Pilkada dan Perpustakaan: Perpustakaan Sebagai Wadah Pendidikan Politik Bagi Masyarakat

 
P
ilkada serentak merupakan sebuah konsep yang baru dalam konstelasi politik lokal di Indonesia. Pilkada serentak belakangan menjadi isu yang menarik untuk didisduksikan karena dalam prosesnya terdapat dinamika perpolitikan yang sangat kompleks, menyangkut proses sirkulasi pergantian elit lokal hingga munculnya figur pemimpin-pemimpin lokal yang berprestasi dan kemudian naik jenjang ke ranah nasional. Pilkada juga memberi ruang belajar kepada masyarakat dalam iklim berdemokrasi yang sehat dan kompetitif. Kehadiran partisipasi masyarakat sipil lokal untuk menentukan calon-calon pemimpin yang berkualitas turut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam rangkaian pilkada serentak.
Pilkada serentak juga akan diselenggarakan di Kota Serang tepatnya pada tahun 2018 mendatang. Sebagai sebuah ibukota Provinsi, Serang tentu memiliki daya pikat politik tersendiri dibanding kabupaten atau kota lainnya di Banten sebab adanya rasa prestisius bagi setiap calon atau  partai yang mampu tampil sebagai pemenang. Meski pesta demokrasi lima tahunan ini akan dilaksanakan tahun depan, namun hiruk-pikuk politik dan persaingan para elit dalam kontestasi Pilkada Kota Serang sudah terasa memanas. Hal ini dapat dilihat dari mulai bermunculannya spanduk-spanduk bakal calon Walikota yang terpampang disepanjang jalan protokol bahkan hingga ke ploksok desa. Ada banyak wajah-wajah baru yang muncul ke permukaan, namun tidak sedikit pula yang berasal dari para pemain lama. Spanduk tersebut dikemas sedemikian rupa dan dibuat semenarik mungkin untuk memikat hati pemilih melalui dengan berbagai janji perubahan yang ditawarkan kepada masyarakat.
Pilkada di Kota Serang untuk musim ini nampaknya akan menemukan sebuah kompetisi yang menarik. Pasalnya, Khairul Zaman sebagai Walikota terpilih tidak dapat mencalonkan diri  karena sudah dua periode secara beruntun menjabat sebagai Walikota. Artinya tidak ada incumbent yang mengikuti kontestasi Pilkada sehingga setiap calon nyaris memiliki kesempatan yang sama untuk tampil sebagai pemenang sehingga kompetisi politik dipandang lebih terasa fair. Meskipun belakangan muncul figur Vera Nurlaela Zaman yang digadang-gadang akan maju dalam bursa Pilkada Kota Serang, dimana Vera dianggap merepresentasikan dari kubu incumbent karena tidak lain sebagai istri petahana.
Terlepas dari hiruk pikuk politik dalam diskursus Pilkada Kota Serang saat ini, sesungguhnya ada satu hal penting yang sangat urgen untuk didiskusikan secara lebih lanjut yakni bagaimana melibatkan partisipasi masyarakat sehingga mereka merasa menjadi bagian yang integral dan komrehensif dari prosesi Pilkada. Partisipasi aktif dan peran serta masyarakat menjadi penting sebagai salah satu indikator keberhasilan dalam pemilu. Ketika partisipasi masyarakat tinggi maka kepala daerah terpilih akan memiliki legitimasi yang kuat. Begitu pula, partisipasi masyarakat yang tinggi memiliki peran yang strategis dalam menentukan masa depan daerah lima tahun kedepan. Karena itu kualitas pendidikan politik bagi masyarakat menjadi penting untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya  untuk memilih calon-calon pemimpin yang berkualitas.

Pentingnya Pendidikan Politik dalam Konteks Pilkada
            Pendidikan merupakan salah satu aspek yang terpenting dalam menunjang aktivitas dan kehidupan manusia. Pendidikan ibarat sebuah lentera yang mampu dijadikan sebagai pijakan dalam menentukan arah dan tujuan. Dalam konteks Pilkada tentu pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan politik yang berkelindan dalam ranah seputar pemilihan termasuk didalamnya hak untuk memilih dan dipilih.
Sebuah negara yang menganut sistem demokratis sangat memberikan ruang yang lebar atas partisipasi masyarakat untuk ikut serta dalam pemilu sekaligus menjadi kandidiat calon pemimpin. Hal ini berangkat dari sebuah pemahaman bahwa wujud nyata dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat (masyarakat). Masyarakat yang berdaulat adalah mereka yang mampu mengerahkan segala kekuatannya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara mandiri tanpa harus didominasi oleh pihak lain, seperti militer, birokrat, oligarki dan lainnya.
            Untuk mencapai rakyat yang berdaulat dan mandiri dalam konteks pemilu, maka diperlukan pendidikan politik yang memadai bagi masyarakat. Miriam Budiardjo (2013:407) secara sederhana mendefinisikan bahwa pendidikan politik sebagai “suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Ia adalah bagian dari proses yang menentukan  sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban.” Dalam konteks pilkada, pendidikan politik akan berguna bagi masyarakat dalam menentukan sikap politik mereka melalui pemberian hak suara terhadap pasangan calon kepala daerah.
Dalam scope yang lebih luas, pendidikan politik ini pula akan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam mengawasai jalannya roda pemerintahan pasca Pilkada. Artinya, proses elektoral tidak berhenti hanya dibilik suara saja, tetapi masyarakat memiliki kewajiban sekaligus tanggungjawab untuk menjamin bahwa pemimpin yang terpilih menjalankan program kerjanya sebagaimana yang ditawarkan kepada publik saat masa kampanye. Begitu pula mereka dapat melakukan kritik sekaligus evaluasi jika dianggap terdapat hal-hal yang menyimpang dari kepala daerah terpilih dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Ikhwal tersebut menjadi penting sebab apabila masyarakat kurang mendapatkan pendidikan politik yang memadai akan berimbas pada timbulnya sikap apolitis. Yang lebih mengkhawatirkan, Kepala Daerah dapat melakukan tindakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) ketika tidak adanya mekanisme pengawasan dari masyarakat yang bersangkutan.
Namun yang menjadi tantangannya adalah partisipasi politik masyarakat tersebut sangat  berbanding lurus dengan kualitas pendidikan. Artinya, menjadi sesuatu yang mustahil ketika kualitas pendidikan yang rendah dapat menumbuhkan kesadaran politik bagi masyarakat. Masyarakat dengan pendidikan rendah cenderung bersifat apolitis bahkan yang lebih parah tidak peduli dengan calon pemimpin masa depan mereka.
Di kota Serang, isu mengenai pendidikan masih dalam proses perjalanan yang panjang. Ikhwal ini paling tidak dapat terkonfirmasi dari sebuah kondisi dimana masih terdapat masyarakat di Kota Serang yang mengalami buta aksara. Pada tahun 2016 saja, ada sekitar 1000 orang yang buta aksara (www.bantenraya.com). Meski angka tersebut mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, namun keberadaannya tetap memprihatinkan dan perlu mendapatkan perhatian serius. Permasalahan masyarakat yang mengalami buta aksara ini tentu akan menghambat proses pemilihan itu sendiri. Dimana, orang yang bersangkutan akan sulit dalam menentukan calon pemimpin mereka secara maksimal karena tidak didukung oleh nalar kritis karena minimnya literasi.
Tidak hanya itu, menurut hasil survey tentang pemilihan kepada daerah (Pilkada) di Banten yang dilakukan oleh Abdul Hamid selaku pakar politik sekaligus dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Baca: Untirta) menerangkan bahwa partisipasi politik masyarakat di Kota Serang sebagian besar digerakkan oleh money politic. Artinya, masyarakat menggunakan atau tidak menggunakan hak pilinya karena dilatarbelakangi oleh adanya pemberian berupa uang atau barang dari pasangan calon. Lebih jelasnya perhatikan gambar dibawah ini:

Gambar 1


Sumber: Abdul Hamid (2015)

            Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa pemberian uang dan sembako menempati urutan teratas tekait bentuk pemberian dari pasangan calon yang disukai oleh masyarakat menjelang Pilkada. Kasus Kota Serang menunjukkan bahwa sebesar 17,5% masyarakat di Kota Serang memilih pemberian Uang dan sebesar 27,5% memilih pemberian sembako. Meskipun persentase keinginan masyarakat terkait pemberian uang dan sembako di Kota Serang lebih rendah jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Banten, namun angka tersebut mengkonfirmasi bahwa masih ada sebagian masyarakat di Kota Serang yang mengharapkan pemberian sesuatu dari pasangan calon saat Pilkada. Yang lebih mengejutkan, dari hasil survey tersebut menunjukkan bahwa pemberian sesuatu dari pasangan calon kepada masyarakat berpengaruh terhadap pilihan mereka saat pencoblosan.

Gambar 2

Sumber: Abdul Hamid (2015)

Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa pemberian sesuatu dari pasangan calon kepada masyarakat menjelang Pilkada berkorelasi terhadap preferensi pilihan mereka. Dalam kasus di Kota Serang justru data yang diperoleh sangat mencengangkan dimana sebesar 92,5% masyarakat akan menerima pemberian dari pasangan calon dan akan memilihnya. Angka ini sangat fantastis jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Banten. Sangat ironis, Kota Serang yang notabene-nya sebagai ibukota provinsi namun dalam konteks Pilkada justru sebagian masyarakatnya menggunakan hak pilih karena dilatarbelakangi oleh adanya money politic. Sebuah fenomena yang seharusnya tidak terjadi karena termasuk dalam kampanye negatif dan menyebabkan makna demokrasi tercederai.
Kondisi demikian tentu tidak lepas dari faktor pendidikan politik masyarakat di Kota Serang. Kualitas pendidikan politik yang rendah pada akhirnya akan berpengaruh pada perilaku memilih masyarakat (voting behavior). Dimana masyarakat dengan kualitas pendidikan yang rendah dalam hal melakukan pertimbangan untuk memilih pasangan calon cenderung tidak didasarkan atas pilihan-pilihan rasional yang idealis-kritis, tetapi lebih digerakkan oleh mobilisasi masa dan politik uang. Konsekuensinya, kualitas Pilkada yang berintegritas menjadi tercederai. Tentu saja hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut, sebab momentum pilkada seyogyanya tidak hanya sebatas urusan menang-kalah dalam berebut kursi kekuasaan, tetapi lebih luas lagi yaitu bagaimana Pilkada dapat memberikan pendidikan yang berharga bagi masyarakat dalam praktik hidup berdemokrasi. Terkhusus dalam menggunakan hak pilihnya secara bijak. Oleh karena itu kualitas pendidikan masyarakat ini perlu ditunjang oleh berbagai sektor disertai dengan komitmen bersama dari berbagai pihak.

Perpustakaan Sebagai Wadah Pendidikan Politik
            Pendidikan politik seyogyanya terus berjalan sepanjang waktu agar terciptanya kematangan politik bagi seseorang dalam menentukan keputusan-keputusan politik termasuk memilih calon kandidat. Ada banyak agen-agen yang bergerak dalam memberikan pendidikan politik , diantaranya agen keluarga, sekolah, peer group (teman sebaya), media masa, pemerintah, dan partai politik. Agen-agen tersebut berperan dalam proses belajar dan melakukan transfer pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma politik dari generasi satu ke generasi yang lainnya. Dari sini individu dapat mengenali sistem politiknya secara sadar sehingga berparuh pada penentuan sikap politik seseorang.
            Namun bagi penulis, ada satu agen pendidikan politik yang apabila dapat dimanfaatkan secara optimal akan berkontribusi pada terwujudnya kesadaran masyarakat dalam berpolitik. Agen tersebut adalah Perpustakaan atau dengan sebutan lain yang semisalnya seperti TBM (Taman Bacaan Masyarakat). Perpustakaan dianggap sebagai gudang ilmu pengetahuan karena menyimpan banyak sumber literasi. Namun selama ini, Perpustakaan atau TBM pada umumnya – termasuk di Kota Serang hanya sebatas sebagai sumber literasi secara konvensional dimana masyarakat khususnya pelajar datang untuk membaca berbagai buku bacaan atau sekedar mengerjakan tugas sekolah. Perpustakaan atau TMB belum terlibat secara lebih jauh dalam kontestasi pemilu atau Pilkada – tentu dalam hal ini kapasitasnya sebagai institusi yang ikut berperan dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.   
            Perpustakaan dapat berperan sebagai agen pendidikan politik misalnya dengan menambah banyak referensi buku seputar kepemiluan. Tentu hal ini menjadi nilai lebih tersendiri bagi perpustakaan yang bersangkutan karena akan menjadi sumber pengetahuan yang baru bagi para pembaca terkhusus mengenai kepemiluan. Selain itu, bagi masyarakat yang hendak mengetahui perihal pemilu di daerahnya secara komprehensif, Perpustakaan dapat mengakomodasi hal tersebut dengan manjadi bank data yang kredibel melalui penyediaan sumber-sumber literasi. Tentu saja, sumber literasi yang dimaksud lebih menonjolkan aspek pendidikan politik yang menekankan pentingnya berpartisipasi aktif dalam pemilu dan menggunakan hak pilihnya secara bijak. Adapun untuk bahan atau materi bacaan disesuaikan dengan segmen masyarakat. Artinya ada sumber bacaan untuk anak, remaja, dan umum. Meskipun untuk urusan ini sudah terakomodasi pada lembaga pemilu seperti di KPU Banten dengan membangun “Rumah Pintar Pemilu” (semacam perpustakaan khusus mengenai kepemiluan), namun bagi penulis akan lebih optimal jika perpustakaan konvensional dapat turut mengakomodasi ikhwal tersebut. Pasalnya sejauh ini, Perpustakaan dirasa lebih akrab dikalangan masyarakat ketimbang masuk pada instansi pemilihan (KPU daerah).
            Selain menyediakan sumber literasi terkait kepemiluan, Perpustakaan pula dapat bekerjasama dengan KPU di daerah terkait untuk mengadakan diskusi atau dialog publik terkait sosialisasi mengenai kepemiluan. Misalnya dalam konteks Pilkada Kota Serang, maka KPU Kota Serang dalam melakukan sosialisasi mengenai Pilkada bisa masuk ke ranah perpustakaan yang terdapat di Kota Serang. Hal ini tentu menjadi sebuah gagasan baru yang dianggap anti mainstream, dimana sosialisasi pemilu yang biasanya diadakan di lembaga pendidikan seperti sekolah atau kampus, tetapi dapat pula masuk pada ranah Perpustakaan.
            Sementara bagi TBM atau komunitas pegiat literasi dan semisalnya dapat pula berkontribusi dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat sekitar. Dimana pengurus atau relawan dapat memberikan sedikit pencerahan kepada masyarakat seputar kepemiluan seperti pentingnya memilih dalam konteks Pilkada maupun mengenai bagaimana hak pilih mereka semestinya digunakan. Tentu saja ide ini dianggap efektif mengingat TBM atau komunitas literasi pada umumnya lebih banyak menyentuh segmen masyarakat yang secara pendidikan masih kurang seperti anak jalanan, anak putus sekolah, dan lainnya. Tidak menjadi permasalahan apakah mereka sudah terdaftar sebagai pemilih atau belum, karena pada dasarnya pendidikan politik ini mesti bersifat general artinya perlu diterima oleh semua kalangan sebagai upaya menciptakan kesadaran. Justru akan lebih baik jika mereka yang belum terdaftar sebagai pemilih dapat menerima pendidikan politik sedini mungkin, sehingga ketika kelak mereka dewasa sudah terbiasa dalam menghadapi hiruk-pikuk politik menjelang Pilkada.
            Konsep perpustakaan sebagai wadah pendidikan politik bagi masyarakat dalam konteks Pilkada Kota Serang ini harus berjalan secara integral dan komprehensif mulai dari perpustakaan yang terdapat di tingkat Kota Serang sampai perpustakaan-perpustakaan ditingkat desa/kelurahan (beberapa desa/kelurahan kini sudah banyak yang memiliki TBM). Perpustakaan-perpustakaan inilah yang kemudan menjadi salah satu motor penggerak dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat namun tetap sesuai pada kapasitasnya.



Beberapa Catatan
            Meskipun perpustakaan dapat menjadi agen dalam memberikan pendidikan politik kepada mayarakat dianggap dapat menjadi alternatif  ditengah kondisi masyarakat yang apolitis dan kualitas pendidikan yang rendah, tentu saja ada beberapa catatan penting yang perlu diperhatikan: Pertama,perpustakaan atau TBM harus tetap berada pada porsinya yakni sebagai lembaga yang menjadi sumber literasi dan pengetahuan guna turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Artinya, ketika perpustakaan berinisiatif dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dalam konteks Pilkada harus bergerak pada ranah normatif dengan maksud secara murni turut membantu memberikan kesadaran politik guna menstimulus partisipasi politik masyarakat. Menjadi hal yang sangat keliru manakala pendidikan politik yang diadakan oleh instansi perpustakaan justru bergeser pada aktivitas politik praktis yang pada akhirnya dijadikan sebagai lahan politis bagi pasangan calon dalam berkampanye. Hal demikian merupakan kesalahan yang fatal sebab instansi perpustakaan merupakan ranah yang netral.
            Kedua, perlu ada komitmen dari pasangan calon yang bersangkutan untuk menjadikan pendidikan sebagai isu penting yang perlu diangkat dalam Pilkada Kota Serang. Karena ketika semua pasangan calon memiliki komitmen yang kuat dalam memajukan pendidikan di Kota Serang, maka bukan sesuatu yang mustahil jika kedepan masyarakat Serang akan lebih terpelajar dan berpendidikan. Komitmen tersebut dapat terbukti salah satu misalnya dengan memasukan isu pendidikan menjadi visi-misi utama pasangan calon dengan bentuk konkreatnya seperti tertuang dalam program membangun perpustakaan yang memadai dari level kota sampai ke tingkat desa yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat sekitar.
            Sudah saatnya Pilkada Kota Serang dijadikan sebagai titik tolak bagi perubahan kota yang lebih baik yang ditandai dengan majunya kualitas pendidikan masyarakatnya. Begitu pula kualitas pendidikan politiknya, sebab kemajuan suatu negara dapat dilihat dari partisipasi masyaraktnya dan partisipasi tersebut dapat terjadi jika masyarakatnya sudah tersadarkan dan cerdas dalam keputusan-keputusan politik. Perpustakaan tentu dapat berkontribusi untuk mencapat tujuan tersebut. Wallau’alam.  


Dafar Pustaka
Budiardjo, Miriam. 2013. “Dasar-Dasar Ilmu Politik”. Jakarta: PT Ikrar Mandiri abadi
Hamid, Abdul. 2015. “Riset Tentang Partisipasi Politik Dan Perilaku Memilih Dalam Pilkada Di Banten”. Disampaikan dalam sebuah seminar nasional pada 22 Nov 2016 di kampus Untirta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar