Konsep desentralisasi
dan otonomi daerah yang diterapkan pada babak awal reformasi menjadi tanda
berakhirnya praktik otoritarianisme orde baru. Konsep ini membuka sistem
politik secara lebih demokratis dengan memberikan kesempatan yang luas kepada
elit lokal untuk berpartisipasi dan berkontestasi dalam pertarungan politik.
Salah satu arena pertarungan politik di tingkat lokal adalah pelaksanaan pemilihan
kepala daerah (Pilkada). Pada masa rezim orde baru berkuasa, Pilkada merupakan domain
atas kuasa negara, dimana akses terhadap jabatan politik ditutup rapat-rapat,
sarat dengan kepentingan politis dan pragmatis, serta abai atas representasi
kepentingan lokal. Namun, sejak reformasi digulirkan, Pilkada mengalami
dinamika politik yang signifikan dimana elit lokal dapat bertarung berebut
jabatan politik dengan memberikan kesempatan yang sama kepada aktor politik
lokal.
Kesempatan
politik yang setara ini dapat dilihat dari munculnya calon-calon pemimpin
kepala daerah tanpa memandang basis gender. Aktor politik laki-laki atau
perempuan memperoleh peluang yang sama untuk menjadi bagian dari peserta
pemilu. Di berbagai daerah dapat ditemukan munculnya pemimpin politik perempuan
yang tampil sebagai pemenang. Kehadiran pemimpin politik perempuan di daerah
diharapkan dapat mengutamakan agenda kebijakan pengarusutamaan gender yang
sering kali masih menjadi permasalahan baik dalam skala lokal maupun nasional.
Hal ini menjadi penting sebab praktik dikriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan masih sering
terjadi dalam berbagai bidang: ekonomi, sosial, budaya dan politik.
Di Banten trend
kemunculan kepala daerah perempuan menemukan momentum dimana delapan
kabupaten/kota di Banten, empat diantaranya dipimpin oleh politisi perempuan.
Ikhwal ini memberikan isyarat bahwa tidak ada hambatan gender terhadap
perempuan di Banten untuk memasuki ruang publik dan arena politik. Ironisnya,
banyaknya politisi pemerempuan yang menempati jabatan politik di daerah tidak
berbanding lurus dengan muculnya agenda-agenda pengarusutamaan gender. Banten
sendiri masih menyisakan
persoalan ketimpangan gender dan marginalisasi terhadap kaum perempuan. Hal ini
dapat terlihat misalnya RLS siswa laki – laki
lebih lama (8,90 tahun) jika dibandingkan dengan perempuan (7,82 tahun)
Pendidikan yang ditamatkan sebagian besar perempuan juga hanya rata – rata
hanya sampai SMP (66,6%) sedangkan laki – laki menyelesaikan hingga SMA
(91,4%). Upah di bidang ketenagakerjaan bagi laki – laki juga lebih besar
dibandingkan perempuan dengan rasio 0.83%. Di bidang politik, kebijakan
afirmatif kuota 30% bagi perempuan tidak mampu terpenuhi karena di DPRD
Provinsi Banten, anggota perempuan hanya mencapai 18,8% (BPS, 2016). Data tersebut
menjadi paradoks mengapa kemunculan pemimpin politik perempuan di Banten tidak
berbanding lurus dengan hadirnya praktik kesetaraan gender di Banten. Tulisan
ini mencoba mejawab pertanyaan tersebut dengan menggunakan teori representasi
dari Hanah Pitkin.
Representasi
dan Kesetaraan Gender
Representasi
adalah kegiatan membuat suara warga, opini, dan persepktif hadir dalam proses kebijakan
publik (Pitkin, dalam Subono,
2009: 58)). Pitkin (dalam
Subono, 2009: 58) mengungkapkan bahwa representasi sangat berkaitan
dengan jaminan terpenuhinya hak setiap warga negara karena representatif
memiliki kewajiban untuk membawa kepentingan warga negara yang diwakilinya. Representasi
terbagi menjadi beberapa bentuk. Pertama, representasi formalistik, dimana
perwakilan dipahami dalam dua dimensi yaitu otoritas dan akuntabilitas.
Otoritas berkaitan dengan otorisasi apa saja yang diberikan oleh konstituen
pada wakilnya, sehingga ketika wakil melakukan sesuatu di luar otoritasnya maka
mereka dianggap tidak lagi sedang menjalankan fungsi perwakilan. Dimensi kedua
yaitu akuntabilitas menjelaskan tentang adanya kewajiban pertanggungjawaban
dari wakil pada konstituen atas otoritas yang sudah diberikan.
Pertanggungjawaban ini berkatan dengan apa saja yang wakil kerjakan.
Kedua,
representasi deskriptif. Representasi ini mensyaratkan adanya wakil yang
berasal dari kelompok yang diwakilkan (standing
for representative). Sehingga yang dianggap sebagai wakil yang ideal adalah
representatif yang merefleksikan kelompok – kelompok masyarakat sesuai dengan
yang diwakilinya. Ketiga representasi simbolik dimana wakil atau representatif
merupakan simbol atau mewakili simbol dari kelompok yang diwakili. Keempat,
representasi substantif. Bentuk representasi ini adalah saat representatif
bertindak untuk (act for) dalam
rangka membawa kepentingan dari yang diwakilinya ke ranah kebijakan publik.
Representasi ini merujuk pada kualitas perwakilan dimana orang yang diberi
otoritas untuk mewakili bertindak menggantikan orang yang diwakili dengan penuh
tanggung jawab. Pola ini bergerak mennggantikan pihak yang diwakilinya, tidak
sekedar menyerupai atau mengidentifikasi sebagaimana dalam representasi
deskriptif dan simbolik.
Representasi ini
digunakan untuk melihat peran pemimpin politik perempuan di Banten sebagai
aktor representatif dalam menjalankan agenda dan program pemerintah yang
mengarah pada upaya terwujudnya kesetaraan gender. Representasi menjadi penting
untuk mewujudkan demokrasi yang menuntut hadirnya nilai-nilai kompetisi,
partisipasi dan kesetaraan akses yang sama terhadap warga negara.
Representasi
Kepala Daerah Perempuan di Banten: Stand
For or Act For?
Kepemimpinan politik perempuan yang menduduki jabatan sebagai kepala
daerah di Provinsi Banten terbilang cukup banyak. Dari 8 kabupaten/kota yang
ada di provinsi Banten, 4 daerah diantaranya dipimpin oleh seorang
bupati/walikota perempuan. Perhatikan tabel berikut:
Pemimpin Politik Perempuan di Kabupaten/Kota di
Provinsi Banten
No
|
Kabuapten/Kota
|
Pemimpin Perempuan
|
Jabatan
|
1
|
Kabupaten Pandeglang
|
Irna Narulita
|
Bupati
|
2
|
Kabupaten Lebak
|
Iti Oktavia Jaya Baya
|
Bupati
|
3
|
Kabupaten Serang
|
Ratu Tatu Chasanah
|
Bupati
|
4
|
Kota Tangerang Selatan
|
Airin Rachmi Diany
|
Walikota
|
Sumber: Peneliti, 2019
Berdasarkan data yang tersaji pada
tabel diatas menjelaskan bahwa 50% dari jumlah kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Banten dipimpin oleh seorang bupati/walikota perempuan. Artinya
keterwakilan perempuan dalam jabatan politik di Banten sudah memadai. Kendati
demikian, persoalan ketimpangan gender belum menjadi isu sentral di daerah yang
mereka pimpin. Hal ini dikarenakan mereka tidak fokus memperjuangan kesetaraan
gender untuk kemudian membawanya dalam produk kebijakan politik yang mengedepankan
pengarusutamaan gender. Empat pemimpin politik perempuan di Banten tidak lahir
dari sebuh gerakan atau ketertarikaan pada isu-isu perempuan.
Empat pemimpin politik yang menjabat sebagai bupati/walikota yang ada di
Provinsi Banten ini dalam mengikuti kontestasi pilkada hingga akhirnya sukses
menjadi seorang pejabat politik perempuan tidak lepas dari sumber daya (resources) yang dimiliki keluarga.
Jabatan politik yang diraih merupakan estafet kepemimpian atau warisan dari
keluarga. Irna Nurilta seorang buapati Pandeglang merupakan istri dari Dimyati
yang juga merupakan mantan bupati Pandeglang dua periode. Iti Ocativia Jaya
Baya, bupati Lebak adalah anak kandung dari Jaya Baya yang juga pernah menjabat
sebagai mantan bupati Lebak dua periode. Begitu pula dengan Tatu Chasanah yang
menjabat sebagai bupati Kabupaten Serang dua periode ini merupakan adik kandung
dari Atut Chosiyah, mantan gubernur Banten, sama halnya dengan Airin, seorang
walikota Tangerang Selatan, masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Atut
Chosiyah. Keterkaitan kepemimpinan politik perempuan yang ditopang oleh
kekuatan politik keluarga, menjadi salah satu faktor mengapa isu perempuan di
Banten belum dominan meskipun Banten sesungguhnya telah memiliki
bupati/walikota seorang perempuan. Artinya agenda perjuangan kesetaraan gender
masih panjang.
Fakta bahwa empat pemimpin kepala daerah perempuan di Banten tidak
berhasil dalam mewujudkan kesetaraan gender dapat dilihat dari munculnya
beragam potret ketimpangan gender di berbagai bidang sebagaimana yang terlihat
dalam Indeks Pembangunan Gender (IPG) di Provinsi Banten. Di bidang pendidikan,
berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Banten pada tahun 2016, angka Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) antara laki-laki dan
perempuan masih menunjukkan ketimpangan gender. Sebagaimana dapat dilihat
pada gambar berikut:
Rata-rata
Lama Sekolah (RLS) Penduduk Banten Usia 25 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kelamin,
2010-2016 (tahun)
Sumber: BPS Banten, 2016
Berdasarkan data diatas mengindikasikan bahwa Provinsi Banten masih
memiliki persoalan serius terkait kesetaraan gender. Dalam bidang pendidikan,
data tersebut mengkonfirmasi bahwa kesenjangan gender terjadi dalam kurun waktu
yang relatif cukup lama tanpa ada perubahan yang berarti. Meskipun data
tersebut mendeskripsikan adanya peningkatan angka Rata-Rata Lama Sekolah (RLS)
antara baik laki-laki maupun perempun setiap tahunnya, tetapi jika kita melihat
dalam kacamata kesetaraan gender, maka data tersebut sesungguhnya menunjukkan ketimpangan
gender, bahkan hal ini terjadi terus-menerus setiap tahunnya. Pada tahun 2016
menunjukkan angka RLS laki-laki sebesar 8,90 sedangkan RLS perempuan sebesar
7,82. Artinya, indeks ketimpangan gender di Banten dalam bidang pendidikan
mencapai angka 1,08.
Tidak hanya pada aspek pendidikan, diskriminasi berbasis gender dalam
bidang ketenagakerjaan yang terjadi di Banten dapat dilihat dari adanya system upah (gaji) yang tidak setara antara
laki-laki dan perempuan. Pada banyak perusaahaan di Banten, upah yang diterima
oleh perempuan lebih rendah jika dibandingkan laki-laki tanpa didasari oleh
alasan-alasan dan pertimbangan yang jelas. Perhatikan gambar berikut:
Rata-rata Upah/Gaji Bersih per Bulan Pekerja
Banten, Agustus 2010-2016
Sumber: BPS Banten, 2016
Tabel diatas memperlihatkan adanya sistem penggajian yang tidak setara
antara laki-laki dan perempuan. Sistem penggajian yang tidak setara ini
mengkonfirmasi bahwa masih terdapat kesenjangan gender dalam ranah
ketenagakerjaan, bahkan kondisi ini terus terjadi setiap tahunnya terbukti dari
data pada tahun 2010 hingga 2016 upah perempuan selalu berada pada posisi kedua
dibawah laki-laki. Rasio upah perempuan terhadap laki-laki setiap tahunnya
mengalami kenaikan. Artinya tidak ada perubahan signifikan dalam sistem
pengupahan, dimana perempuan selalu menjadi subjek yang mengalami diskriminasi
dalam dunia kerja.
Permasalahan ketimpangan gender yang muncul di Banten ini kurang
mendapat respon yang positif dari kepala daerah utamanya daerah yang dipimpin
oleh perempuan. Hal ini terlihat dari absennya program-program pemerintah yang
spesifik mengarah pada kebijakan pengarusutamaan gender, disamping mimimnya
ketertarikan kepala daerah perempuan terhadap isu-isu gender. Misalnya Bupati
Labak, Iti Octavia Jayabaya, justru program utama dan menjadi andalannya adalah
memprioritaskankan sektor pariwisata dengan tujuan menjadikan lebak sebagai
destinasi pariwisata unggulan nasional berbasis potensi lokal. Adapun program
lain seperti Lebak Pintar, Labak Sehat, dan Lebak Sejahtera masih program
general bagi masyarakat Lebak tanpa diikuti oleh kebijakan yang lebih spesifik
terhadap kaum perempuan. Bupati Pandeglang, Irna Narulita mengusung program
unggulan pada reforma agraria tanpa ada program spesifik terkait
pengarusutamaan gender di bidang pertanian.
Tidak adanya korelasi antara kemunculan kepemimpinan politik perempuan
di Banten terhadap terwujudnya kesetaran gender mempertegas bahwa bentuk
representasi yang dijalankan sebatas pada tahap representasi deskriptif dan
simbolik. Dimana representator dalam hal ini kepala daerah perempuan hanya
berperan sebagai pihak yang mewakili masyarakat hanya karena sama-sama berasal
dari kaum perempuan (Standing For).
Bentuk representasi belum mengarah pada substantif yang membawa adanya
pelibatan perjuangan untuk menjadikan isu-isu gender kedalam kebijakan publik (act for). Tentu hal ini menjadi
tantangan tersendiri bagi daerah yang dipimpin oleh kepala daerah perempuan,
sejauh mana mereka mampu bertindak secara konkreat dalam menghadirkan agenda
dan kebijakan publik yang mengarah pada pengarusutamaan gender, terlebih dalam
konteks di Banten dengan setting sosial masyarakat yang masih kental dengan
budaya patriarki.
Referensi
Nur Iman
Subono. (2009). Menuju Representasi Politik Perempuan Yang Lebih
Bermakna. Jurnal Sosial Demokrasi, 6(2), 56-61. Jakarta: Pergerakan Indonesia
Badan Pusat Statistik (2016). Indeks Pembangunan Gender Provinsi Banten.
Banten : BPS Provinsi Banten
Tidak ada komentar:
Posting Komentar