereka menilai saya kampungan.


Di kelas ada beberapa teman yang non-muslim. Jujur awalnya saya selalu menghindari duduk di kursi yang berdampingan dan sebisa mungkin menghindari percakapan. Ini pengalaman pertama saya bertemu dalam satu kelas dengan orang non-muslim. Menjadi asing bagi saya, karena selama di pondok, image dan mind set yang ada dalam benak pikiran saya kalau non-muslim itu berbeda, tidak seiman, sehingga harus dijauhi karena kalau mendekati akan mempengaruhi keyakinan kita. Hal ini bahwa terus didoktrin oleh guru dan ustadz untuk mencari teman yang baik, satu keyakinan karena lingkungan akan mempengaruhi pergaulan.


Tetapi seiring berjalannya waktu, tahun demi tahun, semester demi semeter berlalu dan kenyataannya justru saya malah berteman baik dengan mereka yang non-muslim. Ada merasa mendapatkan warna tersendiri dalam pertemanan. Orang yang selama ini saya takutkan dari sejak fikiran ternyata sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Mereka baik, care, seru dan sama dan sama saja dengan teman yang lainnya. Kita sering belajar dan berdiskui bersama. Hal ini sama sekali tidak mempengaruhi aktivitas ibadah saya. Saya tetap menjalankan kewajiban saya sebagai seorang muslim yang taat.


Nampaknya ini menjadi modal penting untuk belajar apa arti perbedaan. Dan ini sangat berharga ketika saya melanjutkan studi di salah satu kampus terkenal di Jogyakarta. Lingkungan Jogya sudah pasti sangat berbeda jauh dengan Banten. Apalagi kampus yang saya tuju dikenal sebagai kampus liberal, sekuler, dan hutan belantara ideologi, dimana semua macam ideologi ada di sana.


Ini untuk kedua kalinya saya mengalami cultural shock yang lebih hebat dibanding saat kuliah di kampus sebelumnya. Cewe dan cowo berpelukan di ruang publik, cewe berjilbab sambil merokok, pakaian cewe dan cowo yang kurang sopan dalam definisi saya. Di tambah kost saya berdekatan dengan orang-orang yang juga aneh buat saya. Cewe dan cowo yang belum halal tinggal dalam satu kost, orang bilang wajar di jogya banyak kost LA (Los Angeles) sebutan untuk kost yang bebas cewe dan cowo keluar masuk kost-an. Belum lagi beberapa yang sering mabuk-mabukan, tidak pernah solat dan puasa padahal muslim. Potret kehidupan itu nampak jelas dalam pandangan saya.


Tetapi saya tetap bertahan, saat itu berfikirnya sederhana. Meski terganggu, tetapi kalau saya yang pindah, artinya saya kalah dan menyerah. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap bertahan dan tidak ada pengaruh sedikit pun terhadap kebiasaan dan cara saya beribadah. Justru saban hari saya dan teman di kost makin klop, bercanda, dan makan bareng di angkringan.


Point yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa sebenarnya pergaulan itu tidak melulu mempengaruhi pergaulan dan karakter kita. Semua itu dikembalikan ke diri kita sendiri sejauh mana kita bisa mengelola dan tetap konsisten pada nilai dan norma yang sudah melekat kuat. Justru saya seolah mendapat hikmah baru bahwa dengan dipertemukan dengan orang yang berbeda, saya lebih tahu betapa indahnya perbedaan. Toleransi juga bisa dipupuk. Bayangkan sebelum jadi mahasiswa, bayangan saya tentang non muslim selalu negatif, karena saya belum pernah bertemu dan berteman dengan orang yang berbeda, maka bayangan itu terus hadir. Lain cerita  ketika kita benar-benar berteman dengan orang yang berbeda, bayangan negatif itu sama sekali hilang dan tidak relevan.


Ini lah pentingnya sekali-kali dalam bergaul penting untuk tidak selalu mencari teman yang sama. Cobalah sekali-kali menantang diri untuk keluar dari zona nyaman, berteman dengan mereka yang 180 derajat berbeda. Dari situ akal dan hati kita akan berbicara secara objektif apa makna kehidupan yang sesungguhnya. Kalau kita hanya berteman dengan orang itu-itu saja, lingkungan yang juga itu-itu saja, maka kita tidak pernah tahu bahwa ada dunia lain di luar dunia kita.      


Saya jadi teringat dengan dualisme cebong dan kampret yang sempat booming saat tahun politik kemaren. Ujaran kebencian, saling caci dan maki antara pendukung salah satu pasangan bisa jadi karena mereka hanya bergaul dengan sesamanya saja, yang satu pilihan dan satu pandangan. Akibatnya menganggap yang lain itu salah, dan kita yang benar. Coba kalau kaum cebong dan kampret benar-benar bertemu di dunia nyata dan mereka saling berdialog secara terbuka, pasti diantara keduanya akan saling memahami dan hoax sepertinya tidak akan laku.


Ini semua tentang perbedaan. Semakin kita bergaul dengan orang yang sama dan itu-itu saja maka kecederungannya kita menjadi semakin eksklusif dan merasa berbeda dengan kelompok yang lain. Tapi sebaliknya, semakin beragam kita bergaul dengan banyak orang, dengan lingkungan yang berbeda, maka kita akan semakin inklusif dan mudah toleran. Paling tidak, ini yang saya sedang rasakan. Asli sekali lagi berbeda itu indah. Kita akan tahu keajaiban makna Bhineka Tunggal Ika selama kita memperbanyak perbedaan dalam corak pertemanan.


Jangan telalu takut kalau lingkungan dan pergaulan akan mempengaruhi kita. Justru tantangannya adalah kita yang harus menaklukkan lingkungan dan pergaulan itu. Berteman dengan non-muslim tidak lantas membuat kita menjadi kafir, berteman dengan merka yang pacaran, merokok, mabuk-mabukan, tidak harus kita jadi ikut-ikutan. Sekali lagi, itu soal bagaimana diri kita.


Justru buat saya, ini akan menjadi tantangan buat diri kita sejauh mana kita komitmen terhadap nilai, norma dan moral yang kita yakini. Apakah mudah goyah oleh lingkungan, atau kita sudah begitu dewasa dan matang sehingga lingkungan apapun tidak memberi efek apapun.


Jadi masih mau pilih-pilih dalam bergaul dan berteman? Mau sampai kapan bambang. Bagaimana kalau suatu saat kita terpaksa hidup di suatu tempat dan tidak ada pilihan sama sekali untuk keluar dari lingkungan yang sama sekali berbeda dan asing menurut definisi kita? Apa mau tetap mengisolasi diri yang justru sering kali menyusahkan?





Mimpi dan Persahabatan: Rangkaian Kenangan Indah Selama 6 Bulan




Saya beruntung bisa menjadi salah satu dari barisan para pejuang mimpi yang sangat gigih dalam meraih masa depan yang cemerlang lewat pintu pendidikan.

Mereka adalah kumpulan orang-orang yang luar bisa. Tak kenal lelah dalam bejuang dan berkorban, kaya akan pengalaman dan keluhuran hati. Saya banyak belajar dari mereka.

Cerita tentang kebersamaa, canda, tawa, solidaritas adalah menu utama yang kami lalui selama enam bulan. Dan Jogyakarta menjadi saksi bisu yang menorehkan catatan akan penyatuan dari keberagaman.

KU TAK SIAP UNTUK MERINDU..... KU TAK SIAP TANPA KALIAN
KU HARAP TERBAIK UNTUK KALIAN



Bumi Manusia di Desa Gampong



Tempat ini dijadikan sebagai salah satu lokasi utama dalam pengambilan syuting Film Bumi Manusia yang tidak lama lagi akan tayang di Bioskop Indonesia.
Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini mengadopsi cerita dari Novel yang juga berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Pram, begitu akrab disapa, merupakan novelis ternama dan berpengaruh di masanya, yang banyak menulis novel yang sebagian besar bercerita tentang kehidupan rakyat Indonesia dalam berjuang mempertahankan hidup ditengah setting sosial dan politik yang penuh ketidakpastian.
Rakyat kerap terjebak dalam kubangan penindasan, keterpinggiran, dan kemiskinan tatkala harus berhadapan dengan rezim kolonial hingga orde baru yang sama-sama penghisap. Karena itu, meski kemerdekaan sudah dikumandangkan, tetapi kehidupan nyata rakyat selalu bersebrangan dengan apa yang diharapkan. Rakyat tidak benar-benar berada dalam hidup yang bebas dan mencapai pada titik self determination.
Merespon hal ini, Pram pernah berkata:
"Masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri." @ Desa Wisata Gamplong


Dari Gereja Ayam sampai Rumah Lebah: Eksplorasi Magelang




Magelang tidak hanya identik dengan Candi Borobudur sebagai destinasi wisata. Tak banyak yang tahu, ada beberapa wisata alternatif di sekitar wilayah Borobudur, yang juga tidak kalah menarik untuk berlibur. Berkeliling di desa wisata Magelang menggunakan VW Car, paling tidak saya berkunjung ke dua tempat: Gereja Ayam dan Rumah Lebah.

Eits jangan salah, Gereja Ayam merupakan wisata religi yang terletak di tengah bukit Rhema. Konon,tujuan awal pembangunannya adalah sebagai tempat beribadah semua agama. Penduduk sekitar yang berbeda agama dapat menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Bangunan tersebut menjadi simbol kerukunan antar umat beragama dan kehidupan yang damai ditengah keberagaman. Dinamakan Greja karena bangunan ini dipelopori oleh tokoh yang beragama Nasrani. Kini, bangunan tersebut menjadi museum.. Di samping itu, Rumah Lebah yang juga saya kunjungi, adalah tempat belajar bagaimana untuk membudidayakan Lebah dan menghasilkan komoditas madu yang berkualitas.
Perjalanan ditutup dengan makan bersama dengan sambal pedas khas Magelang. Sayang, saya jadi sakit perut gegara kepedesan. But overall, i do enjoy this fascinating trip. @ Magelang



Di balik Celana Bahan dan Jeans




Ane merupakan mahasiwa ilmu pemerintahan Untirta, Serang. Kampus Ane termasuk salah satu kampus ternama di Banten, karena statusnya sebagai satu-satunya perguruan tinggi negeri di Banten. Bagi sebagian besar orang, menjadi mahasiwa adalah suatu hal yang menyenangkan. Dunia mahasiswa penuh sarat dengan nilai-nilai akademik, pengalaman hidup, serta menjalani hidup dengan banyak orang. Dunia mahasiwa juga dikenal dengan kebebasan. Bebas dari kekangan aturan, bebas menentukan pilihan hidup, dan bebas dari disiplin kampus. Salah satu kebebasan itu bisa dilihat dari cara berpakaian, dimana rata-rata setiap kampus tidak mengatur secara khusus pakaian yang semestinya dipakai mahasiswa, singkatnya tidak memakai seragam layaknya anak sekolahan.
Karena itu sangat mudah sekali menemukan mahasiswa yang berpakaian ala artis korea hingga orang timur tengah. Ada yang pakai baju ketat dengan celana jeans yang super ketat pula, tetapi tidak sedikit juga yang pakai hijab, kopiah, bahkan cadar. Penampilan mahasiswa juga beragam. Ada yang tampil modis, casual, biasa saja, apa adanya, sampai yang tampil acak-acakan tidak terurus. Ada yang berambut gondrong, pendek, botak, dan lainnya. Fenomena ini nyaris menjadi hal yang biasa di dunia kampus. Kok tidak ada peraturan khusus untuk mahasiswa dalam penampilan sih ?? barangkali, pikir saya, mahasiswa sudah dewasa dan matang yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, terkesan tidak etis jika sesuatu yang privat harus diatur oleh rector atau dosen, emang nya anak sekolahan, hehe.. lagi pula kalau pun ada aturannya, sudah pasti kampus jadi cheos karena sering di demo sama mahasiwa, paling argumennya atas dasar hak asasi manusia..

Ane pribadi tidak terlalu memperhatikan penampilan. Keseharian di kampus, Ane terkesan apa adanya, tidak dibuat-buat, tidak lebih tidak kurang. Ada satu identitas yang coba Ane kenalkan kepada lingkungan dan teman-teman di kampus. Yaitu celana bahan. Yapsss… benar sekali. Semenjak duduk di semester satu, bahkan awal masih jadi mahasiswa baru (maba) saya selalu menggunakan celana bahan berwarna hitam. Pemilihan celana bahan warna hitam bukanlah tanpa alasan atau kebetulan, tapi merupakan sebuah alasan politis. Uppss…. Kalau mendengar kata-kat politis jangan langsung prasangka buruk ya. Mau tau kenapa alasannya ?

Begini,… Ane merupakan seroang jebolan pondok pesantren di Serang. Pondok pesantren sarat dengan pengajaran dan pengamalan nilai-nilai syariat islam. Santri dituntut untuk mempraktikan ajaran islam dalam kehidupan sehari. Pesantren termasuk memiliki disiplin yang ketat. Santri dilarang keluar tanpa izin ustadz, dilarang merokok, pacaran, mencuri, berambut panjang, dan lainnya. Semua kegiatan santri nyaris di stir oleh peraturan dari bagun tidur hingga tidur kembali. Dari pagi sampai malam, intensif selama dua puluh empat jam. Santri harus melAnekan hal-hal postif dan mengemas diri semenarik mungkin agar terlihat taat terhadap pimpinan dan terlihat shaleh.

Termasuk di pesantren harus memakai pakaian secara sopan, rapi, dan yang terpenting menutupi aurat. Santri dilarang memakai celana jeans. Meski sampai saat ini Ane belum menemukan alasan rasional mengapa menggunakan celana jeans menjadi sesuatu yang tabu di pondok pesantren. Waktu itu, komunikasi yang disampaikan dari pihak pesantren bahwa celana jeans itu terlalu ketat, memperlihatkan lekuk tubuh, dan memiliki citra yang negatif. Di pesantren jeans diidentikkan dengan pergaulan bebas, anak nakal, tidak mengedepankan disiplin dan lainnya. Karena itu, santri dilarang memakai celana jeans. Bagi siapa saja yang kedapatan memakai celana jeans akan dipanggil oleh pengurus (kaka kelas) atau ustadz lalu di gunting. Seketika Ane mencoba membiasakan diri dengan memakai celana bahan selama menjadi santri karena tAnet kena hukuman dari kakak senior atau ustadz.

Tiga tahun lamanya Ane menimba ilmu di pesantren, tiga tahun pula Ane terbiasa dengan pakaian baju muslim, sarung, kopiah, dan celana bahan. Bahkan logika ini telah menolak untuk menggunakan pakaian selain yang telah disebutkan, termasuk celana jeans. Meski Ane telah lulus dari pesantren, tetapi kebiasaan santri masih melekat dalam keseharianku. Di rumah misalnya, Ane kerap memakai sarung, baju muslim, atau celana bahan. Ane akan merasa malu, kalau keluar rumah hanya dengan kaos oblong dan celana kolor pendek, karena kata ustadz, itu tidak mencirikan watak santri. Santri harus mampu menjadi garda terdepan menjadi panutan di tengah masyarakat.

Begitu pula, saat Ane mulai memasuki dunia kampus. Setiap hari Ane menggunakan celana bahan dengan baju batik atau kemeja, dan pakai sepatu pantopel. Di kelas, mungkin Ane satu-satunya mahasiswa yang konsisten menggunakan pakaian itu. Ane menangkat sepertinya ada hal aneh yang ada dibenak teman-teman di kelas. Mungkin mereka menilai penampilan Ane klasik, kuno, tidak modern, kampungan dan lain sebagainya. Terserahlah Ane tidak peduli. Lalu mengapa Ane harus tetap menggunakan baju batik, kemeja, dan celana bahan serta sepatu pantopel ? bukankah dunia kampus berbeda dengan dunia pesantren ? bukankah di kampus tidak ada peraturan yang melarang dalam berpakaian ? ada banyak alasan untuk menjawab ini.

Pertama, sudah menjadi kebiasaan dan telah mengakar menjadi sebuah identitas, semenjak hidup di pesantren, bahwa celana bahan adalah yang terbaik untuk santri. Kedua, Ane ingin memberi kesan pertama kepada setiap mahasiswa lain yang bertemu dengan Ane, bahwa Ane termasuk sederhana, orang baik-baik, tidak menyukai pergaulan bebas, dan hidup penuh dengan disiplin. Alasan kedua yang menjadi pertimbangan utama.

Ane termasuk orang lugu, tertutup, tidak pandai bergaul, introvert, bukan anak orang kaya. Ane selalu kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan dan teman baru. Dalam situasi keramaian Ane lebih banyak memilih untuk menghindar atau mengasingkan diri, karena merasa malu dan tidak pantas ikut menjadi bagian dari keramaian itu. Ane merasa ada sesuatu hal yang membuat Ane berbeda dengan yang lain. Ane merasa teman-teman di kampus begitu sempurna dan Ane lebih banyak kekurangannya. Terkadang Ane lebih banyak menyendiri di kampus ketimbang mencari teman, karena Ane tAnet, orang-orang menolak, mencemoohkan, dan menganggap Ane hina. Ane juga bukan anak borjuasi dan konglomerat yang hidup dengan segala kemewahan. Kehidupan keluarga Ane sederhana, bahkan hanya di tingkatan cukup untuk hidup sehari-hari. Sementara di kelas, Ane melihat mereka termasuk dari kalangan orang berada, penampilan yang modis, cara berbicara gaul, dan pandai bergaul. Karena itu, Ane selalu merasa kerdil di kelas. Ane sengaja memutuskan untuk duduk di kursi paling depan dekat dosen, selain fokus belajar, juga untuk menghindari kontak langsung dengan teman-teman dikelas. Sekali lagi karena Ane sangat sulit beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Ada satu penggalan hidup yang membuat Ane traumatis yang membuat Ane memutuskan hidup sendiri, kala itu Ane berfikir tidak ada teman sejati, yang ada adalah teman bobrok. Yang hanya bisa mencela dan mencaci maki.

Untuk menyampaikan pesan bahwa Ane memiliki karakter seperti yang telah diceritakan sebelumnya, maka Ane memilih untuk menggunakan celana bahan dalam penampilan. Ane ingin menyampaian pesan tersebut melalui penampilan tanpa perkataan. Ane ingin orang lain menangkap pesan bahwa Ane seorang introvert, tertutup, pendiam, tidak pandai bergaul, jadul, dll hanya dengan mereka melihat penampilan Ane. Dan Ane merasa berhasil membangun kesan itu.

Namun disisi lain ada dampak negatifnya, mahasiswa dikampus menilai Ane secara berlebihan. Ane bak sang dewa yang diciptakan tanpa kekurangan secuil pun. Ane kerap dipanggil dengan sebutan ustadz, orang alim, shaleh, pintar, penurut, dan lain-lain. Tidak jarang teman teman di kelas, selalu menanyakan kepada Ane tips menjadi anak yang rajin, tips belajar supaya dapat IPK tinggi, dan sering konsultasi terkait tugas mata kuliah. Ane sadari penampilan Ane yang klasik ini turut juga membentuk penilaian mereka demikian terhadap Ane.
Berpakain klasik dengan celana bahan secara kontinu dan konsisten Ane pakai semenjak semester 1 sampa 4. Dan kini semester 5, Ane merasakan titik jenuh, Ane penasaran ingin mencoba memakai celana jeans. Ane ingin coba membuat re-interpretasi ulang melalui pakaian. Jika selama ini Ane coba menyampaikan pesan dan karakter kepribadian Ane lewat celana bahan, maka mulai saat itu Ane coba negasikan dengan memberi kesan kepada orang lain bahwa Ane termasuk pluralis, mudah bergaul, terbuka dengan orang lain, dan bisa bekerja sama dengan team, tetapi tetap mengedepankan etika. Melalui celana jeans. Dan sepetinya berhasil, meskipun awalnya banyak yang kaget melihat perubahan cara berpakaian Ane, tetapi lambat laun mereka sudah terbiasa. Hari ini, menggunakan jeans juga menjadi bagian dari penampilan Ane, meskipun masih ada perasaan tidak nyaman. Tapi Ane terus berusaha dan mencoba.

Satu hal penting yang membuat Ane merubah cara pakaian dari menggunakan celana bahan ke celana jeans. Ane mulai berusaha terbuka denga orang lain, Ane mencoba membuka peluang dan komunikasi dengan orang lain. Karena Ane sadar hidup sendiri bukan pilihan yang terbaik. Dan memakai celana jeans merupakan salah satu siasat untuk mencapai tujuan itu, karena selama ini menggunakan celana bahan, membuat orang-oran sungkan dan enggan membangun komunikasi dan pertemanan dengan Ane. Karena mereka pikir Ane telalu kAne, tidak asyik, dan terlalu sholeh untuk dijadikan teman ngobrol bagi mahasiswa yang kebanyakan suka bercanda, pencicilan, dan hidup bebas.

Meski demikian……. Apa yang Ane ceritakan masih sebagian kecil dari sebuah makna dibalik antara celana bahan dan jeans. Ada begitu banyak alasan yang komplek untuk menjelaskan hal ini. Dan Ane belum bersedia untuk membukanya.


Aku dan Sahabat: Merangkai Cerita Kehidupan dan Kebersamaan




Ane bersyukur bisa bertemu dengan mereka yang tidak hanya berjuang dalam menuntut ilmu tetapi juga saling menasihati dan mengingatkan dalam kebaikan. Bermula dipertemukan di tempat yang sama, Kampus Untirta, Ane tak pernah menyangka menemukan persahabatan yang terajut masih tetap bertahan sampai sekarang meski ruang dan waktu memisahkan.

Banyak cerita yang telah terukir. Mulai dari travelling bareng, makan, tidur, belajar, dan banyak lagi hampir dilakukan bersama. Persahabatan yang telah menjelma menjadi ikatan kekeluargaan. Meski dalam perjalannya, kadang ada konflik dari hal kecil sampai yang besar sekalipun, menariknya, justru dari konflik ini semakin merekatkan ikatan persahabatan.

Kala sedang sendiri alias gabut di kosan seperti sekarang ini, pikiran ane sering berkelana, larut dalam genangan kenangan. Cuplikan masa-masa kebersamaan seolah hadir menyapa alam imajinasi. Kenanangan itu telalu mahal untuk dilupkan.

Banten dan Jogya bukanlah hanya sekedar jarak. Tetapi juga soal kesempatan. Mereka tengah berproses di Banten, pun sama dengan ane yang sedang menguji sabar dan istiqomah di Jogya. Berharap, selama ane tinggal di tempat yang sama sekali baru buat ane, kedepannya bisa lebih mudah adaptasi dan bisa menemukan sahabat yang juga bisa membawa pada kebaikan yang tentu tidak hanya dunia tetapi juga akhirat.

Terimakasih atas warna yang begitu indah, Yaa Shohibii.

LAB IP UNTIRTA


LABORATORIUM ILMU PEMERINTAHAN (LAB IP) FISIP UNTIRTA

Laboratorium Ilmu Pemerintahan (Lab IP) merupakan institusi yang berada dibawah naungan Program Studi Ilmu Pemerintahan. Lab IP resmi didirikan pada tahun 2016 melalui SK Dekan FISIP Nomor 069/UN.43.6/SK/2016. Tujuan pendirian Lab IP adalah sebagai institusi pendukung bagi terlaksananya fungsi Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagaimana yang tergambarkan dalam VISI dan Misi Prodi Ilmu Pemerintahan. Karena itu, tugas dan fungsi Lab IP tidak lepas dari pernanan dalam bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian.  Ruang Lab IP sendiri berada di Gedung D Lantai 2 Kampus Untirta.
Lab IP dikelola tidak hanya oleh Dosen di lingkungan Prodi Ilmu Pemerintahan melainkan juga melibatkan mahasiswa sebagai laboran. Di tahun 2018 ini terdapat 15 mahasiswa yang terlibat dalam mengelola Lab IP. Mahasiswa tersebut merupakan hasil seleksi dari proses rekrutment tahunan Lab IP. Adapun kegiatan Lab IP saat ini berfokus pada kajian berbasis mata kuliah yang disesuaikan dengan perkembangan isu-isu dan keilmuan termutakhir. Selain kajian, Lab IP juga memliki agenda kegiatan pengabdian ke masyarakat sebagai bentuk implementasi nilai-nilai keilmuan yang telah dipelajari perkuliahan. Di samping itu Lab IP juga membantu dan menunjang terlaksananya kegiatan akademik Prodi Ilmu Pemerintahan seperti mengadakan seminar, dialog publik, pelatihan dan lainnya.





Lab IP terdapat fasilitas perpustakaan Lab yang memiliki berbagai buku dan refensi bacaan terkait politik pemerintahan. Buku dan referensi tersebut dapat diakses atau dipinjam oleh seluruh mahasiswa Ilmu Pemerintahan dengan syarat membawa kartu KTM untuk diserahkan kepada Laboran Mahasiswa yang bertugas. Untuk koleksi buku yang tersedia di Perpustakaan Lab IP dapat diakses pada laman berikut:








Semalam di Hotel (Sabtu, 5 September 2016, 23:00)


Dari lantai 20 ruang 16, Ane membuka pintu jendela kamar yang menghadap ke jalan raya. Sebenarnya dari atas dapat terlihat taman dan kolam renang, tetapi karena malam hari, nampak tidak jelas dipandang. Meski badan dan fikiran telah lelah, tapi Ane menyempatkan untuk bertengger di trails besi dari luar pintu jendela kaca. Mata yang semula terasa kantuk, menjadi segar melihat lautan lampu-lampu yang menyala di antara rumah dan gedung-gedung. Begitu pula dengan jalanan aspal yang dihiasi lampu-lampu dari kendaraan yang tengah berpacu. Memandangi suasana malam dari lantai atas terasa menyenangkan. Sayang, malam itu tak nampak bintang-bintang yang menghiasi langit malam, yang ada hanya sepotong rembulan yang telihat sayu dibalik awan hitam. Ane pikir mungkin besok cuaca akan mendung atau mungkin turun hujan. Tetapi, lautan gemerlap lampu-lampu yang bersinar dari rumah dan gedung-gedung pencakar langit  seolah ingin menyaingi hiasan langit.

Ane larut dalam takjub, membayangkan betapa besar kuasa Tuhan yang dianugerahkan kepada makhluk-Nya. Gedung-gedung bertinggat berpuluhan lantai berdiri gagah ditengah kota dengan desain mewah. Begitu pula dengan kendaraan yang berlalu lalang tak kalah megahnya dengan merek dan harga yang super mahal dan prestisius. Walau malam semakin larut, tetapi aktivitas manusia masih berlangsung. Demi mencari sesuatu yang dikehendaki. Ane mulai percaya bahwa peradaban berubah, zaman bergerak ke arah modern. Modernisasi telah membawa rasionalitas ditinggikan serta teknologi canggih yang terbarukan. Modernisasi telah menyusup ke semua lini kehidupan, menempatkan kemegahan dunia diatas segala-galanya. Inilah yang dikenal dengan teori modernitas. Dimana manusia berlomba-lomba menciptakan teknologi baru untuk tujuan tertentu. Dimana rasionalitas dituhankan untuk mendapatkan tujuan tertentu, dan dimana kehidupan duniawai menjadi nomor satu. Dampaknya positif, dimana perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat dan pekerjaan manusia terbantu secara efektif dan efisien karena teknologi.

Tetapi, modernisasi juga mendatangkan ekses negatif. Akibat persaingan manusia yang ketat untuk mencapai tujuan tertentu dengan mengedepankan rasionalitas, maka yang timbul hanyalah peperangan. Perang dunia kedua meletus juga tidak lepas dari hal ikhwal ini. Baik perang dalam arti fisik, maupun non-fisik. Manusia kehilangan etika karena cenderung melAnekan berbagai cara untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki. Tindakan benar dan salah nyaris terabaikan. Sebagimana yang telah diungkapkan oleh Plato bahwa sesunggunya manusia itu cenderung konflik dan bermusukan, bahkan mereka bisa saling membunuh untuk mencapai tujuan-tujuannya. Melihat realita dewasa ini, apa yang diungkapkan oleh Plato ada benarnya juga. Modernisasi juga telah membuat manusia menjadi sekuler, karena mentuhankan akal dan rasionalitas, maka bagi mereka tidak ada tuhan, atau paling tidak, tuhan tidak ada kaitannya dengan urusan duniawi. Terakhir modernisasi telah merusak lingkungan dan alam. Yang terjadi hanyalaah eksploitasi besar-besaran tanpa ada upaya untuk menjaga apalagi memperbaharui. Tidak salah kalau alam mulai tidak bersahabat hari ini.

Banyaknya kritik yang dilontarkan kepada teori modernitas, telah mengenalkan dunia pada teori post-modern. Dunia perlahan memasuki babak baru ke dalam era post-modern. Pak Dian Hikmawan, seorang ahli filsafat sekaligus guru di kelasku, mengatakan bahwa post-modern telah mengajak manusia untuk berfikir ulang dan merenung. Untuk apa kita hidup dan apa essensi dari kehidupan. Sah-sah saja jika mengedepankan akal, rasionaltas dan kecanggihan teknologi. Tetapi harus diimbangi dengan perhatian kepada alam. Baik alam dalam arti lingkungan, maupun alam dalam arti penciptaan, dengan kata lain dibalik semua ini ada yang menciptakan dan menggerakkan yang bersifat kosmotik dan transedental. Ialah tuhan sang pencipta alam. Apakah teori post-modern ini yang terbaik untuk dipakai ? Wallahualam, terkadang terori tidak semanis dilapangan.

Tidak terasa waktu telah menunjukkan pukul 24:00, sudah larut malam dan berganti hari. Meski Ane masih ingin berlama-lama memandangi suasana malam dari lantai atas, tapi apalah daya, Ane harus istirahat, tubuh ini punya hak untuk istirahat. Lagi pula besok masih ada kegiatan. Ane masuk ke dalam kamar dan menutup pintu jendela kaca rapat-rapat dan menguncinya. Ane matikan AC ruangan karena tidak terbiasa dengan itu, maklum dirumah cukup pendingin alami, atau paling bantar pakai kipas angin. Sementara dua temanku yang lain terlihat sudah tertidur lelap, mungkin kecapae-an. Sambil menghela nafas dalam hati berkata hari yang melelahkan tetapi menyenangkan”……