Di balik Celana Bahan dan Jeans




Ane merupakan mahasiwa ilmu pemerintahan Untirta, Serang. Kampus Ane termasuk salah satu kampus ternama di Banten, karena statusnya sebagai satu-satunya perguruan tinggi negeri di Banten. Bagi sebagian besar orang, menjadi mahasiwa adalah suatu hal yang menyenangkan. Dunia mahasiswa penuh sarat dengan nilai-nilai akademik, pengalaman hidup, serta menjalani hidup dengan banyak orang. Dunia mahasiwa juga dikenal dengan kebebasan. Bebas dari kekangan aturan, bebas menentukan pilihan hidup, dan bebas dari disiplin kampus. Salah satu kebebasan itu bisa dilihat dari cara berpakaian, dimana rata-rata setiap kampus tidak mengatur secara khusus pakaian yang semestinya dipakai mahasiswa, singkatnya tidak memakai seragam layaknya anak sekolahan.
Karena itu sangat mudah sekali menemukan mahasiswa yang berpakaian ala artis korea hingga orang timur tengah. Ada yang pakai baju ketat dengan celana jeans yang super ketat pula, tetapi tidak sedikit juga yang pakai hijab, kopiah, bahkan cadar. Penampilan mahasiswa juga beragam. Ada yang tampil modis, casual, biasa saja, apa adanya, sampai yang tampil acak-acakan tidak terurus. Ada yang berambut gondrong, pendek, botak, dan lainnya. Fenomena ini nyaris menjadi hal yang biasa di dunia kampus. Kok tidak ada peraturan khusus untuk mahasiswa dalam penampilan sih ?? barangkali, pikir saya, mahasiswa sudah dewasa dan matang yang mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, terkesan tidak etis jika sesuatu yang privat harus diatur oleh rector atau dosen, emang nya anak sekolahan, hehe.. lagi pula kalau pun ada aturannya, sudah pasti kampus jadi cheos karena sering di demo sama mahasiwa, paling argumennya atas dasar hak asasi manusia..

Ane pribadi tidak terlalu memperhatikan penampilan. Keseharian di kampus, Ane terkesan apa adanya, tidak dibuat-buat, tidak lebih tidak kurang. Ada satu identitas yang coba Ane kenalkan kepada lingkungan dan teman-teman di kampus. Yaitu celana bahan. Yapsss… benar sekali. Semenjak duduk di semester satu, bahkan awal masih jadi mahasiswa baru (maba) saya selalu menggunakan celana bahan berwarna hitam. Pemilihan celana bahan warna hitam bukanlah tanpa alasan atau kebetulan, tapi merupakan sebuah alasan politis. Uppss…. Kalau mendengar kata-kat politis jangan langsung prasangka buruk ya. Mau tau kenapa alasannya ?

Begini,… Ane merupakan seroang jebolan pondok pesantren di Serang. Pondok pesantren sarat dengan pengajaran dan pengamalan nilai-nilai syariat islam. Santri dituntut untuk mempraktikan ajaran islam dalam kehidupan sehari. Pesantren termasuk memiliki disiplin yang ketat. Santri dilarang keluar tanpa izin ustadz, dilarang merokok, pacaran, mencuri, berambut panjang, dan lainnya. Semua kegiatan santri nyaris di stir oleh peraturan dari bagun tidur hingga tidur kembali. Dari pagi sampai malam, intensif selama dua puluh empat jam. Santri harus melAnekan hal-hal postif dan mengemas diri semenarik mungkin agar terlihat taat terhadap pimpinan dan terlihat shaleh.

Termasuk di pesantren harus memakai pakaian secara sopan, rapi, dan yang terpenting menutupi aurat. Santri dilarang memakai celana jeans. Meski sampai saat ini Ane belum menemukan alasan rasional mengapa menggunakan celana jeans menjadi sesuatu yang tabu di pondok pesantren. Waktu itu, komunikasi yang disampaikan dari pihak pesantren bahwa celana jeans itu terlalu ketat, memperlihatkan lekuk tubuh, dan memiliki citra yang negatif. Di pesantren jeans diidentikkan dengan pergaulan bebas, anak nakal, tidak mengedepankan disiplin dan lainnya. Karena itu, santri dilarang memakai celana jeans. Bagi siapa saja yang kedapatan memakai celana jeans akan dipanggil oleh pengurus (kaka kelas) atau ustadz lalu di gunting. Seketika Ane mencoba membiasakan diri dengan memakai celana bahan selama menjadi santri karena tAnet kena hukuman dari kakak senior atau ustadz.

Tiga tahun lamanya Ane menimba ilmu di pesantren, tiga tahun pula Ane terbiasa dengan pakaian baju muslim, sarung, kopiah, dan celana bahan. Bahkan logika ini telah menolak untuk menggunakan pakaian selain yang telah disebutkan, termasuk celana jeans. Meski Ane telah lulus dari pesantren, tetapi kebiasaan santri masih melekat dalam keseharianku. Di rumah misalnya, Ane kerap memakai sarung, baju muslim, atau celana bahan. Ane akan merasa malu, kalau keluar rumah hanya dengan kaos oblong dan celana kolor pendek, karena kata ustadz, itu tidak mencirikan watak santri. Santri harus mampu menjadi garda terdepan menjadi panutan di tengah masyarakat.

Begitu pula, saat Ane mulai memasuki dunia kampus. Setiap hari Ane menggunakan celana bahan dengan baju batik atau kemeja, dan pakai sepatu pantopel. Di kelas, mungkin Ane satu-satunya mahasiswa yang konsisten menggunakan pakaian itu. Ane menangkat sepertinya ada hal aneh yang ada dibenak teman-teman di kelas. Mungkin mereka menilai penampilan Ane klasik, kuno, tidak modern, kampungan dan lain sebagainya. Terserahlah Ane tidak peduli. Lalu mengapa Ane harus tetap menggunakan baju batik, kemeja, dan celana bahan serta sepatu pantopel ? bukankah dunia kampus berbeda dengan dunia pesantren ? bukankah di kampus tidak ada peraturan yang melarang dalam berpakaian ? ada banyak alasan untuk menjawab ini.

Pertama, sudah menjadi kebiasaan dan telah mengakar menjadi sebuah identitas, semenjak hidup di pesantren, bahwa celana bahan adalah yang terbaik untuk santri. Kedua, Ane ingin memberi kesan pertama kepada setiap mahasiswa lain yang bertemu dengan Ane, bahwa Ane termasuk sederhana, orang baik-baik, tidak menyukai pergaulan bebas, dan hidup penuh dengan disiplin. Alasan kedua yang menjadi pertimbangan utama.

Ane termasuk orang lugu, tertutup, tidak pandai bergaul, introvert, bukan anak orang kaya. Ane selalu kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan dan teman baru. Dalam situasi keramaian Ane lebih banyak memilih untuk menghindar atau mengasingkan diri, karena merasa malu dan tidak pantas ikut menjadi bagian dari keramaian itu. Ane merasa ada sesuatu hal yang membuat Ane berbeda dengan yang lain. Ane merasa teman-teman di kampus begitu sempurna dan Ane lebih banyak kekurangannya. Terkadang Ane lebih banyak menyendiri di kampus ketimbang mencari teman, karena Ane tAnet, orang-orang menolak, mencemoohkan, dan menganggap Ane hina. Ane juga bukan anak borjuasi dan konglomerat yang hidup dengan segala kemewahan. Kehidupan keluarga Ane sederhana, bahkan hanya di tingkatan cukup untuk hidup sehari-hari. Sementara di kelas, Ane melihat mereka termasuk dari kalangan orang berada, penampilan yang modis, cara berbicara gaul, dan pandai bergaul. Karena itu, Ane selalu merasa kerdil di kelas. Ane sengaja memutuskan untuk duduk di kursi paling depan dekat dosen, selain fokus belajar, juga untuk menghindari kontak langsung dengan teman-teman dikelas. Sekali lagi karena Ane sangat sulit beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Ada satu penggalan hidup yang membuat Ane traumatis yang membuat Ane memutuskan hidup sendiri, kala itu Ane berfikir tidak ada teman sejati, yang ada adalah teman bobrok. Yang hanya bisa mencela dan mencaci maki.

Untuk menyampaikan pesan bahwa Ane memiliki karakter seperti yang telah diceritakan sebelumnya, maka Ane memilih untuk menggunakan celana bahan dalam penampilan. Ane ingin menyampaian pesan tersebut melalui penampilan tanpa perkataan. Ane ingin orang lain menangkap pesan bahwa Ane seorang introvert, tertutup, pendiam, tidak pandai bergaul, jadul, dll hanya dengan mereka melihat penampilan Ane. Dan Ane merasa berhasil membangun kesan itu.

Namun disisi lain ada dampak negatifnya, mahasiswa dikampus menilai Ane secara berlebihan. Ane bak sang dewa yang diciptakan tanpa kekurangan secuil pun. Ane kerap dipanggil dengan sebutan ustadz, orang alim, shaleh, pintar, penurut, dan lain-lain. Tidak jarang teman teman di kelas, selalu menanyakan kepada Ane tips menjadi anak yang rajin, tips belajar supaya dapat IPK tinggi, dan sering konsultasi terkait tugas mata kuliah. Ane sadari penampilan Ane yang klasik ini turut juga membentuk penilaian mereka demikian terhadap Ane.
Berpakain klasik dengan celana bahan secara kontinu dan konsisten Ane pakai semenjak semester 1 sampa 4. Dan kini semester 5, Ane merasakan titik jenuh, Ane penasaran ingin mencoba memakai celana jeans. Ane ingin coba membuat re-interpretasi ulang melalui pakaian. Jika selama ini Ane coba menyampaikan pesan dan karakter kepribadian Ane lewat celana bahan, maka mulai saat itu Ane coba negasikan dengan memberi kesan kepada orang lain bahwa Ane termasuk pluralis, mudah bergaul, terbuka dengan orang lain, dan bisa bekerja sama dengan team, tetapi tetap mengedepankan etika. Melalui celana jeans. Dan sepetinya berhasil, meskipun awalnya banyak yang kaget melihat perubahan cara berpakaian Ane, tetapi lambat laun mereka sudah terbiasa. Hari ini, menggunakan jeans juga menjadi bagian dari penampilan Ane, meskipun masih ada perasaan tidak nyaman. Tapi Ane terus berusaha dan mencoba.

Satu hal penting yang membuat Ane merubah cara pakaian dari menggunakan celana bahan ke celana jeans. Ane mulai berusaha terbuka denga orang lain, Ane mencoba membuka peluang dan komunikasi dengan orang lain. Karena Ane sadar hidup sendiri bukan pilihan yang terbaik. Dan memakai celana jeans merupakan salah satu siasat untuk mencapai tujuan itu, karena selama ini menggunakan celana bahan, membuat orang-oran sungkan dan enggan membangun komunikasi dan pertemanan dengan Ane. Karena mereka pikir Ane telalu kAne, tidak asyik, dan terlalu sholeh untuk dijadikan teman ngobrol bagi mahasiswa yang kebanyakan suka bercanda, pencicilan, dan hidup bebas.

Meski demikian……. Apa yang Ane ceritakan masih sebagian kecil dari sebuah makna dibalik antara celana bahan dan jeans. Ada begitu banyak alasan yang komplek untuk menjelaskan hal ini. Dan Ane belum bersedia untuk membukanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar