Saya hidup dan besar dalam lingkungan yang
bisa dikatakan sangat islami. Sepulang sekolah SD, siangnya sampai sore
langsung sekolah lagi khusus belajar agama. Orang kebanyakan menyebutnya dengan
sekolah madrasah. Setelah itu, lanjut sehabis maghrib pergi ke rumah ustadz
untuk belajar mengaji. Aktivitas ini terus dilakukan sampai lulus SD.
Setelah lulus SD, saya memutuskan untuk
melanjutkan ke MTs (Madrasah Tsanawiyah). Hal ini tidak lepas karena
pertimbangan kenapa lebih memilih MTs daripada SMP karena di Mts menyajikan
paket lengkap: dapat pelajaran umum plus pelajaran agama, jadi dunia dan
akhirat seimbang.
Tidak berhenti sampai di sini, lulus MTs,
saya lanjut sekolah ke MA (Madrasah Aliah) dengan konsep yayasan pondok
pesantren. Kalau bahasa kerennya sih Islamic Boarding School. Dari sini,
karakter dan mental saya sepertinya mulai terbentuk dan menemukan keajegan.
Tiga tahun tinggal dan belajar di pondok pesantren berhasil
menginternalisasikan nilai-nilai islam. Solat lima, puasa sunnah, tilawah
Al-qur’an, dan tidak pacaran. Pokoknya udah cocoklah disebut akhi-akhi
zaman now.
Singkat cerita, lulus dari pondok, saya
melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup punya nama
di Banten. Ini kali pertama saya mengenyam pendidikan di tempat yang secara
status lembaga bukan lembaga khusus islam. Kampus tempat saya belajar adalah
kampus umum, dimana semua orang dari kelas sosial, latar belakang, etnis, dan
daerah dapat bertemu di sini termasuk dalam satu ruangan yang sama: di kelas.
Saat itu kenapa saya mengambil kampus umum bukan kampus islam seperti UIN atau
IAIN karena alasan yang simple, ingin belajar di kampus negeri,
karena kata orang bilang kalau kampus negeri lebih terjamin. Wallahu’alam.
Di sinilah saya merasa ujian kehidupan sedang
dimulai. Di kampus bahkan di kelas bertemu dengan banyak orang dengan ragam
tingkah dan karakter. Cewe dan cowo duduk berdampingan, pakaian
mahasiswa yang seadanya, cara ngobrol dengan pakai bahasa binatang, dan
sebagainya menjadi pemandangan sehari-hari di kampus. Jelas saya tidak terbiasa
dengan fenomena ini. Intinya mengalami cutural shock.
Hari-hari di kampus, saya jalani seorang diri
karena merasa belum mempunyai teman yang cocok, yang satu frame. Tidak
sedikit teman sekelas yang mencemooh dari cara mereka memandang saat tahu kalau
saya tidak bersentuhan dengan lawan jenis saat berjabat tangan, selalu memakai
celana bahan, baju batik dan sepatu pantofel, dan gaya bahasa yang tidak gaul
ala-ala anak bekasi dan jakarta. Singkatnya, mungkin mereka menilai saya
kampungan.
Di kelas ada beberapa teman yang non-muslim.
Jujur awalnya saya selalu menghindari duduk di kursi yang berdampingan dan
sebisa mungkin menghindari percakapan. Ini pengalaman pertama saya bertemu
dalam satu kelas dengan orang non-muslim. Menjadi asing bagi saya, karena
selama di pondok, image dan mind set yang ada dalam benak
pikiran saya kalau non-muslim itu berbeda, tidak seiman, sehingga harus dijauhi
karena kalau mendekati akan mempengaruhi keyakinan kita. Hal ini bahwa terus
didoktrin oleh guru dan ustadz untuk mencari teman yang baik, satu keyakinan
karena lingkungan akan mempengaruhi pergaulan.
Tetapi seiring berjalannya waktu, tahun demi
tahun, semester demi semeter berlalu dan kenyataannya justru saya malah
berteman baik dengan mereka yang non-muslim. Ada merasa mendapatkan warna
tersendiri dalam pertemanan. Orang yang selama ini saya takutkan dari sejak
fikiran ternyata sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan. Mereka baik, care,
seru dan sama dan sama saja dengan teman yang lainnya. Kita sering belajar dan
berdiskui bersama. Hal ini sama sekali tidak mempengaruhi aktivitas ibadah
saya. Saya tetap menjalankan kewajiban saya sebagai seorang muslim yang taat.
Nampaknya ini menjadi modal penting untuk
belajar apa arti perbedaan. Dan ini sangat berharga ketika saya melanjutkan
studi di salah satu kampus terkenal di Jogyakarta. Lingkungan Jogya sudah pasti
sangat berbeda jauh dengan Banten. Apalagi kampus yang saya tuju dikenal
sebagai kampus liberal, sekuler, dan hutan belantara ideologi, dimana semua
macam ideologi ada di sana.
Ini untuk kedua kalinya saya mengalami cultural shock yang
lebih hebat dibanding saat kuliah di kampus sebelumnya. Cewe dan cowo
berpelukan di ruang publik, cewe berjilbab sambil merokok, pakaian cewe dan
cowo yang kurang sopan dalam definisi saya. Di tambah kost saya berdekatan
dengan orang-orang yang juga aneh buat saya. Cewe dan cowo yang belum halal
tinggal dalam satu kost, orang bilang wajar di jogya banyak kost LA (Los
Angeles) sebutan untuk kost yang bebas cewe dan cowo keluar masuk kost-an.
Belum lagi beberapa yang sering mabuk-mabukan, tidak pernah solat dan puasa
padahal muslim. Potret kehidupan itu nampak jelas dalam pandangan saya.
Tetapi saya tetap bertahan, saat itu
berfikirnya sederhana. Meski terganggu, tetapi kalau saya yang pindah, artinya
saya kalah dan menyerah. Akhirnya saya memutuskan untuk tetap bertahan dan
tidak ada pengaruh sedikit pun terhadap kebiasaan dan cara saya beribadah.
Justru saban hari saya dan teman di kost makin klop, bercanda, dan makan bareng
di angkringan.
Point yang ingin saya sampaikan di sini
adalah bahwa sebenarnya pergaulan itu tidak melulu mempengaruhi pergaulan dan
karakter kita. Semua itu dikembalikan ke diri kita sendiri sejauh mana kita
bisa mengelola dan tetap konsisten pada nilai dan norma yang sudah melekat
kuat. Justru saya seolah mendapat hikmah baru bahwa dengan dipertemukan dengan
orang yang berbeda, saya lebih tahu betapa indahnya perbedaan. Toleransi juga
bisa dipupuk. Bayangkan sebelum jadi mahasiswa, bayangan saya tentang non
muslim selalu negatif, karena saya belum pernah bertemu dan berteman dengan
orang yang berbeda, maka bayangan itu terus hadir. Lain cerita ketika
kita benar-benar berteman dengan orang yang berbeda, bayangan negatif itu sama
sekali hilang dan tidak relevan.
Ini lah pentingnya sekali-kali dalam bergaul penting
untuk tidak selalu mencari teman yang sama. Cobalah sekali-kali menantang diri
untuk keluar dari zona nyaman, berteman dengan mereka yang 180 derajat berbeda.
Dari situ akal dan hati kita akan berbicara secara objektif apa makna kehidupan
yang sesungguhnya. Kalau kita hanya berteman dengan orang itu-itu saja,
lingkungan yang juga itu-itu saja, maka kita tidak pernah tahu bahwa ada dunia
lain di luar dunia kita.
Saya jadi teringat dengan dualisme cebong dan
kampret yang sempat booming saat tahun politik kemaren. Ujaran
kebencian, saling caci dan maki antara pendukung salah satu pasangan bisa jadi
karena mereka hanya bergaul dengan sesamanya saja, yang satu pilihan dan satu
pandangan. Akibatnya menganggap yang lain itu salah, dan kita yang benar. Coba
kalau kaum cebong dan kampret benar-benar bertemu di dunia nyata dan mereka
saling berdialog secara terbuka, pasti diantara keduanya akan saling memahami
dan hoax sepertinya tidak akan laku.
Ini semua tentang perbedaan. Semakin kita
bergaul dengan orang yang sama dan itu-itu saja maka kecederungannya kita
menjadi semakin eksklusif dan merasa berbeda dengan kelompok yang lain. Tapi
sebaliknya, semakin beragam kita bergaul dengan banyak orang, dengan lingkungan
yang berbeda, maka kita akan semakin inklusif dan mudah toleran. Paling tidak,
ini yang saya sedang rasakan. Asli sekali lagi berbeda itu indah. Kita akan
tahu keajaiban makna Bhineka Tunggal Ika selama kita memperbanyak perbedaan
dalam corak pertemanan.
Jangan telalu takut kalau lingkungan dan
pergaulan akan mempengaruhi kita. Justru tantangannya adalah kita yang
harus menaklukkan lingkungan dan pergaulan itu. Berteman dengan non-muslim
tidak lantas membuat kita menjadi kafir, berteman dengan merka yang pacaran,
merokok, mabuk-mabukan, tidak harus kita jadi ikut-ikutan. Sekali lagi, itu
soal bagaimana diri kita.
Justru buat saya, ini akan menjadi tantangan
buat diri kita sejauh mana kita komitmen terhadap nilai, norma dan moral yang
kita yakini. Apakah mudah goyah oleh lingkungan, atau kita sudah begitu dewasa
dan matang sehingga lingkungan apapun tidak memberi efek apapun.
Jadi masih mau pilih-pilih dalam bergaul dan
berteman? Mau sampai kapan bambang. Bagaimana kalau suatu saat kita terpaksa
hidup di suatu tempat dan tidak ada pilihan sama sekali untuk keluar dari
lingkungan yang sama sekali berbeda dan asing menurut definisi kita? Apa mau
tetap mengisolasi diri yang justru sering kali menyusahkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar