Resource Distribution and Resource Curse: Telaah Pemikiran Vanhanen dan Ross tentang Demokrasi


Demokrasi merupakan arena pertarungan bagi beragam aktor dalam memperebutkan kekuasaan. Proses kompetisi yang sehat mengharuskan adanya konsensus dibanding konflik yang bersifat merusak dan anarki. Meskipun secara empiris demokrasi dianggap sebagai sistem yang final dan paling mapan dibuktikan dengan banyaknya negara di dunia yang menganut demokrasi, namun dalam tataran teoritis, demokrasi masih memunculkan dialektika perdebatan diantara para pemikir soal apa makna demokrasi sesungguhnya dan faktor apa yang dapat mengkondisikan demokrasi. Adalah Vanhanen dan Ross, dua pemikir yang coba mengikuti arus perdebatan tersebut dengan manawarkan gagasan inti bahwa demokrasi memerlukan hadirnya redistribusi sumber daya yang merata ke seluruh elemen masyarakat. Argumen terebut sekaligus menyangkal teoritasiasi demoktasi yang sebelumnhya sudah mapan. Katakanlah Lispet yang berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi sebagai prasyarat demokrasi. Bagi Vanhanen argumen Lipset tidak relevean, seolah negara miskin tidak ada masa depan bagi demokasi. Bagi Vanhanen, negara kaya dan negara miskin sama-sama bisa menciptakan sistem demokrasi dengan syarat adanya distribusi sumberdaya yang seimbang dan merata (No resources distribution no democracy). Pemikiran Ros nampaknya juga setarikan nafas dengan Vanhenen dengan lebih banyak mendalami tenang politik sumber daya yang menjelaskan mengapa suatu negara memilih untuk demokrasi sementara yang lain bertahan dengan otoriter. Tulisn ini mencoba mengelaborasi lebih mendalam, dua pemikir tersebut.

Distribusi Politik dan Ekonomi: Syarat Demokrasi
            Tatu Vanhanen dalam bukunya berjudul “Prospect of Democracy: A Study of 172 Countries” mengajukan argumen bahwa demokratisasi terjadi di bawah kondisi di mana sumber daya kekuasaan telah didistribusikan secara luas sehingga tidak ada kelompok yang dapat menekan pesaing atau mempertahankan hegemoni. Dengan kata lain, demokrasi berjalan di negara-negara yang berhasil menjalankan sumber daya ekonomi dan politik secara merata. Konsekuensinya, ketika sumber daya hanya digenggam oleh segelintir elit atau kelompok, maka sistem yang berlangsung bukan demokrasi melainkan aristokrasi meskipun  pemilu tetap diselenggarakan. Vanhanen menggunakan dua variabel untuk mengukur distribusi kekuasaan politik yaitu kompetisi dan partisipasi. Distribusi sumber daya politik dapat dilihat pada meratanya sejumlah jabatan politik diantara kelas-kelas sosial yang ada di masyarakat dengan mengedepankan partisipasi yang luas dan kompetisi yang sehat dalam mengatur perebutan kekuasaan. Sementara distribusi ekonomi mencerminkan adanya pengelolaan sumber daya materil di masyarakat tanpa mengeksklusi kelompok lain.
            Vanhanen melakukan studi 172 negara menggunakan metode kuantitatif untuk melihat prospek demokrasi di negara-negara yang dikaji. Ia menggunakan enam variabel untuk mengukur sejauh mana distribusi sumber daya di suatu negara. Pertama, jumlah populasi urban dari keseluruhan populasi. Persentase populasi perkotaan diasumsikan menunjukkan secara tidak langsung distribusi sumber daya ekonomi dan organisasi. Semakin tinggi persentase penduduk perkotaan, semakin beragam kegiatan ekonomi dan kelompok kepentingan ekonomi, dan akibatnya, semakin banyak sumber daya ekonomi didistribusikan di antara berbagai kelompok. Kedua, jumlah mahasiswa di universitas dengan asumsi bahwa semakin banyak penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi di suatu wilayah mencerminkan semakin merata distribusi sumber daya di negara tersut. Ketiga, presentase populasi melek huruf dari keseluruhan populasi orang dewasa. Keempat, presentase populasi melek huruf dari keseluruhan populasi orang dewasa. Kelima, persentase tanah pertanian keluarga dari keseluruhan tanah yang ada. Terakhir, tingkat pembagian sumber daya ekonomi non pertanian.
            Metode riset yang digunakan oleh Vanhanen dapat membantu memprediksi negara mana yang cenderung menjadi negara demokrasi liberal dan sebaliknya. Prediksi Vanhanen meliputi: 1) Sistem demokrasi akan bertahan dan menjadi stabil di Eropa Timur; 2) Demokrasi bertahan di Amerika Latin, meskipun masih sulit untuk menstabilkan institusi demokrasi; 3) Demokrasi baru akan muncul di negara-negara Muslim Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Tengah; 4) masih sulit untuk membangun dan menstabilkan sistem demokrasi di Afrika sub-Sahara, dan beberapa negara demokrasi baru mungkin akan runtuh dalam perebutan kekuasaan yang kejam; 5) Sistem demokrasi akan bertahan di Asia Selatan, meskipun mereka masih dalam bahaya di Bangladesh dan Nepal khususnya karena kemiskinan yang ekstrem, dan demokrasi baru mungkin muncul di Maladewa; 6) Di Asia Timur dan Asia Tenggara, Taiwan (ROC) akan melewati ambang demokrasi, dan tekanan untuk demokratisasi akan meningkat di Cina dan Indonesia khususnya; dan 7) Dukungan eksternal dapat membantu kelangsungan demokrasi di negara-negara pulau kecil dan miskin di Oceania.
Menurut Vanhanen untuk menciptakan distribusi yang merata maka perlu adanya langkah strategis yang harus dilakukan: Pertama, mengubah struktur sosial yang mempengaruhi distribusi sumber daya ekonomi dan kekuatan intelektual. Kedua, mendirikan lembaga-lembaga politik yang memungkinkan untuk berbagi kekuasaan secara demokratis antara kelompok-kelompok yang bersaing. Vanhanen pada dasarnya menyadari bahwa variabel yang dia gunakan untuk mengukur distribusi sumber daya dan demokrasi tidak selalu komprehensif. Terdapat faktor lain dan yang dieksplorasi secara mendalam. Misal dalam variabel politik Vanhanen tentang kompetisi dan partisipasi sebagai contoh di El Savador, kompetisi dan partisipasi tinggi artinya indeks demokrasi baik, tetapi secara empiris, negara tersebut tidak juga bisa dikatakan demokratis kerena militer memanipulasi dan mengintervensi dua varibel tersebut. Sama halnya dengan kasus di Indoensia pada masa orde baru dimana pemilu dimanipuasi dan direpresi oleh militer. Begitu pula sama halnya pada masa reformasi yang lebih banyak menghasilkan praktik patronase dan money politics dalam ruang kompetisi dan partisipasi politik. Bagi Vanhanen, berharap keteraturan dalam demokrasi sangat sulit karena setiap negara memiliki kontkes sosial-politik dan sejarah yang bervariasi. Meskipun demikian, gagasan Vanhanen memberi nilai tambahan dalam demokrasi sehingga tidak lagi terkurung sebatas demokrasi prosedural lewat pemilu. Kompetisi dan partisipasi dalam pemilu di negara yang menjalankan demokrasi menjadi tidak bermakna tanpa hadirnya distribusi suber daya ekonomi dan politik secara inklusif dan berkeadilan di tengah masyarakat.

Demokrasi dan Kutukan Sumber Daya Alam
            Setarikan nafas dengan Vanhanen yang menekankan pada distribusi sumber daya sebagai basis demokrasi, Michael R Ross menelaah lebih jauh menegani politik sumber daya. Dalam tulisannya berjudul “Does Oil Hinder Democracy?” mencoba menganalisa kaitan sumber daya alam yang melimpah terutama minyak terhadap demokrasi di negara-negara yang diberkahi kekeyaan sumber daya alam. Studi Ross dilakukan dengan melakukan survei secara kuantitatif terhadap 13 negara di tahun 1971-1977. Anggapam umum yang telanjur mapan adalah bahwa kekayaan sumber daya alam akan menciptakan tatanan politik yang demokratis. Ross berusaha menantang anggapan tersebut dengan mengajukan pertanyaan apakah kekayaan minyak di negara-negara timur tengah menghalangi demokrasi atau tidak. Jika tidak ada demokrasi di negara tersebut, mengapa dan apa faktor yang mengkondisikan hal demikian.
            Bedasarkan hasil studi Ross, negara-negara timur tengah yang dikarunia minyak melimpah tidak menciptakan sistem demokrasi yang ada justru terjebak dalam kubangan rezim otoriter. Menurut Ross terdapat tiga alasan untuk menjelaskan temuan tersebut. Pertama, efek rente. Pemerintah di negara yang memiliki sumber daya melimpah menerapkan sistem tarif pajak yang rendah kepada masyarakat. Strategi ini dilakukan untuk mengurangi tekanan masyarakat menunutut akuntabilitas pemerintah terhadap sumber pendapatan dan keuangan negara yang diperoleh dari kegiatan pengolahan minyak. Logikanya, pengenaan tarif pajak yang besar, membuat masyarakat akan menuntut akuntabilitas keuangan negara.  Tentu hal demikian akan mengganggu pemerintah dan elit penguasa karena pada umumnya pejabat negara terlibat dalam praktik rent-seeking atas keuangan negara yang diperoleh dari hasil industri minyak.
Selain penggunaan tarif pajak rendah, pemerintah juga melakukan dua strategi lain yaitu: spending effect dan group formation. Spending effect maksudanya adalah efek pengeluaran untuk menciptakan praktik patronase guna menghambat gerakan demokratisasi. Dalam hal ini, pemerintah menggunakan anggaran negara dari pendapatan hasil ekstraksi minyak ini untuk bertindak sebagai patron yang bersedia memberikan sejumlah materi kepada elit politik untuk dikonversi menjadi loyalitas elit politik atau pejabat negara yang berperan sebagai klien. Pola ini pada akhirnya menciptakan praktik rent-seeking. Sementara group formation mencerminkann adanya kehendaka pemerintah untuk mengunakan uang negara untuk menekan pembentukan kelompok-kelompok civil society yang pro demokrasi. Ross mengutip argumen Putnam bahwa “modal sosial dan pembentukan lembaga sipil yang mandiri di luar negara, cenderung mengarah pada demokrasi. Karena itu pemerintah berusaha mengkooptasi kelompok dan organisasi masyarakat sipil atau jika perlu menghilangkan sama sekali dengan memberikan banyak kucuran uang sehingga tidak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk menuntut akuntabilitas keuangan pemerintah.
            Kedua, efek represi. Selain menggunakan keuangan untuk meredam bangkitnya kekuatan oposisi, pemerintah juga menggunakan institusi kemanan militer sebagai alat kekerasaan (forces) untuk menekan stabilitas politik dan ekonomi. Lonjakan dalam pendapatan memungkinkan pemerintah untuk membangun angkatan bersenjata dan melatih pengawal presiden khusus untuk membantu menjaga ketertiban. Kekayaan sumber daya menyebabkan konflik sehingga pemerintah perlu menggunakan cara-cara represif untuk menekan konflik karena akan membuat situasi negara yang tengah fokus pada kegiatan industri pengelolaan minyak yang mendatangkan banyak sumber keuangan.
            Ketiga, efek modernisasi, yaitu pertumbuhan yang didasarkan pada ekspor minyak dan mineral gagal membawa perubahan sosial dan budaya yang cenderung menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Padahal modernisasi mengisyaratkan adanya perbuahan sosial politik yang ditandai dengan spesialisasi pekerjaan, urbanisasi, dan tingkat pendidkan tinggi yang kemudian bermuara akhir pada terciptanya pembangunan ekonomi. Perbuahan sosial memiliki korelasi bagi kemungkinan menuju tatanan yang demokratis. Karena itu pemerinat di negara-negara timur tengah enggan melakukan modernisasi karena akan mengganggu upaya negara dalam berburu rente.
            Apabila di telaah lebih lanjut terkait bangunan argumen yang ditawarkan Ross, maka akan terlihat bahwa kekayaan sumber daya (minyak dan mineral) di suatu negara tidak serta merta menghasilkan sistem demokrasi tetapi yang terjadi justru sebaliknya, hadirnya sistem otoriter. Keberadaan sumber daya alam yang melimpah justru berubah menjadi kutukan sumber daya (resoure curse). Akar masalah yang memunculkan kutukan sumber daya adalah ditutupnya akses informasi dan ketelibatan publik dalam mengelola sumber daya alam dan mengontrol pendapatan negara yang dihasilkan dari industri sumber daya ekstraktif. Akuntabilitas pemerintah yang rendah memicu praktik rent seeking yang mencektak perilaku korup para pejabat negara. Akibatnya terjadi pemusatan kekayaan material pada tangan individu dan sekelompok orang. Distribusi sumber daya yang tidak merata ini kerap kali memicu ketegangan dan konflik di tengah masyarakat baik konflik horizontal maupun vertikal. Kutukan sumber daya alam juga terjadi diakibatkan adanya ketergantungan yang belebih terhadap industri ekstraktif. Negara telampau berfokus pada kegiatan ekspor barang mentah yang akan hilang jika diproduksi secara terus-menerus ketimbang mengalihkan pada upaya industri manufaktur. Booming kelimpahan sumber daya alam membuat negara tidak memiliki inisiatif dalam melakukan inovasi kebijakan.
            Demokrasi menuntut hadirnya redistribusi sumber daya yang setara tanpa melihat apakah suatu negara tersebut dibekali kelimpahan sumber daya alam atau miskin sumber daya. Kuncinya berada pada tata kelola institusi pemerintahan yang membuka ruang partisipasi dan keterbukaan informasi kepada publik untuk untuk ikut mengontrol resources. Jika Vanhanen menyebut tanpa distribusi sumber daya tanpa demokrasi. Maka Ross mengingatkan bahwa sumber daya yang tidak terdistribusi merata akan menciderai demokrasi, yang kemudian dikenal sebagai kutukan sumber daya (resources curse).

Rujukan
Ross, Michael L. “Does Oil Hinder Democracy?” World Politics, vol. 53, no. 3, 2001, pp. 325–361. JSTOR, www.jstor.org/stable/25054153.
Vanhanen, Tatu. 1997. Prospect of Democracy: A study of  172 countries. London & New York: Routledge.


           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar