Relasi Partai dan Kandidat dalam Politik Elektoral: Problem Institusionalisasi Partai



Tulisan ini membahas tentang hubungan partai politik dan kandidat dalam politik elektoral khususnya yang terjadi di ranah lokal. Partai politik sebagai aktor intermediari memiliki peranan yang strategis dalam pemilu melalui fungsi rekrutmen politik yang menominasikan calon kandidat untuk merebut jabatan politik baik di arena eksekutif maupun legislatif. Namun problem yang seringkali muncul adalah eksistensi partai dalam politik elektoral sangat lemah dikalahkan oleh dominasi kandidat yang  mengedepankan personality. Akibatnya, hubungan partai dan kandidat tidak memiliki mekanisme akuntabiltas dan kontol yang jelas sebab hubungan yang dibangun cenderung bersifat patron-klien. Fenomena tersebut menggambarkan rendahnya institusionalisasi partai. Bagaimana hubungan partai-kandidat dalam konteks politik politik lokal di Indonesia?

Hubungan Kandidat-Partai dalam Politik Elektoral
Penelitian Buehlar dan Tan (2007) menyimpulkan bahwa dalam proses nominasi kandidat yang diusung oleh partai pada pemilihan bupati di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa kandidat sangat kuat diluar kuasa partai. Hubungan partai dan kandidat digerakkan oleh pertimbangan materi dan personalitik yang dianggap mampu membawa pada kemenangan. Empat pasangan kandidat[1] yang bertarung merebut kursi bupati Gowa didominasi oleh kandidat yang berasal dari luar partai. Untuk menyebut beberapa contoh, pencalonan pasangan Maddusila Andi Idjo dan Ustman Mahyuddin yang diusung oleh partai PPP dan PBR dikarenakan Maddisula merupakan anak raja terakhir di Kabupaten Gowa, dianggap mampu mendongkrak popularitas guna meraih elektoral banyak dari pemilih. Selain itu, Maddisula didukung oleh Moh. Amin, ketua PPP atas dasar pertimbangan kedekatan personal. Sedangkan Mahyuddin adalah figur yang berasal dari kalangan militer.
Pencalonan Ichsan Yasin Limpo and Abdullah Razak Badjidu yang diusung oleh Golkar, Partai Demokrat, PPDK (Partai Persaruan Demokrasi Kebangsaan) dikarenakan figur Ichsan yang memilki modal lengkap secara ekonomi, politik, dan sosial. Ichsan adalah bagian dari dinasti politik Yasin Limpo yang mengontrol beragam bisnis di Gowa. Banyak anggota keluarga Yasin Limpo yang terjun ke dalam politik dan memimpin sejumlah organisasi sosial, seperti: KOSGORO (Kesatuan Organisasi Gotong Royong), FKPPI (Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI/Polri), dan Boy Scout. Sementara  Bajidu adalah tokoh masyarakat dan anak dari seorang Camat di Gowa. Bajidu sebenarnya bukanlah pilihan utama partai melainkan sebagai pendongkrak suara Ichsan. Pasangan Ichsan Yasin Limpo dan Abdullah Razak Bajidu tampil sebagai pemenang. Hal ini tidak lepas dari figur sentral Ichan Yasin Limpo yang sangat dominan. Ichsan memanfaatkan jejaring keluarga melalui kepemilikan modal  kapital dan basis massa dengan menggunakan para broker untuk membatu memobilisasi dukungan pemilih (Buehlar dan Tan, 2007).
Pasangan kandidat yang berkontesasi dalam Pilkada Gowa yang berasal dari luar partai menggambarkan bahwa relasi kandidat dan partai sangat cair. Hubungan keduanya dibangun atas dasar pertimbangan kekayaan, jaringan keluarga dan personifikasi kandidat. Partai menjalankan logika pragmatis dan politis dalam memberikan dukungan kepada kandidat, dimana hanya kandidat yang ditopang oleh pertimbangan-pertimbangan tersebut yang akan mendapat dukungan partai meskipun kandidat bukan berasal dari kader internal partai. Mekanisme rekrutmen politik yang dijalankan oleh partai untuk menawarkan calon pemimpin kepada publik yang berkualitas menjadi terhambat karena proses rekrutmen di warnai oleh praktik politik uang dan perburuan rente. Misalnya, kandidat harus membeli dukungan partai dengan besaran uang tertentu sesuai dengan bargaining politics antara kandidat dan partai. Partai PAN meminta Hasbullah senilai $400.000, dengan nilai uang yang sama juga harus dikeluarkan oleh Ichsan Yasin Limpo kepada partai pengusungnya (Golkar, PPDK, Partai Demokrat). Sementara PPP mengklam dijanjikan akan diberikan uang sebesar $200.000 oleh Maddisula (Buehlar dan Tan, 2007). Meskipun sejumlah uang yang keluarkan kandidat kepada partai bersembunyi dibalik alasan untuk pembiayaan kampanye selama pemilu, nampaknya esensi dari hadirnya praktik money politics guna memuluskan langkah kandidat mendapatkan dukungan partai sebagai kendaraan politik.
Bargaining politics antara kandidat dan partai ini tidak hanya diawal proses nominasi, tetapi juga berlanjut pasca pilkada. Setelah kemengan pasangan Ichsan Yasin Limpo dan Abdullah Razak Bajidu, terjadi distribusi kekuasaan menggunakan sumber negara. Rahman Syah politisi PPDK (partai pendukung) ditunjuk sebagai Sekertaris Daerah Kabupaten Gowa. Begitu pula, beberapa petinggi Partai Demokrat menguasai sejumlah perusahaan konstruksi. Sementara, hubungan partai dan kandidat yang kalah dalam pemilu bubar begitu saja (Buehlar dan Tan 2007).
Hubungan partai dan kandidat dalam konteks politik elektoral yang menempatkan kandidat berada diposisi yang kuat melampaui partai juga terjadi di derah lain. Kasus Pilkada Lebak, Banten tahun 2018, Pasangan Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi mendapatkan dukungan seluruh partai sehingga menempatkan mereka sebagai calon tunggal tanpa ada satu pun kandidat lain yang menandingi. Fenomena ini tidak lepas dari figur Iti Octavia yang tidak lain merupakan calon incumbent dan bagian dari dinasti politik Jaya Baya. Iti Octavia adalah anak Jaya Baya yang juga merupakan mantan bupati Lebak dua periode (2003-2013). Jaya Baya adalah local strong man,  yang memegang banyak bisnis kontruksi di Banten dan banyak mengelola proyek pemerintah daerah. Banyak dari anggota keluarganya yang terlibat dari dunia politik dan bisnis. Modal finansial, politik, dan sosial yang melekat pada figur Iti Octavia membuat dirinya kuat dan menjadi magnet untuk mendapat dukungan partai. Salah satu partai pendukung mengklaim bahwa Iti Octavia memberi sejumlah uang kepada partai sesuai dengan jumlah kursi yang dimiliki partai di DPRD Lebak. Satu kursi partai dihargai sekitar 150 juta[2]. Kuatnya basis finansial dan modal sosial yang melekat dalam figur Iti Octavia telah mampu menggagalkan calon kandidat lain yang melamar ke partai. Hal ini pula memberikan jalan yang mulus bagi dirinya untuk tampil sebagai pemenang Pilkada Lebak 2018, dan kembali menjadi bupati untuk kedua kalinya.

Intitusionalisasi Partai: Problem Demokrasi
Dua kasus sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya menunjukkan bahwa partai sangat lemah dalam membangun komitmen pada terwujudnya demokratisasi di tingkat lokal. Partai yang disetir oleh kandidat melalui personifikasi figur mengindikasikan bahwa institusionalisasi partai lemah secara organisasi politik. Padahal institusionalisasi partai menjadi penting untuk menjamin keberlangsungan partai. Mainwaring and Scully (2007) menyebut bahwa ciri partai yang tidak terlembaga dengan baik ditandai oleh kekuatan partai yang bergantung pada personifikasi kandidat bukan terletak pada partai sebagai organisasi. Akibatnya akuntabilitas kandidiat rendah karena lemahnya hubungan kandidat dengan partai dan agenda kebijakan yang spesifik. Selain itu, hubungan partai dan pemilih tidak terbangun dalam ikatan yang kuat karena kandidiat hanya mengedepankan kebijakan yang populer bahkan cenderung dipaksakan yang tujuannya tidak lain untuk mendongkrak suara pemilih. Konsekuensi politik yang ditimbulkan dari lemahnya partai sebagai organisasi menyebabkan pada hilangnya legitimasi partai di mata pemilih. Kandidat yang karismatik dan populer membuat partai tidak disibukkan dengan kerja-kerja politik untuk membangun kekuatan yang solid di tingkat grass root sebagai basis konstituennya.
Menurut Buehlar dan Tan (2007) lemahnya pelembagaan partai politik khusunya di tingkat lokal disebabkan adanya perubahan struktur politik dalam desain pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pilkada secara langsung yang diperkenalkan sejak tahun 2004 melalui undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah berkontribusi dalam memperlemah keberadaan partai politik. Desain pilkada secara langsung memberikan kuasa daulat sepenuhnya kepada warga negara untuk memilih kandidat melalui proses pemilu. Hal ini membuat calon kandidat menjadi entitas yang sentral dan kian menjadi populer terlepas apapu partai yang mendukung dibalik pencalonnya. Personifikasi figur menjadi penting dalam merebuk dukungan rakyat untuk memenangkan kontestasi. Tatkala kebaran figur menguat namun diikuti oleh menurunnya partai. Berbeda dengan desain Pilkada pada tahun 19990, ketika kepala daerah dipilih masih dipilih oleh DPRD lokal telah menempatkan partai sebagai aktor politik utama dalam menentukan kandidat. Keberadaan partai menjadi kuat melampaui kandidat, sebab kandidat memerlukan suara partai di DPRD untuk bisa tampil sebagai pemenang.
Namun pendapat Buehlah dan Tan (2007) yang mengumukakan bahwa pelembagaan partai politik yang lemah diakibatkan oleh pergeseran desain pilkada dari DPRD lokal di serahkan kepada warga negara melaui pemilu tidak sepenuhnya benar. Sebab pada beberapa kasus, desain pilkada secara tidak langsung melalui parlemen lokal tidak serta merta membuat partai menjadi kuat dan melembaga dengan matang secara organisasi politik. Kasus pemilihan Gubernur Banten pada tahun 2011 misalnya, terpilihnya Djoko Munandar-Atut Cahosiyah tidak lepas dari adanya praktik politik uang dan intimidasi dari kalangan Jawara[3] serta dilatarbelakangi oleh adanya kompromi politik diantara elit partai di dalam tubuh DPRD Banten untuk memenangkan pasangan Djoko Munandar-Atut Cahosiyah (Hamid, 2014). Hal ini menjadi bukti bahwa peran figur atau kandidat di luar partai masih dapat berperan dominan dalam desain pilkada di palemen sekalipun sementara partai masih berada pada posisi yang lemah. Bahkan, salah satu alasan terbesar dibalik digantinya desain pilkada tidak langsung di DPRD menjadi Pilkada Langsung adalah maraknya praktik money politics antara kandidiat dan politisi partai di DPRD di berbagai daerah. Artinya permasalahan lemahnya institusionalisasi partai bukanlah terletak pada pilkada langsung maupun tidak langsung, tetapi lebih pada bagimana akuntabilitas dan integritas dibangun oleh kandidat dan partai.
Melalui dua kasus pilkada diatas, mempertegas bagwa partai politik sebagai aktor intermediari ternyata tidak selalu berperan sebagai aktor penghubung antara society dan negara. Idealnya, partai mampu melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan publik dengan menciptakan mekanisme rekrutmen politik yang profesional sehingga muncul calon pemimpin terbaik yang akan menjalank agenda partai sesuai dengan aspirasi publik. Namun secara empiris, partai justru terjebak pada praktik pragmatis dan oportunis yang mengandalkan keberadaan kandidat untuk meraup keuntungan materiil. Hal ini dilihat dari relasi antara partai dan kandidat yang digerakkan oleh uang. Kondisi demikian telah memperburuk iklim demokrasi yang menuntut adanya akuntabilitas dan lahirnya pemimpin politik yang berdiri sebagai representator kepentingan publik.

Referensi
Buehler, M., & Tan, P. (2007). Party-Candidate Relationships in Indonesian Local Politics: A Case Study of the 2005 Regional Elections in Gowa, South Sulawesi Province. Indonesia, (84), 41-69. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/40376429
Hamid, Abdul. (2014). A Familiy Matter: Political Corruption in Banten, Indonesia. AsianPolitics and Policy 6(4), 557-593.



[1] Yaitu: 1. Ichsan Yasin Limpo and Abdullah Razak Badjidu (diusung oleh Golkar, PPDK, dan Partai demokrat) 2. Maddusila Andi Idjo and Usman Mahyuddin (diusung oleh PPP dan PBR), Hasbullah Djabar and Abdullah Latif Hafid (diusung oleh PAN), Sjachrir Sjafruddin and Djabbar Hijaz (diusung oleh PKS, PDIP, dan partai-partai kecil lainnya di Kabupaten Gowa).
[2] Hasil wawancara dengan salah satu partai petinggi PKB Kabupaten Lebak
[3] Jawara merupakan sebutan untuk Preman di Banten yang identik dengan penggunaan kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar