Refleksi Marketing Politik dalam Politik Lokal di Indonesia

Tumbangnya rezim otortarian Soeharto, telah membawa Indonesia menuju tatanan politik yang lebih demokratis. Dibukanya keran kebebasan telah menandai masuknya era reformasi. Partai politik seolah mendapat angin segar untuk bangun dari tidur panjangnya setelah 32 tahun dipaksa tidur oleh negara. Kembali menjamurnya partai politik sama seperti pada masa awal kemerdekaan telah membawa Indonesia menuju babak penting dalam konstelasi politik dimana saat ini aktor-aktor kekuatan politik nyaris seimbang karena tidak lagi tersentralisasi di tangan negara. Kehadiran partai menjadi salah satu aktor kekuatan politik yang patut diperhitungkan, mengingat terdapat aturan formal yang mengindikasikan bahwa penempatan kursi legislatif dan eksekutif berangkat dari sebuah kandidasi dalam partai politik.
Di lain pihak, reformasi membawa konsekuensi pada hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Diterapkannya sistem desentralisasi menjadi penanda bahwa kekuasaan telah terdistribusi secara merata ke tingkat lokal sehingga tidak lagi menjadi domain negara. Desentralisasi menjadi salah satu instrumen bagi terciptanya arus gelombang demokratisasi di aras lokal yang sejalan dengan meningkatnya partisipasi politik masyarakat lokal. Karena itu dinamika dalam perpolitikan lokal menjadi perhatian yang menarik pasca reformasi.
Perpolitikan lokal telah menjadi arena kontestasi bagi elit politik dalam memperebutkan kekuasaan baik di ranah eksekutif maupun legislatif di tingkat lokal. Pilkada menjadi gerbang utama yang membuka kontestasi politik tersebut karena didalamnya terdapat kompetisi elektoral antar elit. Karenanya, partai politik, calon kandidat dan unsur society menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dalam praktik perpolitikan lokal karena mereka menjadi bagian penting sebagai aktor dalam Pilkada.
Dalam sistem kompetisi elektoral yang demokratis, memberikan keleluasaan bagi partai politik dan kandidiat untuk menggunakan strategi politik secara bebas dalam memenangkan Pilkada tanpa harus takut dibayang-bayangi adanya paksaan dari pihak manapun. Artinya kompetisi bersifat terbuka, bebas dan fair. Hal ini pula telah memaksa partai politik dan kandidat sebagai peserta pemilu untuk memikirkan strategi yang handal sehingga mampu menarik simpati pemilih dan sukses dalam Pilkada. Tidak heran jika kemudian marketing politic menjadi instrumen yang penting dalam membantu partai atau kandidat untuk bisa berhasil dalam kontestasi elektoral tersebut. Di satu sisi marketing politic merupakan konsekuensi diterapkanya sistem demokrasi. Singkatnya, praktik marketing politic turut mewarnai perpolitikan lokal. Atas dasar inilah, tulisan ini merupakan sebuah refleksi terkait marketing politic dalam politik lokal di Indonesia.

Praktik Pemasaran Politik di Tingkat Lokal
            Praktik pemasaran politik di tingkat lokal tentu berbeda-beda sesuai dengan karateristik yang dimiliki setiap daerah. Meski beragam, tetapi setiap daerah pasti melakukan pemasaran politik kepada pemilih untuk tujuan suksesi pada pemilu di tingkat lokal. Menurut Firmanzah (2007) marketing politik merupakan sebuah alat atau metode bagi partai politik dan kandidat untuk melakukan pendekatan kepada publik. Melalui marketing politik informasi mengenai partai politik atau kandidiat lebih mudah didistribusikan kepada publik sehingga terjadi feed back atau hubungan timbal balik antara partai politik dan masyarakat. Adanya interaksi antara partai politik dan kanididat kepada masyarakat akan memberikan pembelajaran sehingga proses demokrasi akan terjadi.
            Menurut Niffeneger (dalam Firmanzah, 2007) strategi marketing dalam dunia politik salah satunya adalah menggunakan mix marketing atau dikenal dengan istilah 4P (product, promotion, price, place). Jika dilihat secara sekilas 4P ini, maka tak nampak perbedaan dengan dunia marketing konvensional/bisnis. Karena itu, yang membedakan dengan marketing politik adalah bahwa: product mencakup platform dan ideologi partai/kandidat, rekam jejak, karakteristik personal/image. Promotion adalah program kerja yang ditawarkan kepada publik melalui kampanye, debat, dan iklan politik. Price mencakup economic cost, pysicology cost dan national image effect. Sedangkan place berkaitan dengan bagaimana product tersebut didistribusikan oleh partai/kandidiat kepada pemilih. Bisa melalui pertemuan secara tatap langsung maupun melalui sosial media. Selain 4P tersebut, strategi marketing politik membutuhkan tigas hal yang juga penting yaitu Targeting, Segmenting dan Positioning (TSP).
            Namun, menurut hemat penulis bahwa pada beberapa daerah – jika tidak dikatakan semuanya, praktik pemasaran politik yang dilakukan oleh partai atau kandidiat di tingkat lokal berlum berjalan secara maksimal sesuai dengan teori dan konsep marketing politik. Hal ini didasarkan atas beberapa temuan diantaranya: pertama, kepercayaan publik terhadap partai rendah. Partai politik baik pada tataran nasional maupun lokal  belum memperlihatkan kinerja yang memuaskan bagi publik. Fungsi-fungsi partai seperti fungsi pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan belum berjalan secara optimal. Hal ini dikarenakan partai hanya hadir pada saat momentum pemilu saja namun absen pasca pemilu. Belum lagi, partai terlibat dalam berbagai kasus seperti elit partai yang korupsi, konflik internal partai dan program kerja yang elitis dan pragmatis. Partai telah kehilangan identitas demokrasi dan ideologinya.  Hal ini yang kemudian menjadi alasan rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap patai. Berdasarkan hasil survey menunjukan bahwa partai politik mengalami krisis public trust dari tahun ke tahun. Hasil survey dari lembaga Survei Saiful Mujani Research and Consulting pada tahun 2016 misalnya,  menunjukkan tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik hanya sebesar 52,9 persen (http://nasional.kompas.com).
Rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap partai mengindikasikan bahwa marketing politik yang dilakukan oleh partai gagal dalam proses pembentukan branding dan image politik yang baik kepada pemilih sehingga pemilih tidak memiliki ketertarikan terhadap institusi partai. Padahal sejatinya, substansi dari pemasaran adalah proses mempengaruhi publik agar tertarik dengan produk yang ditawarkan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan produk politik adalah gagasan, platform dan nilai politik yang diadopsi partai.
Kedua, partai/kandidat tidak mempunyai positioning yang jelas. Positioning menjadi penting dalam marketing politik sebagai ciri khas yang membedakan dengan partai/kandidat lain. Meskipun partai pada dasarnya memiliki ideologi yang menjadi platform dalam menentukan identitas dan arah kebijakan partai yang berbeda dengan partai lain, namun dalam praktik empiris, konstelasi politik hari ini jutru menunjukkan kekaburan pada ideologi partai sehingga nyaris sulit untuk membedakan entitas partai satu sama lain. Praktik politik partai catch all menjadi salah satu alasannya. Padahal jika mengacu pada logika markerting, seharusnya partai menjual produk unggulan yang menjadi kekuatan sekaligus pembanding dengan partai lain. Bagi penulis, jika partai menjual produk yang sama dengan partai lain, maka untuk apa marketing dijalankan.
Senada dengan partai, calon kandidiat di daerah belum menunjukkan positiong yang jelas. Program kerja yang ditawarkan terkesan jargonistik dan belum mampu memunculkan diskursus apa yang sebenarnya terjadi dan dibutuhkan oleh pemilih sehingga sulit untuk membedakan program kerja unggulan antara calon satu dan yang lain. Pemasaran politik lebih menonjolkan pada aspek fisik kandidat dan politik identitas. Padahal, jika kandidat berhasil dalam memasarkan program kerja kepada pemilih, tentu ini akan menjadi nilai lebih bagi kandidat karena dapat menyisir pemilih dengan perilaku memilih rasional dan kritis. Pilkada Banten menjadi relevan untuk hal ini, dimana kandidat terjebak pada isu seputar dinasti dan PKI, padahal ada isu lain yang lebih substansial seperti pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan – yang sebenarnya bisa menjadi daya jual bagi kandidat.
Ketiga, marketing politik masih menggunakan cara tradisional. Dalam konstelasi politik lokal, baik partai politik maupun kandidat dalam hal berkampanye masih menggunakan cara tradisioal seperti pawai, konser musik dan rapat umum. Padahal melihat perkembangan zaman hari ini, penggunaan digital secara maksimal dalam dunia marketing politik menjadi sebuah keniscayaan. Daerah-daerah yang dianggap sudah menggunakan politik digital baru terjadi pada daerah kota besar saja seperti Jakarta, Bandung, Surabaya. Sementra daerah lain belum mencapai ke arah ini.  

Faktor-Faktor Lain
            Perlu diakui bahwa marketing politik hanya menjadi salah satu instrumen yang digunakan oleh partai atau kandidat untuk sukses dalam pemilu. Di luar marketing politik sesungguhnya ada banyak faktor yang menentukan keberhasilan partai politik dan kandidat dalam menguasai konstelasi politik lokal di Indonesia. Faktor-faktor tersebut seperti politik uang, patron client dan politik kartel. Faktor-faktor tersebut bahkan pada beberapa daerah sangat menentukan kompetisi elektoral dibandingkan menggunakan metode marketing politik. Di Banten misalnya, faktor politik uang lebih dominan dalam memperkirakan peluang kemenangan calon. Dimana semakin banyak uang yang didistribusikan kepada masyarakat maka peluang untuk menang semakin besar. Fenomena ini tentu tidak lepas dari faktor karakteristik perilaku pemilih di Banten yang tradisional dan rendahnya kualitas pendidikan politik pemilih.

Fenomena politik uang di Banten ini selaras dengan hasil survey yang dilakukan oleh dosen politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Hamid. Hamid mengatakan bahwa partisipasi politik masyarakat di Banten sebagian besar digerakkan oleh money politic. Artinya, masyarakat menggunakan atau tidak menggunakan hak pilihnya dilatarbelakangi oleh adanya pemberian berupa uang atau barang dari pasangan calon. Lebih jelasnya perhatikan gambar dibawah ini: 

Gambar I


Gambar II


Sumber: Abdul Hamid. 2015. Disampaikan dalam Seminar Nasional di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten dengan tema "Pilkada Berintegritas Tanpa Money Politics".

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa pemberian sesuatu dari pasangan calon kepada masyarakat menjelang Pilkada berkorelasi terhadap preferensi pilihan mereka. Bahkan, kasus di Kota Serang justru data yang diperoleh sangat mencengangkan dimana sebesar 92,5% masyarakat akan menerima pemberian dari pasangan calon dan akan memilihnya. Karena itu mengapa kemudian sangat marak terjadi politik uang di Banten menjelang Pilkada.
Kasus pada Pilkada Lampung juga menarik untuk disoroti, bukan karena politik uang tetapi faktor politik kartel (Sujatmiko, 2016). Kasus Pilkada Kota Bandar Lampung tahun 2015 telah menyebabkan terjadinya praktik kartel dimana mayoritas partai politik mendukung pencalonan petahana karena adanya potensi kemenangan maksimal pada pilkada selanjutnya. Tidak heran jika kemudian sebanyak enam partai politik berbondong-bondong mengusung pencalonan petahana (Sujatmiko, 2016). Politik kartel terjadi ketika partai berusaha menjalin hubungan yang harmonis dengan kekuasaan negara (dalam hal ini pemerintah daerah) untuk mendapatkan akses atas sumber-sumber keuangan negara secara illegal. Hal ini dilakukan guna menghidupi partai karena keuangan internal partai tidak memadai untuk menjamin keberlangsungan partai. Melalui penguasaan proyek pemerintah, penggunaan APBD, pengisian pos-pos jabatan strategis dan politik anggaran, menjadi peluang bagi partai untuk mengeruk sumber finansial.
Munculnya Politik patron-client dan fenomena local strongmen juga menjadi bagian yang turut mewarnai perpolitikan lokal di beberapa daerah. Kekuasaan Fuad Amin di Bangkalan, Madura yang sukses meraih kursi Bupati tidak lain karena adanya pengaruh dari politik patron-client. Fuad menempatkan posisinya sebagai sang patron karena memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi politik. Sedangkan elit bawahannya mulai dari birokrat sampai akar rumput (termasuk Kyai dan Blater) menjadi client setia Fuad Amiin. Mereka menjadi tunduk dan patuh terhadap titah dan kehendak Faud demi mendapatkan sumber daya politik dan ekonomi dengan konsekuensi bersedia membantu Fuad guna mempertahankan kekuasaan secara absolut.
Faktor-faktor seperi politik uang, politik kartel dan patron-client sebagaimana yang telah di paparkan diatas tidak heran mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi partai atau kandidat dalam kontestasi politik lokal. Faktor tersebut bisa saja menggeser atau bahwa menghilangkan marketing politik sebagai salah satu intrumen utama bagi partai dan kandidat dalam berinteraksi dengan pemilih untuk sukses dalam Pilkada. Konsekuensinya, ketika suatu daerah sangat kental dan identik dengan faktor-faktor lain sebagaimana yang telah dipaparakan sebelumnya, membuat makna dari marketing politik nyaris tidak berarti dalam konstelasi politik lokal.

Pemanfaatan Digital dalam Pemasaran Politik
            Memasuki era digitalisasi seperti saat ini, keberadaan internet dan media sosial menjadi sebuah keniscayaan. Tidak hanya digunakan sebagai media komunikasi dan sarana hiburan, internet dan media sosial kini menjadi gaya politik baru bagi politisi dalam membangun image politik sekaligus mobilisasi pemilih. Kampanye modern menggunakan teknologi dan internet menjadi fenomena baru dalam marketing politik. Tentu ada banyak keuntungan yang didapat oleh politisi ketika menggunakan cara kampanye modern dibandingkan dengan cara konvensional. Selain dapat memangkas pembiayaan politik, kampanye modern menggunaan teknologi juga dapat menyentuh pasar (pemilih) yang lebih luas tanpa ada batas waktu dan wilayah sehingga kampanye dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
            Di Indonesia, kampanye secara digital sudah banyak dilakukan oleh elit politik dalam pemilu baik pada tataran nasional maupun lokal. Kemenangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 silam mengalahan incumbent tentu tidak lepas dari peran marketing politik yang dijalankan oleh Jokowi-Ahok dalam memobilisasi pemilih. Jokowi-Ahok berhasil melakukan kampanye kreatif lewat media sosial terhadap segmentasi pemilih dari kalangan muda. Di lain pihak, partisipasi pemilih menjadi meningkat karena dengan berkampanye lewat media sosial terjadi interaksi antara pemilih dan kandidat. Banyak yang kemudian pemilih dari kalangan pemuda terjun kedalam dunia politik dan menjadi bagian dari tim pemangan pasangan calon. Hal ini bisa dilihat bagaimana masifnya dukungan suara relawan Jokowi-Ahok.
            Namun, keberhasilan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI dalam menggunakan politik digital, tidak lantas diikuti oleh daerah lain dalam konstelasi politik lokal. Sebagain besar daerah dalam berkampanye masih terjebak pada cara-cara tradisional/konvensional. Seperti mengadakan hiburan rakyat melalui konser musik, pawai, dan pemasangan spanduk. Meskipun cara ini masih relevan dalam konsep marketing politik tetapi tidak memberikan efek domino yang cukup kentara bagi perkembangan dunia marketing politik. Selain itu, kampanye secara tradisional hanya menempat-kan pemilih sebagai objek politik bukan subjek politik sehingga partisipasi pemilih cenderung karena alasan mobilisasi bukan berangkat dari I’tikad baik pemilih. Di Banten (dan mungkin di daerah yang lain) misalnya, kampanye politik lebih banyak bergantung pada pemanfaatan spanduk dan baliho sebagai sarana untuk memperkenalkan calon kandidat. Menurut hasil survey KPU Banten yang dilakukan setelah Pilkada Gubernur tahun 2017 menunjukkan bahwa spanduk dan baliho masih menjadi alat kampanye dominan bagi pasangan calon. Temuan ini mengindikasikan bahwa keber-adaan teknologi dan internet kurang dimanfaatkan secara optimal oleh partai politik maupun kandidat dalam konstestasi pemilu.
Padahal penggunaan teknologi dan internet dalam marketing politik perlu dipertimbangkan ulang guna menghasilkan kampanye yang efektif dan efisien. Karena pada dasarnya kunci marketing politik hari ini terletak pada teknologi dan media sosial. Melaui kampanye modern, partai dan kandidat memungkinkan mendapatkan donor dari pemilih sehingga tidak harus bergantung pada pembiayaan politik dari partai dan harta yang dimiliki kandidiat. Ketika sebuah daerah belum beralih dari cara marketing politik secara konvensional, maka dapat dipastikan bahwa daerah yang bersangkutan tidak mengalami perubahan sosial politik yang cukup signifikann karena terlampu nyaman dengan cara-cara lama yang sebenarnya bisa dikatakan sudah tidak relevan lagi.      



Daftar Pustaka
Firmanzah. 2007. “Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas”. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Sujatmiko, Putri Ananda. 2016. “Kartelisasi Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Bandar Lampung Tahun 2015”. Skripsi: UNILA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar