Tulisan
ini merupakan sebuah refleksi teoritis yang mengkaitkan dua pendekatan utama
yang dapat membantu kita memahami struktur dan kekuasaan negara. Pendekatan
yang pertama yaitu teori negara klasik yang dapat dilacak mulai dari pemikiran
Plato. Pendekatan yang kedua adalah teori governability
yang digagas oleh Fukuyama. Perdebatan yang sering kali muncul dalam
mendefinisikan negara teletak pada sejuah mana peran dan fungsi negara dalam
dalam mengelola negara dan masyarakat. Pandangan yang pertama menekankan pada
fungsi minimalis negara dengan memberikan scope yang lebih sempit hanya
terbatas pada urusan publik, diluar itu diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme
pasar dengan memberikan kebebasan dan otomomi penuh kepada individu. Sementara
pandangan yang kedua menekankan pada fungsi intervensionis yang memberikan
kekuataan mutlak kepada negara, dengan anggapan negara dibenarkan melakukan
intervensi dalam bentuk apapun termasuk kehidupan warganegara yang bersifat
privat sekalipun.
Dari
perdebatan kedua pandangan ini memunculkan dikotomi bentuk kekuasaan negara.
Pandangan yang mendukung pada fungsi intervensionis yang berkaitan dengan
negara, kekuasaan dan otoritas, nampak pada pemikiran politik Plato,
Aristoteles, St Agustinus, Thomas Aquinus, Hobbes, dan Hegel. Sementara
pandangan yang mendukung gagasan negara minimalis dengan memberikan kebebasan
dan otonomi individu dapat dilacak dari pemikiran Locke, Montesqieu, dan
Rousseau.
Fukuyama
(2004) berusaha keluar dari perdebatan dua pandangan ini. Baginya, keduanya
tidak harus dikotomis, melainkan dapat saling terkait. Dominasi kekuasaan
negara yang kuat melalui fungsi intervensionis tidak akan bertahan lama tanpa
menjamin kebebasan warganya. Sebaliknya, pembangunan dan kesejahteraan ekonomi
tanpa ditopang oleh hadirnya peran negara pada akhirnya akan rapuh. Berangkat
dari pemahaman ini, Fukuyama berargumen bahwa tidak relevan untuk
mempertentangkan fungsi negara yang minimalis atau intervensionis, sebab yang
jauh lebih penting adalah menyoal sejauh mana kapasitas dan kemampuan negara
dalam mengelola barang publik untuk menciptakan negara yang stabil dan
kesejahteraan warganegara. Fukuyama menyebutnya dengan governability. Berangkat dari konsep governability ini selanjutnya akan menghasilkan tipe negara yang
kuat, lemah, gagal dan runtuh. Negara yang kuat ditandai dengan kemampuan
negara dalam mengelola dan menyediakan barang politik yang berkualitas tinggi
bagi negaranya. Sebaliknya, negara lemah, gagal, atau runtuh dicirikan dengan
ketidakmampuan negara dalam mengelola dan menyediakan barang politik kepada
warganya . Pertanyaan yang mucul adalah bagaimana konsep governability ala Fukuyama ini dalam melihat konteks teori negara
klasik? Bentuk pemerintahan apa yang akan terbentuk?
Teori
negara klasik tidak lepas dari sejarah dan perkembangan kehidupan politik yang
terjadi di zaman yunani kuno. Para pemikir yang lahir pada abad ini cenderung
menempatkan negara sebagai entitas yang dominan dan memiliki kekuasaan mutlak
(Budiman, 1996). Hal ini tidak lepas dari kondisi saat itu bahwa keadaan
masyarakat sebelum terbentuknya negara cenderung berkonflik satu sama lain.
Karenanya untuk menciptakan tatanan masyarakat yang kondusif diperlukan negara
untuk menciptakan kebaikan bersama. Bagi Plato, negara harus dipimpin oleh seorang
filosfof karena dianggap memiliiki moral yang luhur. Menurut Aristoteles, untuk
menciptakan kebaikan bersama, perlu dibuat negara yang memiliki konstitusi (politia) supaya tidak terjadi
penyalahgunaan. Jika melihat karakteristik negara yang digagas oleh para
pemikir di zaman yunani kuno ini (Plato dan Artistoteles), maka tipologi negara
yang muncul adalah negara lemah (weak
state). Hal ini tidak lepas dari kondisi negara saat itu di Yunani,
pemimpin (raja) bertindak sewenang-wenang kepada warga negara dan tidak
memiliki tujuan untuk menciptakan kebaikan bersama dan moral yang tinggi. Raja
bersifat tirani dan semua pemimpin saat itu adalah buruk. Hal inilah yang
sekiranya membuat Plato menyebut seorang pemimpin harus dari kalangan filsuf.
Pada
zaman pertengahan (middle age)
terjadi perubahan struktur kekuasaan yang sangat dramatis. Struktur kekuasaan
yang awalnya menjadi domain negara telah bergeser pada institusi agama bernama Greja. Konstruksi yang dikembangkan
saat itu adalah bahwa negara tidaklah lain hanya kepanjangan tangan dari gereja
dan gereja adalah wakil tuhan. Konsekuensinya, negara berada dibawah kendali
kuasa gereja. Kebaikan bersama yang dimakud adalah nilai-nilai yang diajarkan
oleh Tuhan. Tokoh yang merintis pendapat ini seperti St Agustinus dan Thomas
Aquinas. Dominasi kekuasaan gereja telah melanggengkan kebenaran yang bersifat
dogmatis. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh raja dibenarkan karena dianggap
perpanjangan tangan tuhan di dunia. Segala tindakan oposisi dan kritik di luar lingkaran
kekuasaan negara dilarang. Akibatnya, raja cenderung menyalahgunakan kewenangan
karena begitu dominannya kekuasaan raja. Konflik antara raja sebagai penguasa
negara dan paus sebagai pemuka Greja
sering terjadi. Jika melihat pemaparan ini, maka tipologi negara yang terbentuk
berdasarkan klasifikasi Fukuyama adalah bentuk negara lemah (weak state). Hal ini tidaklepas dari
kegagalan negara dalam memberikan kebebasan warganya melalui separangkat aturan
hukum yang restrictive.
Hadirnya
dominasi Gereja diatas kekuasaan negara memicu munculnya gerakan perlawan
dengan semangat sekulerisasi. Martin Luther adalah tokoh yang menginisasi
gerakan tersebut. Baginya, gereja harus ditempatkan dibawah pengawasan negara.
Pendapat Martin Luther ini kembali menempatkan negara pada posisi yang dominan.
Tipe negara yang terbentuk adalah lemah (weak
state) karena pada masa ini sering terjadi konflik berbasis agama antara di
Eropa, termasuk Jerman tempat kelahiran Martin Luther. Konflik ini berlangsung
selama puluhan tahun antara kelompok pengikut Katolik dan Protestan.
Berbeda
dengan pemikiran Martin Luther yang membawa semangat pada sekulerisasi antara
negara dan agama, Machiavelli memiliki pandangan yang berbeda bahwa kekuasaan
negara haruslah mutlak, bahkan jika perlu keberadaan institusi agama
dihapuskan. Karena sifatnya mutlak, negara mendapat pembenaran untuk melakukan
tindakan apapun bahkan dengan cara-cara kekerasaan sekalipun. Pandangan
Machiavelli ini tidak lepas dari setting sosial politik yang berkembang saat itu,
Ia lahir di Italia dalam kondisi negara yang serba sulit, terjadi pergolakan,
konflik, pembunuhan antar golongan, dan meluasnya tindakan korupsi pejabat
negara. Dengan latar belakang inilah Machiavelli membangun pemikirannya bahwa
negara tidak perlu mempertimbangkan asas moral dan kesusilaan. Jika melihat
dari gagasan Machiavelli dan mengkontekstualisasikan negara Italia pada saat
itu, maka tipologi negara masuk pada kategori negara gagal (failed state). Hal ini dikarenakan
negara gagal menciptakan situasi kehidupan warganegara yang kondusif dan
menjamin ditegakannya moral. Negara dengan segala kekuasaan absolutnya berhak
melakukan cara apapun untuk mencapai kekuasaan meskipun dengan mengabaikan
moral sekalipun.
Kemudian, pada pemikiran Hobbes, yang kehidupannya
diiringi dengan konflik saat armada Spanyol sedang menyerbu Inggris, membuat
cara pandangnya menilai manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya. Oleh
karenannya untuk meredam konflik antar manusia itu, ia berpendapat bahwa perlu
adanya kontrak untuk menumbuhkan perdamaian. Maka menurutnya tanpa negara, akan
terjadi kekacauan. Jika berangkat dari pemikiran Hobbes dan dikaitkan dengan
pemikiran Fukuyama maka tipologi negara masuk pada kategori negara gagal (failed state). Hal tersebut diambil dari
kegagalan negara dengan adanya konflik, dan cenderung pemikiran yang ditawarkan
Hobbes bahwa negara absolut, tidak memberi ruang banyak pada masyarakat.
Beranjak dari pemikiran Hobbes ke pemikiran John
Locke. Pemikirannya berbeda dengan Hobbes. Ia tidak menempatkan negara secara
absolut, namun melihat individu penting. Negara menurutnya perlu ada batasan,
untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan negara. Serta hak manusia tidak boleh
diambil. Ia membagi kekuasaan kepada tiga bagian yaitu Legislatif, Eksekutif
dan Federatif. Dengan pembagian kekuasaan tersebut jika melihat pemikiran
Fukuyama, lebih pada negara kuat (strong
state). Pembagian tersebut membuat jalannya negara lebih seimbang, dengan
juga menghargai hak-hak manusia.
Pemikiran selanjutnya oleh Montesquieu, yang hampir
sama dengan John Locke dengan membagi kekuasaan menjadi tiga. Namun,
pembagiannya berbeda yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif atau dikenal
dengan trias politica. Lembaga
yudikatif tidak lepas dari latar belakangnya yang merupakan seorang pengacara
dengan salah satu tulisannya de l’esprit des lois (semangat hukum). Dengan
adanya pembagian tersebut membuat tidak adanya sentralisasi kekuasaan. Jika
benar-benar berjalan sesuai fungsinya tiga lembaga tersebut, negara masuk dalam
negara kuat (strong state).
Kemudian, Jean-Jacques Rousseau, yang belajar dari
pemikiran Hobbes dan John Locke, berpandangan bahwa negara terbentuk lewat
suatu perjanjian sosial (kontrak sosial), dimana individu dalam masyarakat
sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak kebebasan dan kekuasaan yang
dimiliki kepada kekuasaan bersama, dimana hasil kontrak sosial tersebut disebut
negara. Menurutnya negara berdaulat selama diberi mandat oleh rakyat dan tetap
menjalankan fungsinya sesuai kehendak rakyat. Jika melihat pemikiran tersebut,
dengan negara mengakomodasi apa yang dibutuhkan oleh rakyat, negara tersebut
masuk dalam negara kuat (strong state).
Referensi
Budiman, Arif. (1996). Teori negara: negara, kekuasaan dan ideologi. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama
Fukuyama, Francis. (2004).
State-building : governance and world order in the 21st century. Ithaca, N.Y :
Cornell University Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar