Keywords: Coalition, Political
Party, The elections of Banten in 2017.
Pendahuluan
Koalisi
merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah negara yang menganut sistem
multi-partai. Koalisi menjadi sesuatu yang tidak bisa dinafikan ditengah
kehadiran berbagai partai politik namun disaat yang bersamaan tidak adanya
partai yang tampil sebagai pemenang mayoritas. Apalagi koalisi ini didukung
oleh sebuah regulasi yang memberikan ruang bagi partai untuk bergabung dan
bekerjasama dengan partai lain dalam pengajuan bakal pasangan calon pada
pemilihan presiden maupun kepala daerah melalui sebuah mekanisme sistem
pemilihan yang dikenal dengan istilah presidensial
threshold – yaitu ambang batas bagi partai politik untuk dapat mengusung
pasangan calon.
Hadirnya
partai politik sejatinya merupakan bentuk perjuangan ideologis yang mewakili
karakteristik dari warga negara. Ideologi partai politik ini menjadi platform dan landasan dalam menentukan
arah, tujuan dan keberlangsungan partai sekaligus menjadi identitas partai yang
merepresentasikan para pemilih (voters).
Berangkat dari pemahaman ini, partai politik diharapkan dalam mengedepankan
agenda-agenda partai mulai dari proses perumusan, artikulasi dan agregasi
kebijakan seyogyanya selaras dengan ideologi partai yang ditawarkan kepada
warga negara yang kemudian berdampak pada kepentingan umum. Hal ini senada
sebagaimana yang dikemukakan oleh Agustino (2014:141) bahwa salah satu tujuan
utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan untuk mewujudkan
program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Ideologi partai ini
salah satunya termanifestasikan lewat koalisi partai yang dibangun pada saat
pemilu baik pada tataran nasional maupun lokal.
Namun
fenomena koalisi partai politik yang dibangun dalam setiap perayaan pemilu
dewasa ini justru cenderung abai
terhadap ideologi partai. Hal ini dapat terkonfirmasi misalnya pada kasus
Pilpres tahun 2014 silam. Peta politik seakan terbelah menjadi dua kekuatan
utama dalam mengajukan pasangan calon, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) –
terdiri dari partai PDIP, PKB, Nasdem dan Hanura– mengajukan pasangan calon
Joko Widodo-Jusuf Kalla. Selanjutnya Koalisi Merah Putih (KMP) – terdiri dari
Partai Golkar, Gerindra, PAN, PPP dan PKS yang mengajukan pasangan calon
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Dua koalisi tersebut merwarnai persaingan
pemilihan presiden untuk tampil sebagai pemenang.
Pada
koalisi tersebut ditemukan beberapa anomali; pertama, koalisi cenderung tidak
dibangun atas dasar pertimbangan ideologi partai. Partai Gerindra yang
berideologi nasionalis-sekuler justru dapat berdampingan dengan PPP dan PKS
yang berideologi Islam. Kedua,
meskipun dua koalisi utama ini bersaing secara sengit dalam memperebutkan kursi
kepala negara, namun dalam perjalanannya justru mengalami pergeseran yang cukup
dinamis khususnya pasca Pilpres 2014, dimana partai tidak lagi menunjukan
komitmen terhadap dasar awal pembentukan koalisi. Sebagai contoh, partai PAN
misalnyadimana sebelumnya tergabung dalam barisan KMP namun belakangan ini
pindah barisan ke KIH yang tidak lain merupakan koalisi pendukung pemerintah
yang memenangkan kompetisi pada Pilpres 2014.
Untuk
menjelaskan lebih lanjut mengenai anomali koalisi partai politik dalam konteks
Pilkada, tulisan ini akan menyoroti koalisi partai politik pada Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Banten tahun 2017. Sejak Banten manjadi Provinsi
pada tahun 2000, Pemilihan kepala daerah telah dilaksanakan sebanyak tiga kali.
Dinamika politik lokal pada proses pemilihan pasangan Gubernur dan Wakil
Gubernur Banten sangat menarik untuk disimak. Hal ini tidak lepas dari
karakteristik unik yang dimilki Banten dalam konfigurasi politik lokal. Dimana
terdapat peranan Jawara (local strongmen)
sebagai aktor politik yang sangat berpengaruh di Banten (Hamid, 2014). Begitu
pula dengan peta koalisi partai dalam bursa pencalonan kepala daerah di Banten
juga tidak kalah menarik untuk ditelaah lebih lanjut.
Pada
Pilkada Gubernur 2017 terdapat dua pasangan calon yang sama-sama diusung oleh
koalisi partai yaitu: 1) pasangan Wahidin Halim-Andika Hazrumi diajukan oleh
koalisi partai yang terdiri dari 7 partai (Golkar, Gerindra, Demokrat, PKS,
PKB, Hanura, dan PAN); 2) pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief diajukan oleh
koalisi partai yang teridiri dari 3 partai (PDIP, PPP, dan Nasdem).
Tabel
1
Koalisi Partai Politik dalam Pilkada Gubernur
Banten tahun 2017
Pasangan Calon
|
Partai Pengusung
|
Perolehan Kursi di DPRD
|
Total Kursi
|
Wahidin Halim – Andika Hazrumy
|
Golkar
|
15 kursi
|
57
Kursi
|
Gerindra
|
10 kursi
|
||
Demokrat
|
8 kursi
|
||
PKS
|
8 kursi
|
||
PKB
|
7 kursi
|
||
Hanura
|
6 kursi
|
||
PAN
|
3 kursi
|
||
Rano Karno – Embay Mulya Syarief
|
PDIP
|
15 kursi
|
28
Kursi
|
PPP
|
8 kursi
|
||
Nasdem
|
5 kursi
|
Sumber: KPU Banten, 2017
Dari
fenomena koalisi partai politik pada kasus Pilkada Banten, terdapat beberapa
hal yang menarik untuk dilakukan penelitian lebih lanjut; Pertama, Terjadinya
pergeseran koalisi partai politik pada dua momentum Pilkada Gubernur Banten
pada tahun 2011 dan 2017. Misalnya pada Pilkada Gubernur 2011, partai PDIP dan
Golkar berkoalisi mengajukan pasangan calon Ratu Atut Chosiyah-Rano Karno
tetapi pada pilkada berikutnya di tahun 2017, PDIP dan Golkar tidak tampil
sebagai partai yang berkoalisi dalam mengusung pasangan calon. Artinya peta
koalisi cenderung lebih cair dan tidak permanen. Meski demikian, nampaknya
koalisi partai masih menjadi stategi utama dalam mengusung calon Gubernur dan
Wakil Gubernur
Kedua, kecenderungan pola koalisi partai
politik dalam Pilkada sangat menyebar dan nyaris sulit untuk diramalkan
(Wardani, 2007 : 18). Kecenderungan koalisi partai pada tingkat nasional tidak
selalu selaras dengan pola koalisi partai di aras lokal. Hal ini dapat
terkonfirmasi pada pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2014 misalnya,
dimana partai PDIP dan Hanura tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden Jokowi-Jusuf Kalla. Namun,
pada kasus Pilkada Banten 2017 misalnya partai PDIP dan Hanura justru tampail
bersaing dalam pencalonan gubernur dan wakil gubernur Banten.
Ketiga,
fenomena koalisi partai pada pilkada Banten 2017 cenderung tidak berimbang
dimana Rano-Embay diusung oleh koalisi yang terdiri dari tiga partai, sedangkan
Wahidin-Andika disusung oleh koalisi yang berjumlah sepuluh partai. Tidak heran
jika kemudian mucul istilah borong partai (koalisi gemuk). Meskipun jumlah
partai yang berkoalisi tidak menjamin terhadap hasil pemilu tetapi tentu hal
tersebut akan berkonsekuensi pada proses dan keputusan-keputusan politik
tertentu yang terjadi didalamnya.
Dari
ketiga hal diatas membuat kajian mengenai koalisi partai politik pada Pilkada
Banten 2017 menjadi penting untuk diteliti guna melihat dinamika yang terjadi
pada tubuh partai politik sebagai mesin utama dalam proses memunculkan kandidat
yang akan bersaing pada bursa Pilkada.
Metode Penelitian
Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara
dengan beragai informan yang dianggap relevan pada masalah yang dibahas dalam
penelitian ini. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil studi literatur
dan data-data pendukung lainnya yang berkaitan dengan koalisi partai politik
dalam lanskap politik lokal.
Untuk menganalisa dinamika koalisi pada Pilkada Banten 2017,
tulisan ini menggunakan dua teori utama sebagai pisau analisa yaitu teori
koalisi dan teori oligarki. Koalisi menurut Arend Lijphard
(1984)
dapat dikelompokkan secara
garis besar menjadi dua kelompok yaitu, koalisi yang tidak didasarkan atas
pertimbangan kebijakan (policy blind-coalitions)
tetapi hanya untuk memaksimalkan kekuasaan dan koalisi yang didasarkan pada
preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasikan (policy-based colitions). Bentuk koalisi kelompok pertama
menekankan prinsip ukuran atau jumlah kursi di parlemen, minimal winning coalitions dan asumsi partai bertujuan “office seeking” (memaksimalkan
kekuasaan). Bentuk koalisi seperti loyalitas peserta koalisi tidak terjamin dan
sulit diprediksi.
Sementara koalisi kelompok
kedua menekankan kesamaan dalam preferensi kebijakan, minimal conected coalition (terdiri dari partai-partai yang sama
dalam skala kebijakan dan meniadakan patner yang tidak penting), dan asumsi
koalisi partai, bertujuan “policy
seeking”, yaitu mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai.
Hasil
dan Diskusi
Tahun 2017 merupakan tahun politik bagi
Provinsi Banten karena menjadi salah satu daerah yang menyelenggarakan pilkada
serentak tahap kedua. Paling tidak terdapat 101 wilayah, yakni 7 provinsi, 76
kabupaten dan 18 kota yang mengadakan kontestasi elektoral di tingkat lokal.
Pilkada serentak di Provinsi Banten menjadi istimewa karena melibatkan
partisipasi seluruh warga Banten yang tersebar di delapan kabupaten dan kota.
Geliat politik dari partai dan calon kandidat kian memanas tatkala mendekati
masa-masa penentuan bakal pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Bahkan,
warga Banten turut harap-harap cemas menunggu kepastian dari partai politik
ditengah penantian hadirnya sepasang figur yang berkualitas dan berintegritas
untuk memimpin Banten lima tahun kedepan ke arah perubahan yang lebih baik.
Secara umum pelaksanaan Pilkada Banten
yang diselenggarakan serentak secara nasional pada tanggal 15 Februari 2017
berjalan dengan lancar tanpa adanya permasalahan yang berarti. Meskipun
demikian terdapat beberapa catatan yang penting untuk diperhatikan. Pilkada
Banten berdasarkan pengamatan Bawaslu dan sejumlah stakeholder masuk dalam urutan ketiga secara nasional sebagai
daerah yang rawan terjadinya konflik dan politik uang. Selain itu, dalam proses
pelaksanaan pemilihan pada Pilkada Banten juga diwarnai oleh adanya Pemungutan
Suara Ulang (PSU) di 15 TPS yang berada di Kecamatan Teluk Naga Kabupaten
Tangerang. PSU dilaksanakan sesuai dengan hasil kesepakatan bersama antara KPU
dan Bawaslu Banten karena terjadi tindakan yang menyalahi prosedur dimana PPS
membuka kotak suara setelah pemungutan suara tanpa disaksikan oleh panitia
pengawas dan saksi dari calon. PSU yang digelar di 15 TPS ini memiliki nilai
yang strategis bagi pemenangan pasangan calon karena potensi suara diperkirakan
mencapai 7.000-8.000 suara. PSU tersebut
kemudian diselenggarakan pada tanggal 17 Februari 2017.
Ditengah berbagai temuan kasus
pelanggaran dalam proses pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
periode 2017-2022, Pasangan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy akhirnya berhasil
memenangkan pertarungan elektoral. Wahidin Halim dan Andika unggul tipis jika
dibandingkan dengan perolehan suara Rano Karno dan Embay Mulya Syarief.
Berdasarkan hasil rekapitulasi manual yang dilakukan oleh KPU Banten, pasangan
Wahidin Halim-Andika Hazrumy meraih 2.411.213 suara atau 50,95 persen sementara
pasangan Rano Karno-Embay Mulya Syarief meraih sebanyak 2.321.323 suara atau
49,05 persen. Wahidin halim-Andika Hazrumy unggul tipis dengan selisih suara sebesar 1,90 persen atau sebanyak
89.890 suara. Sedangkan tingkat partisipasi pemilih mencapai 62,78 persen.
Kubu pasangan Rano Karno dan Embay
Mulya Syarief nampaknya merasa keberatan dengan
hasil perolehan yang ada. Terlebih melihat fakta secara hukum terdapat
kecurangan dalam proses Pilkada sebagaimana kasus yang ditemukan di Kabupaten
Serang dan Kota Tangerang terkait money politics dan pelanggaran prosedural
panitia penyelenggara pemilu. Mereka mengajukan gugatan hasil pemilihan kepala
daerah Provinsi Banten ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun upaya gugatan ke MK
tersebut ditolak karena dianggap tidak mempunyai legal standing yang kuat.
Sebagaimana diketahui dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan
Kepala Daerah terdapat regulasi yang mengatur tentang persyaratan dalam
pengajuan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara.
Hal menarik lainnya dari Pilkada
Gubernur Banten adalah mengenai dinamika koalisi partai politik dalam
pencalonan pasangan gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada Banten 2017.
Koalisi partai politik tersebut kemudian memunculkan dua pasangan calon yang
bersaing dalam kontestasi elektoral di Banten sebagaimana dapat dilihat pada
tabel dibawah ini:
Pasangan Calon
|
Partai Pengusung
|
Ideologi Partai Pengusung
|
Wahidin Halim dan Andika Hazrumy
|
Golkar (15 kursi)
|
Nasionalis-Sekuler
|
Gerindra (10 kursi)
|
Nasionalis-Sekuler
|
|
Partai Demokrat (8 kursi)
|
Nasionalis-Religius
|
|
PKS (8 kursi)
|
Islam
|
|
PKB (7 kursi)
|
Pluralis Berbasis masa islam tradisional
|
|
Hanura (6 kursi)
|
Nasionalis-Religius
|
|
PAN (3 kursi)
|
Pluralis Berbasis masa islam modernis
|
|
Rano Karno dan Embay Mulya Syarief
|
PDIP (15 kursi)
|
Nasionalis-Sekuler
|
PPP (8 kursi)
|
Islam
|
|
Nasdem (5 kursi)
|
Nasionalis-Sekuler
|
Sumber: Peneliti, 2017
Pasangan Wahidin Halim dan Andika
Hazrumy didukung oleh koalisi dengan anggota koalisi yang paling banyak
berjumlah tujuh partai politik. Konfigurasi ideologi partai politik bervariasi.
Dua partai beraliran nasionalis sekuler yaitu Golkar dan Gerindra, dua partai
dengan ideologi pluralis berbasis masa Islam yaitu PAN dan PKB, dua partai
beraliran nasionalise-religius terdapat pada Partai Demokrat dan Hanura
sedangkan partai yang beraliran Islam ada satu yaitu PKS. Berbanding terbalik,
pasangan Rano Karno dan Embay Mulya Syarief didukung oleh koalisi partai yang
terbilang cukup ramping yaitu sebanyak tiga partai. Meski demikian, konfigurasi
ideologi partai pengusung juga beragam. Dua partai beraliran nasionalis-sekuler
terdapat pada PDIP dan Nasdem serta satu partai berideologi Islam yaitu PPP.
Jika melihat dikotomi koalisi partai
politik diantara kedua pasangan calon nampak bahwa dua partai besar yang
memiliki kekuatan politik cukup kuat di Banten tidak bergabung membentuk
koalisi. Dua partai besar yang dimaksud adalah Golkar dann PDIP, ihwal ini
menjadi menarik sebab dalam perjalanan pesta demokrasi elektoral di Banten
menunjukkan bahwa Golkar dan PDIP selalu bergandengan membentuk sebuah koalisi
dalam pencalonan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur. Namun, Golkar dan PDIP
bersebrangan dalam konteks Pilakada Gubernur Banten di tahun 2017. Apakah
kemudian konfigurasi peta koalisi partai politik pada Pilkada Banten Banten
2017 mempertimbangkan aspek ideologis atau tidak, maka akan terlihat dari
proses dan dinamika politik yang terjadi didalamnya sehingga kemudian
partai-partai berhasil memunculkan dua pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur.
Koalisi Partai Pendukung Pasangan Calon Wahidin Halim dan
Andika Hazrumy
Proses memasangkan Wahidin Halim yang berasal dari Partai
Demokrat dengan Andika Hazrumy yang berasal dari Golkar dan kemudian diikuti
oleh lima partai lain yang bergabung dalam barisan koalisi bukanlah sebuah
perkara yang tanpa dihiasi dinamika politik yang terjadi diantara partai
politik. Dari sudut pandang Partai Golkar misalnya, sempat terjadi dilema dalam
menentukan figur yang akan diusung dalam formasi calon gubernur dan calon wakil
gubernur. Sebelumnya sempat muncul nama-nama lain yang juga berpotensi mendapat
restu dari Golkar.
Terjadi
konflik internal di tubuh partai Golkar karena adanya perebutan mengenai siapa
kandidat yang akan maju pada kontestasi Pilkada Banten berdasarkan dukungan
partai Golkar. Konflik tersebut terjadi antara Andika Hazrumy dan Haerul Jaman
yang sama-sama menginginkan restu dari Golkar sebagai calon gubernur. Oleh
karena itu dalam mengusulkan nama bakal calon ke DPD Golkar Provinsi Banten,
suara di pengurus partai tingkat Kabupaten/Kota terpecah. Dari 8 DPC Partai Golkar di tingkat
Kabupaten/Kota, Haerul Jaman diusulkan oleh 2 DPC Kabupaten/Kota yaitu Kota
Serang dan Kota Cilegon sedangkan selebihnya mengusulkan Andika Hazrumy.
“Karena di dalam juklak DPP Partai Golkar tentang Pilkada
bahwa Pilkada Provinsi itu harus mengusulkan nama berdasarkan hasil pleno DPD
Partai Golkar tingkat Provinsi, yang kemudian nama yang harus digodog dalam
rapat pleno itu adalah hasil dari rapat-rapat pleno di tingkat kabupaten/kota.
Nah dari kabupaten kota pak Andika diusungkan oleh 8 DPC kabupaten/kota dan pak
Jaman hanya diusulkan oleh 2 kabupaten/ kota. Sehingga secara poin, Pak Andika
lebih berpotensi untuk diusung dalam Pilgub. Termasuk Bu Tatu misalnya, kan
beliau baru terpilih dalam Pilkada Kabupaten Serang 2015 kemarin, tentu Bu Tatu
harus menyelesikan terlebih dahulu tugas-tugasnya di Serang”. (wawancara dengan
Bahrul Ulum, sekretaris DPD Golkar Provinsi Banten).
Sepak
terjang Haerul Jaman harus terhenti ketika Golkar mendeklarasikan nama Andika
Hazrumy sebagai calon Gubernur Banten. Keberhasilan Andika Hazrumy yang
mendapat restu dari Golkar sebenarnya tidak luput dari peran strategis yang
dimiliki ibunya, Atut Chosiyah yang memiliki jejaring sangat kuat dengan DPP.
Sebelum penangkapan Atut Chosiyah, mantan Gubernur Banten ini pernah menduduki
jabatan strategis di DPP Partai Golkar sebagai Bendahara. Begitu pula dengan
ayahnya Andika, Alm. Hikmat Tomet yang pernah menjadi ketua DPD Golkar di
Banten dianggap turut berkontribusi dalam membesarkan nama Golkar di Banten.
Sementara jabatan ketua DPD Golkar Banten saat ini ditempati oleh bibinya
Andika, yaitu Ratu Tatu Chasanah. Hal ini ditambah dengan pengalaman politik
Andika yang cukup luas sebagai politisi yang pernah menjabat di DPD dan DPR RI
sekaligus ketua Karang Taruna Provinsi Banten. Atas dasar inilah yang kemudian
membuat Andika mempunyai posisi yang kuat untuk dicalonkan oleh Golkar
menandingi Haerul Jaman.
Haerul
Jaman tidak puas dengan keputusan politik DPD Golkar yang mengusung Andika
Hazrumy sebagai calon gubernur. Karena itu, Haerul Jaman tetap meneruskan
ambisi politiknya dengan mendaftar ke partai lain termasuk ke PDIP dengan
menawarkan diri sebagai bakal calon pendamping Rano Karno. Keputusan politik
Haerul Jaman yang tetap “keukeuh” maju sebagai bakal calon pada Pilkada Banten
2017 membuat suhu politik di tubuh Golkar memanas karena adanya dua kader
partai yang bersaing dalam proses pencalonan. Tidak ingin membuat keadaan
semakin pelik, Ratu Tatu Chasanah yang kapasitasnya sebagai Ketua DPD Golkar
Banten akhirnya “memecat” Jaman dari jabatannya sebagai Plt DPC Golkar Kota
Serang. Jaman beranggapan bahwa upaya pemecatan dirinya dari kepengurusan
Golkar tidak lain sebagai upaya dari pihak Andika Hazrumy untuk menjegal Jaman.
Dari
sudut pandang Partai Demokrat, pencalonan figur Wahidin Halim dapat dengan
mudahnya diterka. Selain kader internal Partai Demokrat, Wahidin memiliki
pengalaman politik yang cukup matang sebagai mantan Walikota Tangerang dua
periode dan pada saat itu menempati kursi di DPR RI. Kemunculan nama Wahidin
Halim di Partai Demokrat bukanlah calon kandidat tunggal yang berasal dari internal partai.
Terdapat
empat orang kader internal yang berpotensi mendapatkan rekomendasi dukungan
dari Partai Demokrat. Keempat kader tersebut adalah Didik Mukrianto yang kala
itu menempati jabatan sebagai Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR RI.
Tidak hanya itu, Didik juga mempunyai sejumlah jabatan strategis yakni sebagai
ketua umum nasional Karang Taruna sehingga sosoknya dianggap merepresentasikan
kalangan pemuda Banten. Selain Didik Mukriyanto, Partai Demokrat juga mempersiapkan kader
lainnya seperti Aeng Haerudin, Ketua DPD Partai Demokrat Banten, Wali Kota
Tangerang Arief R Wismansyah dan Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya.
Keputusan perihal
rekomendasi dukungan partai berada di tingkat DPP sementara hasil keputusan
politik, Wahidin Halim akhirnya lolos menjadi nama yang mendapatkan restu dari
Partai Demokrat untuk maju pada konstestasi Pilkada Banten. Terpilihnya Wahidin
sebagai kader yang lolos seleksi tentu berangkat dari pertimbangan
hitung-hitungan politik rasional bahwa Wahidin dianggap sebagai figur yang
memiliki banyak pengalaman politik yang cukup matang. Selain karena
kepemimpinannya yang dianggap berhasil selama menjabat sebagai Walikota
Tangerang dua periode, dalam hitung-hitungan elektoral Wahidin selalu menang
mutlak ketika dia menjadi calon Walikota Tangerang dengan perolehan suara
mencapai lebih dari 60 persen. Bahkan saat bersaing dengan pasangan Atut
Chosiyah dan Rano Karno pada Pilkada Banten 2011 lalu, Wahidin mampu menguasai
perolehan suara di wilayah Tangerang sehingga selisih perolehan suara Wahidin
saat itu secara keseluruhan tidak terlalu besar dengan perolehan yang diraih
Pasangan Atut Chosiyah dan Rano Karno.
Wilayah Tangerang
memiliki geopolitik yang cukup strategis karena memiliki jumlah penduduk yang
besar. Meskipun demikian, betapapun luasnya pengalaman politik yang dimiliki
Wahidin tentu tetap menjalin komunikasi politik dengan partai lain mengingat
perolehan suara Partai Demokrat di DPRD Banten tidaklah signifikan yaitu hanya
memiliki 8 kursi. Artinya, baik Wahidin Halim dan Partai Demokrat tidak bisa
menutup diri mengajak partai lain untuk membentuk koalisi.
Berbeda dengan Golkar
dan Partai Demokrat yang mengusung pasangan calon berasal dari internal partai,
partai-partai yang lain ikut merapat dalam barisan koalisi pendukung Pasangan
Wahidin Halim dan Andika Hazrumy. Namun bukan berarti tidak ada dinamika
politik yang terjadi didalamya. PKS misalnya, sebenarnya mencoba mendorong
kader internal untuk maju dalam kontestasi Pilkada Banten. Tersebut nama Anton
Apriyanto, kader Partai PKS yang juga tercatat pernah menjabat sebagai Menteri
Pertanian pada masa Susilo Bambang Yudhoyono periode 2004-2009, ditambah beliau
merupakan putra daerah yang lahir di Serang, Banten. Tetapi Anton menolak
tawaran PKS untuk maju pada Pilkada Banten jika hanya dipasangkan sebagai calon
wakil gubernur. Terdapat “gengsi politik” ketika kapasitas Anton sebagai mantan
menteri namun di tanah kelahirannya pada ajang Pilkada Banten hanya ditempatkan
sebagai wakil gubernur. Padahal Anton sebenarnya merupakan figur yang menempati
posisi teratas mengalahkan dari sejumlah nama yang direkomendasikan PKS ke DPP
yaitu Zulkiflemansyah dan Jazuli Juwaeni.
“Sebenarnya kita tertarik waktu
itu dari tim sana juga menawarkan ingin merebut Pak Anton jadi wakilnya karena
Pak Rano-nya sendiri juga sadar ada kelemahan di sisi memimpin birokrasi, maka
tim Rano waktu itu coba ingin menyandingkan Rano dengan Pak Anton. Ini sosok
yang ideal. DPP nya juga tertarik untuk itu. Sayangnya, ketika melakukan lobby beberapa kali dengan Pak Anton
rada sulit, karena pak Anton ngga mau karena mungkin dia itu merasa agak gengsi
karena kapasitasnya pernah menjadi menteri jadi ngga mau kalau jadi wakil kalau
jadi gubernurnya Pak Anton mau”. (wawancara dengan Yoga Pratama, Kabid Humas
DPW PKS Banten).
PKS
tentu saja merasa kesulitan menanggapi keinginan Anton karena tidak mempunyai
kekuatan politik yang memadai untuk mengusung pasangan calon secara mandiri
mengingat PKS hanya memperoleh 8 kursi di DPRD sehingga sangat sulit dalam
mengupayakan Anton untuk maju sebagai calon Gubernur sebagimana keinginannya.
Sebenarnya jika membandingkan dengan Partai Demokrat, PKS punya peluang
mengantarkan Anton menjadi calon gubernur mengingat baik Partai Demokrat maupun
PKS sama-sama hanya memiliki 8 kursi. Tetapi sinyal dukungan partai-partai
koalisi lebih berpihak kepada Wahidin Halim
sementara untuk merapat pada barisan koalisi Rano semakin tidak ada
kemungkinan karena Rano sendiri adalah incumbent
sehingga tidak mungkin Rano mau ditempatkan pada posisi calon wakil gubernur.
Lain
hal dengan PKS, Partai Gerindra memiliki posisi yang sangat strategis dalam
membangun konfigurasi peta koalisi partai politik dalam pencalonan kepala
daerah mengingat posisi Gerindra sebagai partai terbesar ke tiga di DPRD Banten
dengan perolehan 10 kursi. Karena itu, Gerindra tidak nampak terlihat
terburu-buru untuk masuk kedalam barisan koalisi. Berbagai komunikasi politik
terus dilakukan ke berbagai partai politik dengan harapan melalui peta kekuatan
Partai Gerindra yang dimiliki dapat mengusung figur bakal calon yang berasal
dari rekomendasi Gerindra. Tetapi Gerindra tidak mempunyai kader internal
partai yang diunggulkan untuk ditawarkan dalam formasi pasangan calon gubernur
dan wakil gubernur.
Meskipun
sempat beredar spanduk dan baliho Ketua DPD Gerindra Provinsi Banten, Budi
Heryadi yang mendeklarasikan diri sebagai bakal calon, tetapi seiring waktu
berjalan, namanya menghilang dalam pentas dinamika politik dalam hal pencalonan
kepala daerah. Hilangnya nama Budi Heryadi dikarenakan tidak didukung oleh
modal popularitas yang cukup memadai dibandingkan sejumlah nama bakal calon
lain yang jelas lebih unggul secara popularitas dan elektabilitas seperti Rano
Karno, Wahidin Halim, Haerul Jaman dan Mulyadi Jayabaya.
Atas
dasar ini pula Gerindra perlahan mencoba mendekati ATN (Ahmad Taufiq Nuriman)
untuk didorong masuk dalam bursa pencalonan Pilkada Banten. ATN merupakan
mantan Wakil Bupati Kabupaten Serang dua periode. Sebenarnya ATN tidak
mempunyai kendaraan partai politik, karena itu ATN gencar melakukan komunikasi
politik ke berbagai partai untuk mendapat restu. Tetapi restu dari Gerindra
terbuka lebar mengingat figur ATN yang memiliki kedekatan dengan Prabowo dimana
ATN pernah menjadi anak didik Prabowo ketika menjabat sebagai mantan Danjen Kopassus
(www.tangselpos.co.id/ 10 Januari 2018). Posisi ATN ini pula yang kemudian
mengalahkan figur Budi Heryadi meskipun kapasitasnya sebagai ketua DPD Gerindra
Banten.
Selain
memiliki kedekatan personal dengan Prabowo, ATN juga memiliki pengalaman
politik yang lebih unggul dibanding Budi Heryadi. Meskipun demikian, ATN
menyadari bahwa modal sosial dan politik yang dimilikinya belum mampu
mengalahkan bakal calon “mainstream” yang ralatif masih unggul yaitu Rano
Karno, Wahidin Halim, Andika Hazrumy dan Mulyadi Jaya Baya. Karena itu, ATN
hanya berambisi untuk menempati posisi Banten II yaitu calon wakil gubernur
terlepas apakah harus menjadi pendamping Rano Karno maupun Wahidin Halim.
DPP
Gerinda sebenarnya sudah mendeklarasikan akan mengusung ATN sebagai wakil calon
yang akan mendampingi Rano Karno dari PDIP. Hal ini sebagaimana yang tercantum
dalam surat rekomendasi dari DPP Partai Gerindra Nomor
0-325/Rekom/DPPGERINDRA/2016 un-tuk menyandingkan calon gubernur petahana
Rano Karno dan mantan Bupati Serang Ahmad Taufik Nuriman. Surat rekomendasi
tersebut hanya tinggal menunggu keputusan dari PDIP. Artinya ada peluang cukup
besar bagi Gerindra untuk membentuk koalisi dengan PDIP. Sayangnya, surat
rekomendasi dar Partai Gerinda kurang ditanggapi secara serius oleh beberapa
elit di PDIP. DPP PDIP Korwil Jabar-Banten, Ribka Tjiptaning secara personal
tidak menyukai figur ATN. Keduanya sempat berpolemik lantaran ATN kerap
mengaitkan PDIP dengan isu komunis. ATN yang kala itu menjabat sebagai Bupati Serang pernah
mengeluarkan statement yang menyerang
Ribka sebagai anak keturunan komunis.
Polemik yang terjadi antara ATN dan Ribka menjadi penyebab
mengapa DPP PDIP tidak mengeluarkan surat rekomendasi pencalonan yang sama dengan
surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPP Partai Gerindra. Merasa kecewa
dengan keputusan politik DPP PDIP, Partai Gerindra akhirnya berpindah haluan
dengan masuk pada barisan koalisi partai lain. Sayangnya,
keberuntungan belum berpihak pada ATN dan Gerindra, bahwa keputusan politik
dari partai koalisi nampaknya lebih memihak pada figur Wahidin Halim dan Andika
Hazrumy untuk mengisi formasi bakal pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
Sejak saat itu pula nama ATN mulai menghilang dari panggung pencalonan Pilkada
Banten.
Partai
Hanura, PKB dan PAN juga memberikan dukungan terhadap pasangan Wahidin Halim
dan Andika Hazrumy. Dukungan partai dilimpahkan kepada mereka tidak lepas dari
minimnya kader internal partai yang potensial untuk diusung menjadi pasangan
calon gubernur dan wakil gubernur. Dalam proses penjaringan bakal calon, baik
Partai Hanura, PKB dan PAN lebih didominasi oleh figur yang berasal dari
ekternal partai.
Di
Hanura misalnya figur yang mengikuti penjaringan bakal calon di partai tersebut
adalah Dimyati Natakusuma, Andika Hazrumy, Mulyadi Jayabaya, Wahidin
Halim, Tb Hairul Jaman dan Ahmad Taufik Nuriman. Namun figur Wahidin Halim dan
Andika Hazrumy yang akhirnya menempati urutan teratas untuk dipasangkan sebagai
pasangan gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada Banten 2017. Selain tidak
memiliki kader internal yang potensial, Partai Hanura, PKB dan PAN tidak
memiliki kekuatan politik yang cukup kuat mengingat posisi mereka di DPRD
Banten terbilang kecil jika dilihat dari perolehan jumlah kursi sehingga tidak
mempunyai bargaining politik yang
signifikan dalam percaturan pemetaan pasangan gubernur dan wakil gubernur.
Dari
sini nampak terlihat bahwa peran figur sangat mendominasi dalam pembentukan
koalisi partai politik sampai memunculkan paket calon pasangan gubernur dan
wakil gubernur. Bakal calon melakukan komunikasi ke berbagai partai politik
sebanyak mungkin untuk mendapatkan dukungan politik dari mesin partai.
Katakanlah figur Wahidin dan Andika Hazrumy meskipun berasal dari partai yang
besar tetapi mereka tetap melakukan safari politik untuk mengakumulasi
semaksimal mungkin dukungan dari partai politik.
Menjadi
manarik ketika membahas alasan dibalik keputusan Wahidin Halim untuk maju
menjadi calon gubernur bersama Andika Hazrumy. Wahidin pada saat bertarung
dengan Ibunya Andika Hazrumy, Atut Chosiyah pada kontestasi Pilkada Banten 2011
termasuk yang paling vokal dalam mengkritik kinerja pemerintahan Atut Chosiyah
yang dianggap korup dan nepotisme. Wahidin merupakan seteru politik bagi Atut
Chosiyah yang sering berkomentar atas praktik dinasti politik yang dibangun
oleh kelurga Atut Chosiyah dengan tentakel-tentakel yang berdiaspora hingga ke
seantero Banten.
Bahkan
pada saat Pilkada Banten 2011, isu melawan dinasti politik sangat kuat dan
menjadi andalan bagi pasangan Wahidin halim dan Irna Narulita untuk mengkritik
rivalnya, Atut Chosiyah dan Rano Karno. Nyaris tidak pernah ada kemungkinan
bahwa Wahidin akan berdampingan dengan keluarga Atut Chosiyah karena terlanjur
dianggap kotor di mata Wahidin. Komitmen dan kritik Wahidin untuk memerangi
praktik politik dinasti dan korupsi keluarga Atut, telah membuat banyak orang
percaya bahwa sebagai tokoh Banten, Wahidin dengan pengalaman panjangnya di
birokrasi dan politik merupakan figur pemimpin yang memiliki kearifan dan
integritas yang unggul. Wahidin bukanlah tipe pemburu kuasa tanpa basis
moralitas (Sutisna, 2017:97).
Tetapi
nurani dan moralitas politik Wahidin Halim tercederai ketika Ia memutuskan
untuk berpasangan dengan Andika Hazrumy dalam formasi pasangan calon gubernur
dan wakil gubernur pada Pilkada Banten 2017. Banyak publik yang kecewa, Wahidin
yang selama ini dianggap resisten terhadap isu dinasti dan korupsi justru masuk
dalam lingkaran keluarga Atut Chosiyah melalui Andika Hazrumy. Menurut Agus
Sutisna, pakar politik lokal Banten, keputusan Wahidin Halim yang berdampingan
dengan Andika Hazrumy merupakan bentuk inkonsistensi Wahidin. Hal ini tidak
lepas dari adanya pertimbangan-pertimbangan pragmatis Wahidin untuk memenangkan
kontestasi Pilkada. Andika Hazrumy dianggap memiliki semua prasyarat yang
dibutuhkan untuk memenangi pertarungan.
Sebagaimana
diketahui, Andika memiliki jaringan politik yang cukup kuat karena ditopang
oleh kekuatan Golkar. Sampai saat ini Golkar masih menjadi kekuatan politik
yang dominan di Banten melalui jejaring partai yang menembus hingga tingkat grass roots. Posisi Golkar diperkuat
dengan banyaknya kader yang menjadi kepala daerah di kabupaten/kota Provinsi
Banten bahkan memiliki ikatan kekerabatan dengan Andika Hazrumy. Misalnya, Tatu
Chasanah adalah bibi Andika yang menjabat sebagai Bupati Kabupaten Serang.
Begitu pula ada Khairul Jaman, paman tiri Andika yang menjabat sebagai Bupati
Walikota Serang. Sedangkan Airin, kaka ipar Andika yang menjabat sebagai Walikota
Tangerang Selatan. Sementara untuk posisi Bupati Cilegon, Kabupaten dan Kota
Tangerang meski tidak memiliki ikatan kekerabatan dengan Andika namun merupakan
kader yang berasal dari Gokar. Banyaknya kepala daerah di tingkat kabupaten
atau kota yang berasal dari Golkar tersebut tentu dapat membantu Andika dalam
melakukan mobilisasi politik dan menggalang dukungan suara.
Selain
modal politik yang cukup kuat, secara finansial, Andika juga terbilang sangat
siap. Alasan-alasan inilah yan kemudian telah menggeser idealisme seorang
Wahidin untuk kemudian mendekati Andika. Tentu Wahidin tidak ingin jika
kemudian Andika merapat ke Rano karena itu akan sangat menyulitkan bagi Wahidin
dalam memenangkan Pilkada. Keputusan politik Wahidin ini yang kemudian menuai
kekecewaan banyak pihak karena dianggap tidak mampu menjaga konsistensi dalam
berperang melawan korupsi di Banten.
Formasi
pencalonan pasangan Wahidin Halim dan Andika Hazrmuy sebagai calon gubernur dan
wakil gubernur tidak lepas dari dinamika politik yang terjadi didalamnya. Jika
mengikut pada logika politik rasional, Partai Golkar dengan kapasitasnya
sebagai partai besar yang memiliki 15 Kursi di DPRD Banten seharunya mampu
menempatkan Andika Hazrumy sebagai calon gubernur bukan calon wakil gubernur. Berbanding
terbalik, Partai Demokrat yang hanya memiliki 8 Kursi di DPRD Banten tetapi
mampu mengantarkan Wahidin Halim menjadi calon gubernur. Partai Golkar yang
menempatkan Andika Hazrumy pada posisi wakil gubernur berangkat dari
pertimbangan politis bahwa saat itu isu korupsi dan dinasti masih hangat di
Banten terlebih terseretnya Atut Chosiyah, Ibunya Andika dalam jeratan kasus
korupsi yang berimbas pada buruknya image
Golkar.
Menempatkan
Andika Hazrumy sebagai wakil gubernur mendampingi Wahidin Halim merupakan
keputusan politik yang aman baik bagi Golkar maupun Andika sehingga tidak
menimbulkan kesan menghidupkan kembali trah dinasti politik Atut. Karena walau
bagaimanapun, posisi Guburnur biasanya lebih mendapat sorotan dibandingkan
posisi wakil gubernur. Selain itu, Partai Golkar dan anggota koalisi partai
sadar bahwa tidak ideal jika kemudian menyandingkan Andika Hazrumy sebagai
calon gubernur dan Wahidin Halim yang menjadi calon wakil gubernur karena dari
segi kematangan usia dan pengalaman politik, Wahidin Halim jauh lebih unggul
dibandingkan Andika Hazrumy. Atas dasar inilah mengapa kemudian Wahidin
dianggap lebih pantas menempati posisi calon gubernur dan Andika sebagai Wakil
Gubernur.
Partai
Golkar yang hanya menempatkan Andika Hazrumy pada posisi Wakil Gubernur tidak
lepas dari strategi politik yang sedang dimainkan oleh Partai Golkar dan Andika
Hazrumy. Posisi Andika Hazrumy sebagai calon wakil gubernur hanyalah batu
loncatan untuk tujuan politik yang lebih besar. Andika Hazrmy jika berhasil memenangkan
kontestasi pilkada dengan kapasitasnya sebagai calon wakil gubernur tentu akan
mendongkrak popularitas dan elektabilitas Andika pada saat kontestasi Pilkada
Banten periode selanjutnya. Popularitas dan elektabilitas Andika menjadi sangat
berharga bagi Golkar karena Andika diproyeksikan akan menempati calon gubernur
periode pilkada yang akan datang.
Untuk
memuluskan strategi politik tersebut adalah dengan me-lobby pihak Wahidin Halim agar hanya menjabat satu periode. Dengan
kata lain, Partai Golkar tidak menghendaki Wahidin Halim maju kembali pada
kontestasi Pilkada Banten periode selanjutnya. Bargaining politics tersebut paling tidak dapat terkonfirmasi
melalui lobby antara kubu Andika
Hazrumy dengan kubu Wahidin Halim pada saat proses pencalonan dan pembentukan
koalisi.
“Nah kemudian waktu itu saya tau ketika ada pembicaraan
dengan tim sebelah (Golkar dan Andika) itu yang dipimpin TCW (TB Chairi
Wardana) mereka menyodorkan syarat-syarat itu yah yang mengharuskan Wahidin
hanya satu periode. Kemudian dia harus menguasai proyek dinas ini, dinas itu ya
kan ada dinas pendidikan, dinas PU dan lain sebagainya”. (wawancara dengan Yoga
Pratama, Kabid Humas DPW PKS Provinsi Banten).
Dari petikan wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa
keputusan politik Partai Golkar yang menempatkan Andika Hazrumy pada posisi
wakil gubenur dengan berbagai kekuatan dan dominasi Partai Golkar di Banten
bukanlah sebuah kebetulan belaka tetapi ada muatan politis disana yang coba
dipersiapkan oleh Partai Golkar dan Andika Hazrumy dalam menghadapi momentum
politik yang akan datang.
Koalisi Partai Pendukung Pasangan Calon Rano Karno dan Embay
Mulya Syarief
Koalisi partai politik pendukung Rano Karno dan Embay
Mulya Syarief terdiri dari tiga partai politik yaitu PDIP, PPP dan Nasdem.
Koalisi ini memiliki ukuran yang kecil karena hanya terbentuk dari kerjasama
antara tiga partai politik dengan jumlah perolehan kursi di DPRD sebanyak 28
kursi. Sangat berbanding jauh dengan koalisi partai politik yang mendukung
pasangan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy dengan jumlah anggota partai koalisi
sebanyak 7 partai dan perolehan jumlah kursi di DPRD Banten mencapai 47 kursi.
Sebuah fenomena koalisi yang terbilang unik dalam konteks Pilkada Banten dimana
calon yang berasal dari incumbent tidak didukung oleh koalisi partai yang
gemuk. Padahal jika mengacu pada sejarah perjalanan dinamika Pilkada Banten,
calon incumbent selalu sukses menarik perhatian banyak partai.
Posisi Rano Karno dalam kapasitasnya sebagai bakal calon
yang berasal dari incumbent memberikan keuntungan politik tersendiri terutama
dalam hal modal politik berupa popularitas dan elektabilitas Rano Karno. Hal
ini senada dengan beberapa hasil survei dinama Rano selalu menempati posisi
teratas mengungguli bakal calon lainnya dari segi populartias dan
elektabilitas. Misalnya berdasarkan hasil dari lembaga survei Indobarometer
yang dilakukan pada 7-12 April 2016, Elektabilitas Rano Karno mencapai 34,5
persen lebih unggul jika dibandingkan dengan bakal calon lainnya.
Sebenarnya
Rano Karno dan PDIP banyak diminati oleh partai politik untuk membentuk
koalisi. Bahkan Golkar dengan diinisasi oleh Andika Hazrumy pun sempat membuka
komunikasi politik dengan PDIP. Namun, sikap politik PDIP terkesan over
optimistis sehingga tidak membuka lebar ruang komunikasi politik dengan
partai-partai lain untuk berkoalisi. Tawaran koalisi juga sempat datang dari
Gerindra dengan mengajukan Ahmad Taufik Nuriman (ATN) untuk mendamping Rano.
Tetapi tawaran tersebut tidak mendapat respon positif dari PDIP karena beberapa
elit Partai PDIP kurang berkenan terhadap sosok ATN. Penolakan tersebut salah
satunya dikarenakan ATN pernah berpolemik dengan PDIP dimana semasa menjabat
sebagai Wakil Bupati Serang, ATN pernah melontarkan pernyataan bahwa PDIP
adalah komunis. Bahkan ATN dalam sebuah rapat terbuka partai politik pernah
mengeluarkan pernyataan bahwa mendukung Jokowi sama dengan mendukung PKI (www.bantennews.co.id
13 Maret 2018).
PDIP sempat mengalami konflik internal partai karena
adanya perebutan rekomendasi partai perihal siapa figur yang akan maju dalam
bursa Pilkada Banten. Jaya Baya (JB) yang merupakan kader internal PDIP
memiliki ambisi yang kuat untuk maju dalam Pilkada Banten. Berbagai komunikasi
politik sudah gencar dilakukan oleh JB baik ke PDIP maupun ke partai lainnya.
Begitu pula berbagai spanduk dan baliho sudah banyak bertebaran di jalan-jalan
seolah meneguhkan bahwa JB siap maju di Pilkada Banen. Tetapi nampaknya, figur
Rano masih mendominasi sebagai kader yang lebih unggul dibanding JB. Ini tidak
lain dikarenakan oleh kenyataan bahwa Rano merupakan seorang incumbent dengan
popularitas dan elektabilitas yang relatif lebih unggul dibandingkan JB. Meski
demikian, JB juga memiliki modal sosial dan politik yang cukup mumpuni bagi
PDIP, terutama berbicara soal basis masa di Lebak, mengingat JB merupakan
mantan Bupati Lebak dua periode dari kader PDIP.
Jaya Baya sepertinya tidak puas (baca kecewa) dengan
keputusan politik PDIP yang memberikan rekomendasi kepada Rano Karno. JB
akhirnya “membelot” dari PDIP dengan beralih dukungan kepada pasangan calon
Wahidin Halim-Andika Hazrumy. Ini dapat terlihat dari hadirnya JB dalam setiap
deklarasi yang diselenggarakan oleh partai politik pengusung Wahidin
Halim-Andika Hazrumy (www.titiknol.co.id 15 Januari 2018). Namun, keputusan
politik JB untuk mendukung Wahidin Halim dan Andika Hazrumy tidak berlangsung
lama. JB berbalik arah mendukung Rano Karno dan Embay dengan alasan bahwa sikap
politik tersebut berdasarkan instruksi pimpinan PDIP dan sebagai kader partai
yang baik, JB harus man’ut segala keputusan partai.
Tawaran untuk pendamping Rano juga datang dari Nasdem
yang menyodorkan nama Wawan Iriawan. Wawan merupakan ketua DPD Nasdem Provinsi
Banten. Namun, tawaran tersebut juga tidak kunjung mendapat persetujuan dari
PDIP dan anggota partai koalisi. Terlebih, posisi Nasdem sangat lemah mengingat
hanya memperoleh kursi di DPRD Banten
sebanyak 5 kursi sehingga bargaining politic Nasdem dalam mengajukan
calon dari internal partai sangat lemah. Nasdem merapat ke PDIP lebih
menekankan pada alasan figur Rano Karno yang dianggap memiliki kelebihan yaitu:
calon incumbent,memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi berdasarkan
hasil riset dari berbagai lembaga survei (wawancara dengan Aries Alwani,
Sekretaris Wilayah Partai Nasdem Provinsi Banten).
Karena itu yang menjadi peluang untuk mengisi pos calon
wakil gubernur sebenarnya terubuka lebar bagi PPP. Partai yang berasakan Islam
tersebut memiliki kekuatan politik yang cukup signifikan dalam pembentukan peta
koalisi. Namun PPP mengalami dilema perihal calon yang akan direkomendasikan
untuk mendampingi Rano Karno. Sempat muncul nama Mardiono yang berasal dari
kalangan pengusaha. Namun nama Mardiono pun perlahan menghilang dari bursa
pencalonan karena popularitasnya kurang dikenal oleh masyarakat luas. Sampai
pada akhirnya, PPP mengusulkan nama Embay Mulya Syarif untuk mendampingi Rano
Karno.
Kemunculan Embay Mulya Syarief terbilang mengejutkan
publik. Banyak yang tidak menyangka bahwa sosok Embay dapat naik pada bursa
pencalonan kepala daerah sebagai calon wakil gubernur mendampingi Rano Karno.
Pasalnya, Embay tidak pernah terlihat di ruang publik melakukan berbagai
kegiatan sosialisasi atau memasang spanduk dalam bentuk apapun untuk mengklaim
bahwa dirinya akan maju pada Pilkada Banten. Figur Embay yang muncul belakangan
diluar dugaan publik telah melengkapi formasi penempatan pasangan calon gubernur
dan wakil gubernur. Deklarasi pasangan calon Rano Karno-Embay Mulya Syarief
termasuk kalah cepat dengan pasangan calon kompetitornya Wahidin Halim-Andika
Hazrumy. Tentu ini tidak lepas dari adanya tarik menarik yang terjadi antara
Rano dan PDIP serta anggota koalisi dalam memilih calon pendamping Rano.
Majunya Embay sebagai calon Wakil Gubernur Banten
mendampingi Rano tidak lepas dari pertimbangan logika politik pragmatis. Embay
dianggap mampu meng-cover segala kelemahan Rano. Terdapat beberapa poin kelemahan
Rano yang dapat menjadi penghambat bagi Rano dan partai pendukungnya dalam
suksesi kompetisi elektoral.
Pertama,secara sosio-historis Rano Karno bukanlah salah
satu tokoh yang termasuk dalam barisan sejarah para pejuang pendirian Provinsi
Banten. Hal ini akan menjadi kelemahan bagi Rano karena dianggap tidak memiliki
kontribusi bagi pembangunan di Banten. Kedua, secara sosio-kultural, Rano Karno
bukan termasuk tokoh yang berasal dari asli Banten. Padahal dalam konteks
politik lokal di Banten, politik identitas dalam konteks putra asli daerah
(PAD) masih sangat kuat. Kelemahan tersebut semakin diperparah dengan kenyataan
bahwa Rano Karno kurang dalam hal membangun relasi yang intensif dengan
tokoh-tokoh di Banten.
Bagi partai politik, dengan mengangkat figur Embay
sebagai calon wakil gubenur dianggap mampu menetralisir segala kekurangan Rano.
Sosok Embay selain putra asli daerah juga merupakan salah satu tokoh yang
berpengaruh dalam sejarah proses pendirian Provinsi Banten. Selain itu, Embay
merupakan representasi dari kalangan Jawara dan Ulama, dua hal yang sangat
identik dengan masyarakat Banten. Embay merupakan seorang muslim yang agamis
sangat tepat untuk mewakili karakteristik masyarakat Banten yang sangat kental
dengan nuansa keislaman.
Di lain pihak, bagi Rano dengan memilih Embay sebagai
pendampingnya merupakan bentuk konsistensi Rano untuk membangun pemerintahan
yang bersih sehingga tidak memilih calon yang berasal dari lingkaran keluarga
Dinasti Atut. Di awal Rano memang memiliki semangat membangun isu berperang
melawan korupsi. Ini pula yang menjadi penjelasan mengapa Haerul Jaman gagal
mendampingi Rano meskipun sempat mendapatkan tawaran dari berbagai partai
anggota koalisi. Sebab, memilih Jaman sebagai calon wakil Rano dapat menjadi
boomerang karena publik menganggap inkonsistensi Rano.
Sebenarnya, Embay sendiri tidak pernah berniat untuk maju
dalam kontestasi Pilkada Banten. Begitu strategisnya peran dan posisi Embay di
Banten, tawaran untuk maju sebagai calon gubernur atau wakil gubernur selalu
mengalir dari berbagai partai politik, khususnya partai yang berasaskan Islam.
Tidak hanya PPP yang menjadi partai Embay, PKS, PKB dan PAN sering menawari
Embay untuk maju setiap kali memasuki momentum politik di Provinsi Banten. Dari
awal memang Embay konsisten untuk tidak terjun ke dalam dunia politik praktis.
Embay nampaknya lebih nyaman sebagai seorang pengusaha terkenal di Banten.
Namun demikian, berbagai lobby politik yang terus terus dilakukan oleh PPP
telah meluluhkan Embay sampai pada detik-detik terkakhir pendaftaran calon
gubernur dan wakil gubernur ke KPU Banten, Embay tampil sebagai calon wakil
gubernur dari partai PPP mendampingi Rano.
Proses
pencalonan Rano Karno dan Embay Mulya Syarief
terbilang sangat alot dan penuh dengan drama politik. Rano Karno dan
PDIP yang sudah merasa “diatas angin” karena banyaknya hasil lembaga survei
yang mengatakan Rano Karno unggul dari segi popularitas dan elektabilitas,
tetapi dalam proses perjalanannya justru baik Rano Karno dan PDIP mengalami
dilema yang berkepanjangan perihal siapa yang akan mendampingi Rano Kano
sebagai calon Wakil Gubernur. Dibalik terpilihnya Embay Mulya Syarif sebagai
calon pendamping Rano Karno tidak lepas dari dinamika politik didalamnya.
Sebelum Embay muncul ke permukaan, PDIP mengalami konflik internal partai
perihal siapa bakal calon yang akan mendampingi Rano Karno. Baik Rano dan PDIP
kerap tidak menemukan satu kesepakatan politik yang sama mengenai kriteria
calon wakil gubernur untuk Rano.
Polemik
di tubuh PDIP paling tidak terjadi karena adanya ketegangan antara permintaan
di internal DPP PDIP dan Rano Karno. Rano sendiri sebenarnya menginginkan calon
wakil pendampingnya berasal dari seorang birokrat karena menyadari Rano
memiliki kelemahan dalam memimpin birokrasi di Banten. Karena itu munculah nama
Ranta Soeranta (Sekda Banten) dan Asmudji HW (mantan birokrat). Tetapi,
internal DPP PDIP menginginkan Andika Hazrumy dan Haerul Jaman menjadi
pendamping Rano, terlebih kedua nama tersebut memang menginginkan berpasangan
dengan Rano. Karena Andika Hazrumy sudah terlanjut mendeklarasikan diri sebagai
calon wakil gubernur mendampingi Wahidin Halim, maka figur Haerul Jaman menjadi
semakin kuat. Hal ini diperkuat dari sebuah keputusan politik dari elit PDIP di
seluruh tingkat DPC Kabupaten/Kota di Banten secara serempak mengusulkan nama
Haerul Jaman ke DPP PDIP.
Seperti
diketahui, di internal DPP PDIP penggodokan nama pendamping Rano berlangsung
hampir satu bulan. Sejumlah nama yang sejak awal memang disodorkan Rano seperti
Sekda Banten Ranta Suharta, mantan Bupati Serang Ahmad Taufik Nuriman, Walikota
Serang Tb Haerul Jaman, dan mantan birokrat Asmudji HW, perlahan mengerucut ke
dua nama. Pertarungan di DPP meruncing untuk mengunci satu dari dua nama, yakni
Tb Haerul Jaman dan Ranta Suharta. Nama Embay sejak awal tidak pernah masuk
dalam bursa bakal calon wagub yang diusulkan Rano maupun partai koalisi
(www.radarbanten.co.id 13 Maret 2018).
Rano
Karno pada dasarnya tidak berkenan untuk berpasangan dengan Haerul Jaman karena
Ia berkomitmen untuk membangun pemerintahan yang bersih dengan lepas dari
bayang-bayang politik dinasti. Menggandeng Haerul Jaman sebagai calon wakil
gubernur mendampingi Rano merupakan bentuk inkonsistensi Rano. Sebenarnya Rano
sangat berharap internal DPP PDIP mengizinkan dirinya berpasangan dengan calon
wakil pilihannya.
Proses
yang sangat alot dalam proses penentuan calon wakil gubernur yang akan
mendampangi Rano baik antara internal DPP PDIP maupun anggota partai koalisi
membuat PPP kemudian menyodorkan nama Embay Mulya Syarif untuk menjadi
pendamping Rano. Untuk memuluskan rencana tersebut, DPP PPP segera mengeluarkan
surat dukungan kepada Embay untuk mendampingi Rano. Namun permintaan PPP yang
mengusulkan Embay tidak serta merta direspon secara positif oleh internal DPP
PDIP. DPP PDIP Korwil Jabar-Banten, Ribka Tjiptaning tidak menginginkan Rano
berpasangan dengan Embay karena Embay memiliki kedekatan secara personal dengan
Ahmad Taufik Nuriman (ATN). Bahkan seperti diketahui sebelumnya, Embay sempat
menjadi tim sukses ATN dalam proses pencalonan bakal calon.
Dilema
PDIP dalam mencari sosok calon wakil gubernur pendamping Rano tidak kunjung
mendapatkan titik terang karena alotnya proses komunikasi politik diantara
calon kandidat dan PDIP. Namun, detik-detik pendaftaran pasangan calon ke KPU
Banten sudah semakin mendekat. Dalam situasi keterdesakan, akhirnya Embay Mulya
Syarief secara resmi disandingkan dengan Rano Karno. Embay merupakan
rekomendasi dari PPP yang kemudian diterima oleh PDIP. Terkait dengan sosok Embay,
Rano tidak mempermasalahkan bahkan menyambut dengan baik. Tetapi sayangnya,
muculnya Embay di saat-saat injury time membuat namanya tidak tertera dalam
daftar pasangan calon yang diumumkan oleh Sekjen DPP PDIP, Hasto Kristyanto.
Dari
101 calon gubernur dan wakil gubernur, hanya 7 calon kepala daerah yang
nama-namanya disebutkan oleh Sekjen PDIP. Sementara 94 calon kepala daerah
lainnya hanya diumumkan lewat situs resmi PDIP. Dari 7 calon kepala daerah
tersebut untuk Pilkada Banten, hanya nama Rano yang diumumkan sementara nama
calon wakilnya tidak ada. Padahal pada saat malam penentuan itu tepatnya hari
Selasa, 20 September 2016, Embay hadir langsung di kantor DPP PDIP yang
berlokasi di Menteng, Jakarta Pusat. Bahkan pengumuman tersebut disiarkan secara
langung oleh sejumlah televisi nasional (Asiman, 2016: 138-139).
Tidak
adanya nama Embay Mulya Syarief dalam daftar pasangan calon kepala daerah yang
dimumkan oleh Sekjen PDIP disebabkan karena Embay baru saja mendapatkan restu
dari DPP PDIP untuk mendampingi Rano Karno beberapa hari sebelum malam
penentuan pengusungan calon kepala daerah yang diumumkan oleh DPP PDIP.
Meskipun Embay datang langsung menghadiri acara pengumuman dukungan calon oleh
DPP PDIP dan telah menyepakati untuk disandingkan dengan Rano Karno pada hari
sebelumnya tetapi tidak menjamin bahwa Embay benar-benar mendapat restu dari
PDIP. Tidak adanya nama Embay Mulya Syarief dalam daftar nama calon yang
diusung oleh PDIP membuat publik bertanya-tanya perihal siapa bakal calon
pendamping Rano Karno yang sesungguhnya, terlebih pimpinan DPP PDIP tidak
memberikan keterangan secara resmi kepada media perihal tidak adanya nama calon
wakil gubernur pendamping Rano Karno dalam daftar pengumuman pengusungan calon.
Tetapi
semua teka-teki perihal pendamping Rano sesungguhnya mulai menemukan titik
terang pada saat Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri akhirnya
menandatangani rekomendasi pengusungan Rano Karno dan Embay Mulya Syarief
sebagai calon gubernur dan wakil gubernur. Deklarasi pasangan ini berlangsung
di Stadion Maulana Yusuf, Ciceri Kota Serang pada hari Jum’at 23 September
2016.
Dalam
konteks partai politik, terbangunnya peta koalisi dalam pencalonan Rano Karno
dan Embay juga tidak lepas dari pertimbangan komposisi ideologi partai untuk
kepentingan suksesi pada pemenangan pasangan calon yang mereka dukung. PDIP dan Nasdem merupakan partai
dengan aliran nasionalis-sekuler sehingga kedua partai tersebut merasa
mengalami kesulitan dalam melakukan mobilisasi pemilih mengingat berdasarkan
pada kondisi sosio-kultural, pemilih di Banten mayoritas muslim dan masyarakat
Banten sangat kental dengan nuasa Islam. Mengajak partai yang berasakan Islam
atau berbasis masa Islam menjadi sebuah
alternatif bagi PDIP dan Nasdem dalam mengamankan perolehan suara. Saat
itu PPP menjadi partai yang dianggap memiliki sinyal yang kuat untuk bergabung
dengan PDIP untuk mendampingi Rano Karno. PPP memanfaatkan peluang atas
kegamangan dalam proses pengisian calon wakil gubernur yang akan mendampingi
Rano karena alotnya negosiasi politik baik dari sudut pandang PDIP maupun Rano
Karno. Ketika PDIP membuka komunikasi politik dengan PPP, sinyal untuk meminta
rekomendasi nama bakal calon yang akan mendampingi Rano dari PPP semakin
terbuka. Koalisi diantara keduanya menjadi sulit dihindarkan. Dengan kata lain,
pertimbangan koalisi ini berorientasi jangka pendek, ideologi partai hanya
dijadikan simbol untuk tujuan maksimalisasi perolehan suara.
“Kita berkoalisi, karena PDIP kan murni nasionalis,
sementara di Banten kan karakteristik masyarakatnya religius, maka pikirannya
sederhana membutuhkan warna hijau di daerah hijau” (Wawancara dengan Agus
Setiawan, Ketua DPD PPP Provinsi Banten)
Berdasarkan keterangan yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan ketua DPD PPP Provinsi Banten, Agus Setiawan bahwa koalisi
partai politik dalam konteks Pilkada Banten 2017 yang teridiri dari partai PPP,
PDIP dan Nasdem dalam mendukung pasangan calon Rano dan Embay salah satunya
juga terinspirasi dari eskalasi koalisi nasional dimana ketiga partai tersebut
masuk dalam satu barisan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), koalisi pemerintahan.
Meskipun demikian, nampaknya konfigurasi koalisi lokal yang mengacu pada peta
koalisi nasional masih dianggap “kebetulan” mengingat pada beberapa daerah bahkan
masih pada satu provinsi yang sama pun, dinamika koalisi cenderung dinamis dan
selalu berubah-ubah.
Meskipun
Rano Karno merupakan calon yang dengan popularitas dan elektabilitas yang
sangat tinggi dibandingkan dengan calon lain berdasarkan hasil dari berbagai
lembaga survei, tetapi hasil akhir dari proses penghitungan suara sah KPU
Banten justru memenangkan pasangan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy. Perolehan
suara kedua pasangan tersebut sangatlah tipis. Pasangan Rano Karno dan Embay
Mulya Syarief unggul di enam kabupaten/kota sementara pasangan Wahidin Halim
dan Andika Hazrumy unggul hanya di dua kabupaten/kota. Meskipun demikian, total
dari jumlah keseluruhan perolehan suara, pasangan Wahidin Halim dan Andika
Hazrumy tampil sebagai pemenang. Pasangan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy
meraih 2.411.213 suara atau 50,95 persen sementara pasangan Rano Karno dan
Embay Mulya Syarief meraih sebanyak 2.321.323 suara atau 49,05 persen. Wahidin
halim-Andika Hazrumy unggul tipis dengan selisih suara sebesar 1,90 persen atau sebanyak
89.890 suara.
Bentuk Koalisi Partai: Ideologis atau Pragmatis
Jika
mengacu pada teori koalisi menurut Arend Lijpart yang membagi bentuk koalisi
menjadi dua yaitu policy based coalitions
dan policy blind coalitions, maka
dalam konteks koalisi partai politik pada Pilkada Banten 2017 cendrung lebih
mengarah pada bentuk koalisi yang kedua yaitu policy blind coalition. Koalisi bentuk ini lebih menekankan pada
maksimalisasi kekuasaan ketimbang memperhatikan kedekatan jarak ideologi dan
platform partai. Hal ini nampak pada konfigurasi koalisi partai politik
pasangan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy dimana tujuh partai politik yang
mendukung mereka mempunyai varian ideologi yang sangat beragam, ada yang
beraliran nasionalis-sekuler, nasionalis-agamis dan islamis.
Meminjam
istilah Agus Sutisna yang menyebut bentuk koalisi tersebut dengan istilah
“koalisi campur sari”. Karena pertimbangan ideologi partai tidak menjadi
prioritas dalam membentuk koalisi, maka orientasi utama dari alasan
terbentuknya koalisi ini adalah untuk memaksimalkan kekuasaan (office seeking). Hal ini dilihat dari
koalisi Wahidin Halim dan Andika Hazrumy yang berhasil mengumpulkan dukungann
partai dengan perolehan kursi di DPRD melebihi 50+1 persen. Dari 75 total kursi
DPRD Banten, koalisi partai politik pendukung pasangan Wahidin Halim dan Andika
Hazrumy mencapai 47 kursi. Karena itu, koalisi Wahidin dan Andika dapat
dikatakan telah mencapai batas kemanangan minimal (Minimal winning coalitions).
Sementara jika dilihat dari jumlah partai koalisi Wahidin dan Andika yang
mencapai 7 kursi maka dapat dikatakan bahwa koalisi ini termasuk oversized coalition.
Lain halnya dengan koalisi partai pendukung pasangan Rano
Karno dan Embay. Koalisi partai belum
dapat dikatakan minimal winning coalitions karena hanya mencapai jumlah
perolehan kursi DPRD Banten sebanyak 28 kursi, sangat jauh dari ketentuan 50+1
persen. Koalisi partai ini pun terbilang ramping karena hanya terdiri dari tiga
partai yaitu PDIP, PPP dan Nasdem. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa
koalisi ini mengarah pada bentuk policy based coalitions yaitu koalisi yang
mengedepankan kedekatan ideologi partai. Koalisi pasangan Rano dan Embay juga
mencerminkan bahwa ideologi partai belum menjadi prioritas utama yang
melatarbelakangi pembentukan koalisi. Ini dapat terlihat dari tiga partai
koalisi menunjukkan variasi ideologi yang beragam. PDIP dan Nasdem dengan
ideologi nasionalis-sekuler sedangkan PPP merupakan partai yang berasaskan
Islam. Komposisi koalisi yang tidak mencerminkan hubungan kedekatan jarak
ideologi partai.
Konfigurasi
peta koalisi partai politik kedua pasangan calon yang mengarah pada bentuk
policy blind coalition ini diperkuat oleh argumen lain yang menjadi ciri dari
bentuk koalisi tersebut. Pertama, menekankan prinsip ukuran atau jumlah kursi.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa koalisi yang mengarah pada
bentuk policy blind coalition lebih
mengutamakan pertimbangan jumlah kursi yang diperoleh partai politik di
legislatif dengan mengabaikan asas dan ideologi yang menjadi identitas partai.
Artinya, partai-partai akan membuka hubungan kerjasama dengan partai lain
semaksimal mungkin dalam proses pencalonan kandidat. Dalam konteks Pilkada
Banten, koalisi ini nampak dari pasangan Wahidin Halim dan Andika Hazrumy yang
sukses mengumpulkan dukungan 7 partai politik dengan jumlah perolehan kursi di
DPRD Banten mencapai 47 kursi.
Wahidin
Halim dan Andika Hazrumy memiliki kepentingan untuk mengumpulkan dukungan
partai semaksimal mungkin tidak hanya sebatas untuk memenangkan pemilihan
tetapi juga untuk mengontrol dinamika politik yang terjadi di ranah DPRD
Banten. Dengan mendapatkan dukungan mayoritas parlemen akan menjamin bahwa
pemerintahannya didukung mayoritas anggota parlemen di DPRD Banten. Peta
politik di DPRD sejatinya memang tidak bisa dinafikan karena terdapat
persayaratan ambang batas bagi partai dalam mengusulkan pasangan calon kepala
daerah.
Kedua,
asumsi partai bertujuan office seeking. Karena ideologi partai tidak menjadi
pertimbangan utama dalam membentuk koalisi maka tendensi pragmatisme menjadi
sangat kentara dimana partai-partai politik lebih berorientasi untuk mencari
kekuasaan lewat kontestasi pilkada. Kebijakan-kebijakan partai yang dituangkan
melalui program dan kinerja calon pasangan kepala daerah menjadi tidak penting.
Partai-partai akan merapat membentuk koalisi dengan partai lain yang memiliki
potensi kemenangan maksimal. Artinya, selain partai, peran figur bisa menjadi
alasan yang kuat terhadap proses terbentuknya koalisi selama memiliki kriteria
kemenangan. Bahkan faktor figur bisa lebih unggul dibandingkan faktor partai
politik dalam penentuan peta koalisi.
Dalam
konteks Pilkada Banten 2017 memperlihatkan bagaimana peran figur sangat sentral
dalam proses pembentukan koalisi partai. Bakal calon melakukan safari politik
ke berbagai partai politik untuk mendapatkan
dukungan. Begitu pula kriteria dari figur menjadi pertimbangan partai
untuk memberikan dukungan terlepas dari partai mana mereka berasal dan apakah
figur tersebut memiliki komitmen yang sama dengan ideologi dan platform partai
yang bersangkutan. Figur Rano Karno yang kapasitasnya sebagai incumbent,
Wahidin Halim yang dianggap memiliki pengalaman birokrasi dan politik yang
sangat matang, Andika Hazrumy dengan hegemoni Golkar dan jaringan keluaraga
dinasti Atut Chosiyah yang kuat di Banten dan Embay Mulya Syrief yang
merepresentasikan kalangan islamis dan tokoh Banten yang berpengaruh,
kesemuaannya memiliki alasan kuat yang melatarbelakangi partai-partai politik untuk
memberikan dukungan atau tidak kepada calon kandidat yang bersangkutan.
Calon
kandidat yang memiliki popularitas, elektabilitas dan potensi kemenangan
maksimal berpeluang besar dalam merebut dukungan partai. Metode survei kerap
dijadikan sebagai salah satu dasar pertimbangan politik bagi partai untuk
melihat calon kandidat yang potensial dan kemudian memberikan dukungan. Dengan
demikian, hal tersebut semakin memperkuat bahwa kriteria kedekatan jarak
ideologi partai tidak mendapat perhatian utama. Perilaku partai mencerminkan
sifat pragmatis ketimbang ideologis. Sebagaimana yang dikutip dari hasil
wawancara dengan berbarapa partai:
“Ya kan Nasdem itu sudah saya katakan tadi dalam koalisi ini
melihat figur bahwa Rano telah memasuki persyaratan dan hasil survei,
popularitasnya tinggi. Jadi kalau pun misalnya Rano dari Golkar, maka Nasdem
akan berkoalisi dengan Golkar….. Kalau koalisi itu kan bukan dipengaruhi oleh
partai. Partai ini tidak tahu bahwa Rano ini diusung oleh partai mana pun kan
kita tidak tahu. Masing-masing partai itu ada mekanisme tertentu. Nah, Nasdem
ada sistem yang dibangun. Kemudian ternyata disana ada PDIP dan PPP ya sudah
bergabung. Karena bergabung itu konteksnya dalam rangka pendaftaran. Karena ada
persyaratan ambang batas”. (Wawancara dengan Aris Alwani, Sekretaris Wilayah
DPP Nasdem Provinsi Banten).
Lain
halnya dengan PPP yang menganggap bahwa tidak terjadi benturan ideologi yang
dianut oleh partai meskipun komposisi koalisi merupakan perpaduan antara
nasionalis-sekuler dan islamis.
“Benturan ideologi itu ngga ada. Itu secara teori iya ada
perbedaan ideologi.Tapi secara praktik ngga ada. Karena kita tau bahwa
Indonesia ini tidak hanya dipandu oleh nilai-nilai keislaman tetapi ada
kebhinekaan yang memang sudah sama-sama kita terima sebagai nilai. Jadi ga ada
masalah perbedaan ideologi” (wawancara dengan Agus Sutisna, Ketua DPD PPP
Provinsi Banten).
Beberapa
pernyataan dari elit partai politik diatas menunjukkan inkonsistensi mereka
terhadap nilai-nilai ideologis yang dibangun partai politik sebagai identitas
politik mereka yang membedakan dengan partai lain. Sekalipun misalnya dalam
konteks koalisi, ideologi partai tidak menjadi pertimbangan utama, paling tidak
dalam hal penentuan dukungan calon kandidat memiliki komitmen dan preferensi
yang sama dengan agenda perjuangan ideologis partai politik. Tetapi dalam
konteks Pilkada Banten 2017, hal demikian belum nampak terlihat. Koalisi partai
politik masih dikendalikan oleh kompromi politik antarpartai yang pragmatis.
Ketiga,
argumen yang menguatkan bahwa koalisi partai pada Pilkada Banten 2017 cenderung
mengarah pada praktik policy blind coalitions adalah koalisi sulit diprediksi
dan loyalitas peserta koalisi tidak terjamin. Peta koalisi pada akhirnya
menjadi sangat cair dan dinamis serta sulit diprediksikan mengenai konfigurasi
peta politik yang akan terbentuk pada Pilkada Banten selanjutnya. Hal ini dapat
terkonfirmasi dengan meilihat perkembangan koalisi partai politik dalam setiap
momentum Pilkada di Banten yang selalu berubah.
Terjadi pergeseran peta
koalisi yang sangat dramatis. Golkar dan PDIP yang selalu beriringan selama dua
periode Pilkada Banten tetapi pada saat Pilkada Banten 2017 mereka harus
berhadapan. Begitupula dengan Wahidin Halim yang sejak awal diprediksi tidak
akan berkoalisi dengan calon yang berasal dari dinasti keluarga Atut karena
memiliki komitmen anti-korupsi, tetapi Pilkada 2017 prediksi itu meleset.
Wahidin Halim menggandeng Andika Hazrumy sebagai pasangan calon gubernur dan
wakil gubernur yang berasal dari Partai Golkar sekaligus merupakan bagian dari
dinasti Atut Chosiyah.
Sifat
koalisi yang cair dan dinamis ini pula yang kemudian menjadi alasan mengapa
loyalitas anggota partai koalisi tidak terjamin. Tidak ada yang menunjukkan
komitmen bahwa koalisi yang terbentuk hari ini akan dipelihara untuk menghadapi
pilkada selanjutnya. Sekalipun memperlihatkan adanya unsur kesamaan peta
koalisi pada pilkada sebelumnya tidak lebih dari sekedar sebuah kebetulan.
Bahkan, dalam konteks perkembangan peta koalisi partai politik dalam setiap
momentum Pilkada Banten belum menunjukkan adanya konsep koalisi yang permanen.
Konsep koalisi yang dibentuk sangat parsial dan situasional.
Kesimpulan
Pilkada
Banten berada dalam pusaran pragmatism partai politik. Koalisi partai politik
yang terbentuk lebih mengarah pada bentuk policy
blind coalition. Pada akhirnya, dinamika koalisi partai politik dalam
pencalonan kepala daerah pada Pilkada Banten 2017 cenderung pragmatis, elitis,
oligarkis dan berorientasi office seeking.
Koalisi tidak ditopang oleh alasan untuk memenuhi kepentingan visi dan ideologi
dari partai politik yang tergabung. Koalisi tidak dibangun atas asas
keseimbangan sehingga sangat terlihat dominasi kekuasaan berada dan ditentukan
oleh partai politik yang lebih besar. Motivasi berkoalisi sangat pragmatis.
Referensi
Agustino, Leo. (2014). Pengantar
Ilmu Politik. Serang: Unirta Press.
Asiman, Syair. (2016). Embay Mulya Syarief: Jawara Wong Cilik.
Kabar Banten: Serang Banten.
Bantennews.co.id. Baru Sehari Daftar,
Nama Taufik Nuriman Bakal Dicoret PDIP. Diakses 13 Maret 2018 dari https://www.bantennews.co.id/baru-sehari-daftar-nama-taufik-nuriman-bakal-dicoret-pdip/.
Hamid, Abdul. (2014). A Familiy Matter: Political Corruption
in Banten, Indonesia. Asian Politics and
Policy 6(4), 557-593
Lijphart, Arend. (1984). Democracies:
Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries.
Yale: Yale University.
Radarbanten.co.id. Pilgub 2017, PDIP
Akhirnya Putuskan Embay sebagai Pendamping Rano. Diakses 13 Maret 2018 dari
https://radarbanten.- co.id/pilgub-2017-pdip-akhirnya-putuskan-embay-sebagai-pendamping-rano/.
Sutisna, Agus. (2017). Memilih Gubernur, Bukan Bandit: Demokrasi
elektoral dan Pilgub 2017 di Tanah Jawara. Yogyakarta: Deeppublish.
Tangselpos.co.id. ATN Dekat dengan
Prabowo. Diakses 10 Januari 2018 dari https://tangselpos.co.id/atn-dekat-dengan-prabowo/.
Titiknol.co.id. Ada Jayabaya di Deklarasi
Hanura Dukung Pasangan WH-Andika. Diakses 15 Januari 2018 dari
https://titiknol.co.id/politik/ada-jayabaya-di-deklarasi-hanura-dukung-pasangan-wh-andika/.
Wardani, Budi Eko. (2007). Koalisi Partai Politik Dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung:
Kasus Pilkada Provinsi Banten. Tesis: UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar