Tulisan ini merupakan sebuah review singkat mengenai gagasan
J.H Boeke tentang “dual of society theory”. Teori ini muncul sebagai hasil
eksplorasi mendalam terkait situasi ekonomi politik yang berkembang di Indonesa
pasca kolonial. Indonesia yang masuk dalam kategori negara berkembang di
kawasan timur ini tengah mengalami gejala peleburan values yang berasal dari barat sebagai dampak dari praktik
kolonialisme yang cukup lama. Gejala peleburan values dari barat yang masuk dan perlahan menjalar pada struktur
dan kebudayaan masyarakat timur telah menciptakan kondisi yang menurut J.H
Boeke disebut dengan istilah ‘sosial
dualism’. Istilah ini dipakai untuk mendefinisikan keadaan setting sosial
masyarakat Indonesia terkait adanya tabrakan antara sistem sosial yang berada
di Indonesia dengan sistem sosial di barat yang lebih mengarah pada
kapitalisme. Bagi Boeke, kondisi tersebut memunculkan kontradiksi sosial,
dimana sistem kapitalisme ala barat yang diperkenalkan oleh rezim kolonial ini
tidak tepat bagi nature Timur.
Budaya masyarakat di negara-negara kasawan Timur dikenal
dengan nilai-nilai yang lebih mengedepankan aspek sosial dan kerjasama,
orientasi pada kebutuhan yang terbatas, tidak bernasfu untuk mencari keuntungan
materil, mengutamakan asas kekeluargaan, dominasi pada kehidupan pertanian dan
tidak memiliki minat pada investasi modal. Nilai-nilai ini sangat kontradiktif
dengan budaya masyarakat Barat yang lebih individualis dan materialistis.
Karena adanya perbedaan yang begitu besar antara ekonomi barat dan timur, menurut
Boeke teori ekonomi barat tidak bisa diterapkan didaerah tertinggal seperti di
Indonesia. Celakanya, sistem ekonomi barat ini sudah terlanjur diperkenalkan
bahkan dipraktikan sejak rezim kolonial menjajah Indonesia. Tujuan yang ingin
diwujudkan saat itu adalah melakukan upaya pembangunan ekonomi yang maju dan
bekembang pesat sebagaiman terjadi di negara-negara industri barat. Namun,
upaya ini pada akhirnya tidak behasil, sebab misi mengintegrasikan sistem barat
yang kapitalis ini cenderung dipaksakan untuk diterapkan di Indonesia yang
masih pada tahap negara pra-kapitalis. Alhasil, pembangunan ekonomi berujung
pada kegagalan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Boeke bahwa upaya
mengindustrialisasikan Indonesia membawa kegagalan yang ditandai dengan
terciptanya ketergantungan yang berujung pada membengkaknya hutang,
menghancurkan industri kecil, dan menciptakan pengangguran. Bahkan, penetrasi
barat telah merampas desa-desa dari kepemimpinan sosial budaya masyarakat
lokal.
Apa yang dikemukan oleh Boeke sebagaimana yang telah
disinggung diatas sesungguhnya hendak
menjelaskan bahwa Indonesia terjebak pada ambivalensi sosial dalam
mengelola negara dan sumber daya. Di satu pihak, ekonomi kapitalis yang
sedang menguasai dunia ini dianggap
sebagai resep yang ampuh untuk menciptakan pembangunan perekonomian Indonesia
yang masih stagnan dan cenderung melambat. Tetapi di lain pihak, upaya
penciptaan masyarakat kapitalis ini tidak didukung oleh keadaan riil masyarakat
Indonesia yang bertentangan dengan paham kapitalis. Meskipun demikian, secara
empiris pola kerja pemerintah cenderung mengarah pada pembangunan kapitalisme
yang ditandai dengan upaya industrialisasi yang massif.
Upaya industrialisasi yang massif ini dapat dilacak sejak
rezim orde baru Soeharto berkuasa. Slogan yang muncul dan sangat melekat saat
itu adalah melakukan pembangunan negara melalui penguatan dan stabilisasi
ekonomi. Upaya ini diambil sebagai langkah untuk memulihkan keadaan
perekonomian negara yang mengalami krisis akibat adanya konflik politik
veritakal dan horizontal yang berujung pada distabilitas ekonomi. Kebijakan ekonomi
kapitalis yang dilakukan oleh Soeharto ditandai dengan adanya bantuan dari
dunia Internasional (Word Bank dan IMF) yang mendanai negara untuk melakukan
industrialisasi dan menciptakan sistem pasar yang terbuka dan bebas. Bantuan
dana Internasional ini menjadi babak awal yang penting bagi bekerjanya sistem
kapitalisme di Indonesia.
Dampak bagi bekerjanya sistem kapitalisme ini salah satunya
dapat dilihat dari transformasi desa menjadi kota. Banyak lahan yang beralih
fungsi menjadi pabrik dan perumahan untuk
menopang berjalannya pembangunan ekonomi sebab sektor pertanian dianggap
tidak produktif dan tidak banyak menghasilkan sumber-sumber materi.
Terkonsentrasinya pembangunan di kota, telah menyebabkan kota menjadi daya
magnet bagi masyarakat desa untuk bermigrasi ke kota-kota besar. Urbanisasi
menjadi hal yang sulit dihindari ketika pembangunan terkonsentrasi di kota yang
dianggap membuka kantong-kantong pekerjaan bagi masyarakat desa.
Logika pembangunan yang dijalankan oleh rezim orde baru masih
dipelihara di era reformasi hingga saat ini. Arus gelombang industrialisasi
tidak bisa dibendung, sedangkan lahan pertanian semakin menyusut setiap tahun.
Data yang diperoleh dari BPS Indonesia pada tahun 2002 mengungkap alih fungsi
lahan sawah mencapai 42,40 %. Pertanyaannya, apakah upaya industrialisasi ini
berdampak positif bagi kesejahteraan masyarakat? Boeke menjelaskan bahwa dual society sebagaimana yang tengah
menjangkiti Indonesia membawa pada dua implikasi kebiajkan. Pertama, aturan
suatu kebijakan tidak mungkin diterapkan untuk keseluruhan. Kedua, aturan ini
mungkin bermanfaat bagi suatu masyarakat, tetapi merugikan bagi masyarakat yang
lain.
Dalam konteks pembangunan ekonomi kontemporer di Indonesia
saat ini, menurut hemat saya, proses pembangunan ekonomi melalui
industrialisasi justru telah kehilangan arah dibuktikan dengan beberapa
kontradiksi yang menyertainya. Misalnya, pemerintah Jokowi dalam nawacita
pembangunannya, salah satunya adalah memperkuat daerah dan desa dalam kerangka
negara kesatuan. Hal ini tidak berbanding lurus dengan banyaknya desa yang
perlahan telah bertransformasi menjadi kota. Banyaknya alih fungsi lahan agraria
untuk pendirian industri pabrik, perkantoran, perumahan, pariwisata menegasikan
keinginan pemerintah memperkuat desa. Kurang intensifnya fokus pembangunan di
desa, menjadikan desa tidak produktif dan menciptakan pengangguran. Banyak
masyarakat memutuskan untuk urbanisasi ke kota karena ketidakpastian pekerjaan
di desa, sementara terus menerus mengandalkan poada sektor pertanian, tidak
banyak menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Padahal pemerintah berupaya
mewudujkan ketahanan pangan, tetapi menjadi nihil melihat keberadaan desa yang unpowerfull.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah, urbanisasi yang begitu
kuat ke kota-kota besar, justru tidak serta merta memberikan ruang
kesejahteraan bagi masyakat, sebab yang timbul adalah permasalahan lain.
Melonjaknya angka urbanisasi yang tidak diimbangi dengan kapasitas tata kelola
kota akhirnya menciptakan pengangguran, kriminalitas, perumahan kumuh, dan
kesejangan sosial dan ekonomi. Implikasinya, baik di desa maupun di kota
sama-sama melahirkan problem. Hal ini menegaskan bahwa sistem pembangunan yang
bercorak kapitalistik kurang begitu relevan bagi terciptanya kesejahteraan
masyarakat.
Pada dasarnya masyarakat Indonesia belum siap berkompetisi
secara bebas sebagimana yang dimanifestasikan dalam sistem kapitalistik,
mengingat setiap masing-masing individu tidak berangkat dari kapastitas yang
sama dan mayarakat yang heterogen membawa kompleksitas tersendiri. Disamping
secara alamiah, kultur masyarakat Indonesia yang lebih mengedepankan
kolektivisme dibanding kompetisi individual. Berbeda dengan Barat,
industrialisasi dan pembangunan ekonomi dapat berbanding lurus degan
kesejahteraan, sebab Barat ditopang oleh kebudayaan yang masyatakatnya
kompetitif, memiliki kualitas pendidikan yang baik dan unsur masyarakat yang homogen.
Sekiranya penjelasan ini cukup jelas bahwa pendapat Boeke mengenai dualisme society di Indonesia yang berujuang pada kegagalan
masih relevan untuk membahas kondisi ekonomi kontemporer di Indonesia saat ini.
Referensi
Higgins, B.
(1956). The "Dualistic Theory" of Underdeveloped Areas. Economic
Development and Cultural Change, 4(2), 99-115. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/1151896
Tidak ada komentar:
Posting Komentar