Pendahuluan
Lahirnya Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa telah memberikan
nafas otonomi yang lebih kuat bagi desa. Desa dengan segala potensi dan
kemampuannya diberikan kewenangan yang lebih luas untuk mengelola dan mengatur
urusan rumah tangganya sesuai dengan kebutuhan dan prakarsa masyarakat lokal
secara mandiri dan otonom tanpa diintervensi oleh pihak manapun baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Kewenangan tersebut mencakup kewenangan
berdasarkan hak asal usul; kewenangan lokal berskala Desa; kewenangan yang
ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota; dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Adanya perluasan wewenang desa ini diharapkan
mampu mengangkat eksistensi desa yang selama ini terpendam oleh regulasi yang
kurang memihak terhadap desa.
Eksekutif dan legislatif desa sebagai lembaga tinggi di desa memiliki tanggung
jawab yang lebih besar untuk melaksanakan wewenang tersebut. Legisaltif desa
sebagai representasi sekaligus penjelmaan masyarakat lokal harus mampu berperan
secara proaktif dalam memperjuangan aspirasi masyarakat lokal melalui fungli
legislasi dan melakukan pengawasan terhadap eksekutif desa. Sementara Eksekutif
desa sebagai penyelenggara pemerintah desa dalam menjalankan wewenang tersebut
harus berada dalam koridor yang benar berdasarkan regulasi yang telah
ditetapkan bersama. Karena itu, eksekutif dan legislatif desa harus bekerja
sama dalam membangun dan memberdayakan desa dengan membentuk mekanisme check
and balances antar lembaga.
Tulisan ini akan memaparkan tentang hubungan antara eksekutif dan
legislatif desa dengan mengambil studi kasus di desa Citerep Kecamatan Ciruas
Kabupaten Serang. Eksekutif dan legislatif desa menjadi penting untuk dibahas
oleh karena sebagai lembaga desa yang memiliki peran strategis dalam menentukan
arah pembangunan di desa. Dengan kata lain, berhasil tidaknya roda pemerintahan
desa sangat bergantung bagaimana kedua lembaga tersebut mengambil peran dan
posisinya masing-masing. Bagaimana hubungan eksekutif dan legislatif di desa
Citerep kecamatan Ciruas ? Kemudian bagaimana kedua lembaga tersebut
menyelenggarakan pemerintahan desa ? tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan
tersebut.
Pembahasan
Memaknai Eksekutif dan
Legislatif Desa
Pembentukan lembaga eksekutif dan legislatif sesungguhnya berangkat dari
sebuah teori pemisahan kekuasaan dari Montesquieu (Agustino, 2014: 75).
Montesquieu membagi kekuasaan negara menjadi tiga lembaga yaitu (i) legislatif,
lembaga yang merumuskan pelbagai kebijakan; (ii) eksekutif, lembaga yang
mengimplementasikan atau menjalankan kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dan
ditetapkan oleh parlemen; dan (iii) yudikatif, lembaga yang melaksanakan fungsi
peradilan. Pemisahan kekuasaan ini sebagai upaya untuk mencegah terjadinya
monopoli kekuasaan oleh salah satu lembaga, sebab kekuasaan yang dimonopoli
(absolut) rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Ajaran Montesquieu ini
dikenal dengan istilah trias politica.
Konsep trias politica yang diajukan oleh Montesquieu ini
secara garis besar telah diterapkan di desa, bahkan jauh sebelum negara
Indonesia terbentuk. Dalam bidang legislatif misalnya, beberapa desa mengenal
dengan istilah Dewan Desa yang berwenang membuat peraturan mengenai urusan
rumah tangga, penentuan pajak, menetapkan anggaran belanja dan peraturan
lainnya. Dalam bidang eksekutif, pemerintah desa berwenang memungut pajak
berdasarkan peraturan yang dibuat oleh Dewan Desa. Sedangkan dibidang peradilan
atau yudisial, desa berwenang menyelenggarakan peradilan. Peradilan tersebut
dilakukan terhadap pelanggaran peraturan desa dan dapat menjatuhkan pidana
(Zenibar, 2010: 372).
Lahirnya Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa memberi penguatan atas
eksistensi lembaga desa dalam hal ini eksekutif dan legislatif yang selama masa
orde baru dan reformasi nyaris hilang subtansi keberadaan lembaga tersebut oleh
regulasi yang mengikatnya. Dalam Undang-undang nomor 6 tahun 2014 pasal 26
menyebutkan bahwa kepala desa sebagai eksekutif desa bertugas menyelenggarakan
pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan
desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Sementara dalam Pasal 55 menyebutkan
bahwa BPD (Badan Permusyawaratan Desa) sebagai lembaga legislatif desa memiliki
fungsi; (i) membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala
desa; (ii) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa; dan (iii)
melakukan pengawasan kinerja kepala desa. Dalam undang-undangan tersebut
menempatkan kepala daerah dan BPD berada dalam posisi sejarah yang membentuk
mekanisme check and balances dalam penyelanggaraan
pemerintahan desa.
Eko Sutoro (2015; 190-192) memaparkan bahwa secara empirik ada empat pola
hubungan antara BPD dengan kepala desa. Pertama, Dominatif: dimana kepala desa sangat dominan atau berkuasa dalam menentukan
kebijakan desa. Sementara BPD lemah, pasif atau tidak paham terhadap fungsi dan
perannya. Fungsi pengawasan BPD terhadap kinerja kepala desa tidak dilakukan
oleh BPD. Implikasinya kebijkan desa menguntungkan kelompok Kepala Desa, kuasa
rakyat dan demokrasi desa juga lemah. Kedua, Kolutif:
diaman hubungan Kepala Desa dan BPD terlihat harmonis yang bersama-sama
berkolusi, sehingga memungkin-kan melakukan tindakan korupsi. Implikasinya
kebijakan dan keputusan desa tidak berpihak dan merugikan kepentingan
masyarakat desa. Ketiga, Konfliktual: dimana antara BPD
dengan Kepala Desa sering terjadi ketidakcocokan terhadap keputusan desa,
terutama bilamana keberadaan BPD bukan berasal dari kelompok
pendukung Kepala Desa.
BPD dianggap musuh kepala desa, karena kurang memahami peran dan fungsi BPD.
Musyawarah desa diselenggarakan oleh pemerintah desa dan BPD tidak dilibatkan
dalam musyawarah internal pemerintahan desa. Dalam musyawarah desa tidak
membuka ruang dialog untuk menghasilkan keputusan yang demokratis, sehingga
menimbulkan konflik. Keempat, Kemitraan: diaman antara
BPD dengan Kepala Desa membangun hubungan kemitraan sekaligus membentuk
mekanisme check and balances. Diaman terdapat saling pengertian dan
menghormati aspirasi warga. Kondisi seperti ini akan menciptakan kebijakan desa
yang demokratis dan berpihak warga.
Hubungan Eksekutif dan
Legislatif di Desa Citerep
Hubungan eksekutif dan legislatif di Desa Citerep menunjukan domintaif,
dimana peran eksekutif dalam hal ini kepala desa lebih tampil dominan dibanding
BPD. Hal ini dapat terlihat misalnya dalam setiap musyawarah atau rapat,
inisiatif dan masukkan program/kebijakan lebih banyak berasal dari kepala desa
atau perangkat desa, sementara BPD cenderung diam dan mengamini setiap masukkan
yang dilontarkan oleh eksekutif. BPD kurang memberikan inisiatif beruapa usulan
terkait program dan kebijakan desa. Musyawah antara kepala desa dan BPD
berdasarkan kesepakatan bersama dilakukan tiga bulan sekali, tetapi dalam
proses perjalanannya pihak kepala desa dalam hal ini H. Suherman menjadi pihak
yang menginisiasi untuk melakukan musyawarah tersebut, dengan kata lain,
manakala tidak ada ajakan dari H. Suherman, musyawarah nyaris tidak akan
terlaksana.
Selain itu, fungsi pengawasan yang seharusnya dilakukan oleh BPD terkesan
mandek. Orang-orang BPD di Desa Citerep didominasi oleh mereka yang merangkap
jabatan sebagai pejabat di pemerintahan kabupaten. Adanya rangkap jabatan dari
BPD ini telah menghambat mereka dalam menjalankan tugas dan fungsinya. BPD
jarang hadir di kantor desa dan lebih banyak disibukkan di tempat lain
ketimbang fokus pada urusan pemerintahan desa. Keadaan ini menghambat H.
Suherman ketika akan mengadakan musyawarah, karena musyawarah dikatakan sah
harus dihadiri minimal setengah lebih satu dari jumlah anggota BPD. Karena itu,
banyak agenda-agenda musyawarah desa yang terlambat, jarang sekali anggota BPD
hadir seluruhnya dalam rapat rapat. Berikut pernyataan H. Suherman;
“BPD-nya jarang ada di
sini, soalnya kerja juga di pemda. Kalau BPD di sini cuma buat sampingan doang,
apalagi ini udah mau akhir-akhir pergantian kepala desa.
Untuk mengantisipasi hal demikian, H. Suherman kerap mengajak untuk
mengadakan pertemuan dengan anggota BPD secara non-formal diluar kantor
pemerintah desa, ketika anggota BPD memiliki waktu luang. Meskipun demikian,
pertemuan non-formal tersebut dinilai tidak etis dilakukan oleh eksekutif dan
legislatif desa. Musyawarah harus bersifat formal serta melibatkan masyarakat
dan pemangku kepentingan yang lain sehingga kebijakan yang disahkan menjadi
akomodatif dan representatif. Musyawarah secara non-formal mengindikasikan
bahwa penyelenggaraan urusan desa dianggap setengah hati.
BPD sebagai lembaga legislatif desa seharusnya menjalankan fungsi pengawasan
dan legislasinya secara maksimal. Jika anggota BPD lebih disibukkan karena
memiliki kewajiban sebagai pejabat negara di tempat yang lain, maka eksekutif
desa tidak ada yang mengawasi, sehingga kemungkinan-kemungkinan terciptanya
penyalahgunaan oleh kepala desa dan kebijakan-kebijakan yang tidak terlaksa
menjadi sulit diatasi oleh karena peran dari BPD yang kurang optimal.
Meskipun dalam Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa tidak mengatur
secara eksplisit tentang larangan adanya rangkap jabatan anggota BPD sebagai
pejabat pemerintah kabupaten, tetapi secara moral dan normatif, seyogyanya BPD
tidak melakukan hal yang demikian. BPD harus fokus pada upaya membangun dan
memberdayakan desa sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Yang
mengkhawatirkan adalah BPD bisa saja menjadi alat politik bagi pemerintah
kabupaten untuk mengendalikan desa. Karena posisi anggota BPD di Desa Citerep
adalah sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang berkerja di pemerintahan
kabupaten. Hal ini tentu akan mengurangi makna otonomi dari desa itu sendiri.
Begitu pula dengan fungsi BPD sebagai lembaga yang menampung dan menyalurkan
aspirasi masyarakat desa menjadi tidak efektif karena anggota BPD sendiri
jarang ada di kantor desa. Padahal fungsi ini menjadi penting sebagai bentuk
dari eksitensi BPD yang mewakili kepentingan masyarakat desa. Implikasinya,
kepala desa, perangkat desa beserta RT/RW menjadi tempat bernaung bagi
masyarakat di desa Citerep untuk menyuarakan aspirasi mereka.
Ketidak-aktifan BPD dalam menjalankan fungsi-fungsinya telah mengan-tarkan
kepala daerah sebagai lembaga yang mendominasi dalam pemerintahan desa. Dominasi
tersebut bukan karena ketidak-pahaman anggota BPD dalam menjalankan fungsinya,
sebab jika dilihat dari tingkat pendidikan, mayoritas BPD lulusan SMA bahkan
sarjana. Melainkan karena disibukkan oleh tugas dan kewajiban anggota BPD yang
merangkap jabatan sebagai pejabat negeri di pemerintahan kabupaten.
Implikasinya, kebijkan desa lebih menguntungkan pihak Kepala Desa, kuasa rakyat
dan demokrasi desa juga lemah. Mekanisme check and balances yang
diharapkan terjadi dalam hubungan antara eksekutif dan legislatif desa menjadi
semu oleh karena pihak kepala daerah yang mendominasi dalam penyelanggaraan
urusan pemerintahan desa. Pemerintah desa menjadi identik dengan jabatan kepala
daerah, sedangkan BPD selaku eksekutif daerah terkesan hanya sebagai “tukang
stempel”. H. Suherman selaku kepala daerah bisa saja melakukan
penyalahgunaan wewenang oleh karena minimnya pengawasan yang dilakukan oleh
BPD. Meskipun dalam wawancara lapangan penulis belum menemukan adanya
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh BPD, tetapi tidak menutup
kemungkinan jika pada suatu kesempatan kepala desa melakukan penyalahgunaan
kekuasaannya. Hal ini selaras dengan yang diakatakan oleh Lord Acton bahwa
kekuasaan yang tersentralisasi di satu pihak cenderung menyebabkan korupsi
(penyalahgunaan wewenang).
Padahal hubungan antara BPD dan kepala daerah secara ideal seyogyanya
membentuk relasi kemitraan. Diamana baik BPD maupun kepala daerah saling
mendukung dan bekerja sama guna menciptakan kehidupan desa yang demokratis.
Manakala hanya kepala desa yang mengambil peranan dalam penyelenggaan
pemerintahan desa maka sejatinya telah menghambat upaya untuk melaksanaan
pembangunan desa,
pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa sebagaimana yang
telah diamanatkan dalam udang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang desa.
Kesimpulan
Hubungan antara eksekutif dan legislatif desa di Desa Citerep mengarah pada
hubungan dominatif, diamana kepala desa tampil sebagai lembaga eksekutif desa
yang mendominasi BPD. Dominasi tersebut dapat dilihat dari peran kepala daerah
yang aktif dalam agenda musyawarah desa dan penyelenggaraan program desa.
Sementara BPD cenderung pasif dan mengikuti kepala desa. Ketidak-berdayaan BPD
ini disebabkan karena mayoritas anggota BPD merangkap jabatan sebagai pejabat
publik di instansi pemerintahan kabupaten Serang. Implikasinya, proses
penyelenggaraan pemerintahan desa menjadi kurang optimal dan sangat rawan
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala daerah sebab BPD kurang
intensif dalam melakukan fungsi-fungsinya,
Daftar Pustaka
Agustino, Leo. 2014. “Pengantar
Ilmu Politik”. Serang: Untirta Press
Zenibar, Zen.
2010. “Otonomi Daerah dan Penguatan Masyarakat Desa”. Jurnal.
Undang-undang nomor 6
tahun 2014 tentang desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar